Perang Belangkait, yang berlangsung dari tahun 1911 hingga 1915, adalah salah satu perlawanan penting di Kalimantan Barat melawan penjajahan Belanda. Perang ini terjadi di wilayah kerajaan Simpang, yang dipimpin oleh Raja Gusti Panji dan Panglima Ki Anjang Samad
ZONA PERANG (zonaperang.com) – Belangkait adalah nama suatu daerah di Eks-Kerajaan Simpang (sekarang masuk Kab. Kayong Utara). Tempat ini adalah tempat bersejarah bagi warga Kerajaan Simpang, bukan hanya sekedar nama daerah, tapi juga merupakan nama dari suatu peristiwa historis yang pernah terjadi di wilayah Kerajaan Simpang. Daerah ini adalah area yang menjadi medan pertempuran antara pasukan rakyat Simpang versus pasukan Belanda, sehingga dinamakan dengan nama Perang Belangkait.
Perang Belangkait merupakan kelanjutan dari Perang Tumbang Titi yang terjadi pada tahun 1914. Perlawanan ini melibatkan berbagai strategi gerilya dan serangan mendadak terhadap pos-pos Belanda. Meskipun persenjataan dan sumber daya yang dimiliki oleh pasukan lokal jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Belanda, semangat juang dan keberanian mereka sangat tinggi.
Baca juga : Tanpa Anestesi: Penderitaan Korban Perang di Gaza
Baca juga : 18 Februari 2001, Tragedi Sampit : Kekerasan antar-etnis Dayak dan Madura pecah di Sampit, Kalimantan Tengah
Kerajaan Simpang Matan
Kerajaan Simpang ini merupakan salah satu kerajaan pecahan dari Kerajaan Tanjungpura/Matan-Tanjungpura. Di-asaskan oleh Pangeran Ratu Agung yang mendapatkan wilayah bagian utara Kerajaan Matan-Tanjungpura.
Memaksa rakyat unruk membayar pajak
Perang gerilya
Baca juga : Letters from Iwo Jima (2006): Kisah Perang dari Sudut Pandang yang Berbeda
Baca juga : Penjajahan Yerusalem, Pembebasan Konstantinopel dan Penguasaan Nusantara oleh Barat
Berlanjut ke Perang Sosial Politik
Jalannya Pertempuran
Selama pertempuran terjadi dalam rangkaian perang ini, muncul tokoh-tokoh pejuang dari Tanah/Negeri Simpang. Salah satu tokoh yang masyhur dalam peperangan ini adalah Legenda Ki Julak Laji, seorang pejuang yang berdasarkan cerita tutur, konon selalu membawa cucunya dalam bertempur. Dengan menggendong (mendukong) cucunya di belakang, Ki Julak Laji maju dalam tiap pertempuran.
Sang cucu berperan untuk mengisi peluru timah yang dibulat-bulatkan untuk senapang (setinggar/lontak) Sang Datok. Dan, konon karena memiliki kekebalan, maka peluru pasukan Belanda tiada telap (tak mempan) menembus Ki Julak Laji. Masih menurut cerita lisan, Ki Julak Laji wafat karena terserang demam panas, akibat sering berendam dalam air jika tertembak bertubi-tubi oleh pasukan Belanda.
Tokoh lainnya yang juga sering diceritakan oleh masyarakat Simpang adalah kehandalan seorang tangan kanan Ki Anjang Samad, bernama Mok Rebbi. Beliau kerap berperang di dalam rawa-rawa (payak) sehingga tak bisa ditangkap oleh Belanda. Tokoh yang lain adalah Panglima Ligat/Legat, seorang panglima rakyat Simpang yang berani.
Dalam kisahnya, beliau pernah menyerbu ke muka berhadapan dengan komandan Belanda di tengah pasukan Belanda seorang diri. Berhasil menetak Komandan Belanda dengan mandau/pedangnya, tapi tak dapat menewaskannya, karena ternyata Komandan Belanda menggunakan baju besi/zirah yang melindungi tubuhnya. Konon beliau sempat tertangkap oleh Komandan tersebut, tapi dapat lepas dan menghilang dalam satu teriakan.
Belanda gagal menerapkan pajak
Memang dalam perang ini akhirnya perlawanan rakyat Simpang dapat dihentikan, terutama ketika Belanda berhasil mendekati tokoh-tokoh Negeri Simpang lainnya, seperti Kyai Naim dari Pulau Kumbang (Kyai Naim pun mendapat bintang emas dan gelar Dewa Dewangsa Negara dari Belanda atas jasanya) dan sebagainya . Tapi Belanda pun akhirnya gagal menerapkan pajak belasting.
Dampak perang ini, kejayaan kekuasaan Gusti Panji menurun. Beliaupun menyuruh para pengikutnya untuk eksodus keluar dari kampong-kampong di pehuluan Negeri Simpang. Terjadilah eksodus besar-besaran ke wilayah pesisir sampai akhirnya pusat kerajaanpun menjadi sepi.
Ditambah lagi dengan seiring tumbuh dan berkembangnya pusat kekuasaan baru sebagai pusat Kerajaan Simpang di Teluk Melano (sekarang ibukota Kecamatan Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara) di bawah pimpinan Panembahan Gusti Muhammad Rum.
“Setelah bertahun-tahun perlawanan, Belanda akhirnya berhasil menguasai wilayah tersebut. Namun, semangat perlawanan rakyat Kalimantan Barat tidak pernah padam dan terus menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya. Perang Belangkait menjadi simbol perjuangan melawan penindasan dan penjajahan”
Baca juga : Kekuatan Rakyat: Ketika Demonstrasi Meruntuhkan Rezim dan Godaan Kekuasaan Menciptakan Diktator Baru
Baca juga : Kiprah satuan kapal selam Angkatan Laut Hindia Belanda (Bagian 2)