ZONA PERANG(zonaperang.com) Konflik teranyar Israel dengan kelompok Hamas di Jalur Gaza kembali menjadi sorotan internasional. Gaza yang dihuni lebih dari dua juta warga Palestina sekali lagi mengalami penderitaan dan berbagai kerusakan. Sebagai salah satu wilayah padat di dunia, Gaza kerap digambarkan sebagai “penjara terbuka terbesar di dunia” karena blokade Israel di darat, laut, dan udara sejak 2007.
“Israel Israel merebut Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai dari Mesir, Wilayah Tepi Barat (termasuk Yerusalem Timur) dari Yordania, dan Dataran Tinggi Golan dari Suriah saat Perang Enam Hari 1967 / Perang Juni / Perang Arab-Israel 1967″
Israel menguasai wilayah udara Gaza dan laut dan dua dari tiga pos pemeriksaan, satu lagi dijaga oleh Mesir.
Seberapa Besar Gaza?
Dilansir dari laman Aljazeera, Gaza memiliki luas 365 kilometer persegi dengan penduduk 2,048 juta jiwa (2020). Tempat ini menjadi salah satu yang terpadat di dunia. Luas Gaza kira-kira setara dengan kota Medan Sumatra Utara (265,10), Serang di Provinsi Banten (266,74), Detroit – Amerika Serikat (367 kilometer persegi), Sheffield – Inggris (367 kilometer persegi).
“Jalur Gaza memiliki panjang sekitar 41 kilometer (25 mi) dan lebar antara 6 hingga 12 kilometer (3,7 hingga 7,5 mi), dengan luas total 365 kilometer persegi (141 sq mi)”
Pergerakan keluar masuk dari Jalur Gaza melalui Beit Hanoun (Erez dalam bahasa Israel) berbatasan dengan Israel dan Rafah berbatasan dengan Mesir. Baik Israel dan Mesir hampir selalu menutup perbatasan dan itu menyebabkan kian buruknya kondisi kemanusiaan dan ekonomi di Gaza.
Israel hanya mengizinkan keluar masuk melalui Beit Hanoun untuk bantuan kemanusiaan dengan penekanan “untuk kasus medis genting”.
Baca juga : 29 November 1947, Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pembagian tanah Palestina bagi Zionisme
Hanya selama 14 hari
Jumlah orang Palestina yang melintasi Beit Hanoun sejak 2010-2019 rata-rata hanya 287 orang per hari, menurut data PBB. Sementara melalui Rafah yang dikelola Mesir, jumlah orang keluar masuk pada 2019 rata-rata mencapai 213.
Tapi Israel hanya mengizinkan orang Palestina keluar masuk Gaza selama 14 hari. Sejak akhir 1980-an ketika peristiwa Intifada, perlawanan besar-besaran rakyat Palestina, Israel mulai menerapkan larangan dengan membuat orang Palestina harus mengajukan izin untuk bisa bekerja keluar Gaza atau melintasi Israel atau pergi ke wilayah pendudukan Tepi Barat dan Yerusalem Timur.
Sejak 1993 khususnya, Israel memberlakukan penutupan wilayah Palestina, melarang siapa pun orang Palestina di wilayah tertentu untuk pergi, bahkan hingga berbulan-bulan.
Pagar Listrik dan Tembok Beton
Pada 1995 Israel membangun pagar listrik dan tembok beton di sekitar Jalur Gaza sehingga melumpuhkan interaksi orang Palestina dengan sejawatnya di wilayah lain (Tepi Barat dan Yerusalem Timur).
Pada tahun 2000 ketika Intifada Kedua meletus, Israel membatalkan semua izin kerja warga Gaza dan mengurangi pemberian izin baru.
Pada 2001 Israel membombardir dan menghancurkan Bandara Gaza, tiga tahun setelah dibuka.
Israel secara sepihak menarik diri dari Jalur Gaza pada tahun 2005
Israel mengklaim pendudukan Gaza sudah dilonggarkan sejak tentara mereka dan para pemukim Yahudi sudah keluar dari Gaza namun hukum internasional menyatakan Gaza masih dalam wilayah pendudukan Israel karena wilayah udaranya masih dikuasai Negeri Bintang Daud.
Baca juga : 31 Mei 2010, Maut di Mavi Marmara, Kala Israel Serbu Kapal Bantuan untuk Gaza
Baca juga : Sejarah panjang konflik di Masjid Al Aqsa Palestina : Tempat Suci Dunia Islam Kristen dan Yahudi
Kemenangan Hamas
Pada 2006 Hamas memenangkan pemilu dan mengambil alih kekuasaan setelah mengalahkan rivalnya, Fatah yang menolak mengakui kekalahan dalam pemilu. Sejak Hamas berkuasa pada 2007 Israel makin memperketat blokade Gaza.
“PBB, Human Rights Watch, dan organisasi serta LSM internasional lainnya menganggap bahwa Israel masih menduduki Jalur Gaza karena Israel-lah yang menguasai wilayah udara dan perairan Gaza dan tidak memungkinkan dilakukannya pergerakan barang ke dalam atau keluar Gaza lewat udara atau laut (hanya melalui darat)”
Blokade Israel membuat orang Palestina terputus dari kehidupan kota utama di Yerusalem yang menyediakan rumah sakit, konsulat negara asing, bank, dan sejumlah layanan publik lainnya. Padahal Perjanjian Oslo 1993 menyatakan Israel harus memperlakukan wilayah Palestina sebagai satu kesatuan politik, tidak terpisah.
Hukuman Kolektif
Dengan memblokade perjalanan ke Yerusalem Timur, Israel juga memutus akses warga Kristen dan muslim Palestina di Gaza untuk menjalani ibadah keagamaan mereka.
Keluarga terpisah, generasi muda dilarang sekolah ke luar dan bekerja di luar Gaza dan mereka juga sering tidak mendapat izin untuk memperoleh perawatan kesehatan.
Badan Hak Asasi Manusia (HAM) Euro-Med menyebut blokade panjang Israel telah menyebabkan penurunan serius kualitas air di Gaza. Ini membuat 97 persen air di wilayah tersebut telah terkontaminasi.
Dilansir dari Middle East Eye, situasi ini diperparah oleh krisis listrik akut yang menghambat pengoperasian sumur air dan pabrik pengolahan limbah. Kondisi ini menyebabkan sekitar 80 persen limbah Gaza yang tidak diolah dibuang ke laut, sementara 20 persen merembes ke air bawah tanah.
Blokade ini bertentangan dengan Konvensi Jenewa Keempat Pasal 33 yang melarang hukuman kolektif untuk mencegah pelanggaran HAM yang lebih luas.
Baca juga : Penjajahan Israel atas warga Palestina adalah akar masalah konflik