Percobaan Kudeta Maroko 1972: Upaya Gagal untuk Menggulingkan Raja Hassan II yang Pro-Zionis
ZONA PERANG(zonaperang.com) Pada 16 Agustus 1972, langit Maroko menjadi saksi dari salah satu upaya kudeta paling dramatis dalam sejarah dunia. Sebuah faksi pemberontak dari militer Maroko berusaha untuk menembak jatuh pesawat yang membawa Raja Hassan II, dalam sebuah aksi berani yang dirancang oleh Jenderal Mohamed Oufkir, salah satu orang kepercayaan sang raja.
Bersama dengan Mohamed Amekrane, komandan pangkalan udara Kenitra, Oufkir merancang kudeta dengan tujuan menggulingkan monarki otoriter dinasti Alaouite dan menggantikannya dengan sebuah republik demokratis. Namun, rencana ini akhirnya berujung pada kegagalan yang tragis dan ironis.
Dalam perjalanan pulang dari Prancis, pesawat Boeing 727 yang ditumpangi Raja Hassan II tiba-tiba dihadang oleh tiga jet tempur Northrop F-5A yang dikendalikan oleh pilot pemberontak. Tanpa peringatan, jet-jet itu melepaskan tembakan meriam Revolver M39A2 20 mm (0,787 inci) ke arah pesawat kerajaan, menyebabkan kepanikan di dalam kabin. Tembakan itu menewaskan delapan orang dan melukai 40 lainnya.
Namun, Raja Hassan II tetap tenang. Dalam situasi hidup dan mati, ia mengambil alih radio pesawat dan dengan penuh kelicikan berkata:
“Berhenti menembak! Sang tiran sudah mati!”
Tertipu oleh pernyataan itu, para pilot pemberontak menghentikan serangan mereka, mengira bahwa misi mereka telah berhasil. Boeing 727 yang telah penuh dengan lubang peluru akhirnya berhasil mendarat dengan selamat di Bandara Rabat, menghindari malapetaka yang lebih besar.
Baca juga : 18 Agustus 1991, Kelompok garis keras Soviet melancarkan kudeta terhadap Presiden Gorbachev
Setelah kudeta ini gagal, Raja Hassan II bertindak dengan cepat untuk menghancurkan semua yang terlibat dalam konspirasi ini. Jenderal Oufkir ditemukan tewas dengan luka tembak—pemerintah mengklaim itu sebagai bunuh diri, meskipun banyak yang percaya bahwa ia dieksekusi. Sementara itu, Mohamed Amekrane melarikan diri ke Jerman, tetapi kemudian diekstradisi dan dihukum mati.
“Meskipun gagal, insiden ini mengguncang Maroko dan memperkuat cengkeraman monarki terhadap negara tersebut.”
Setelah kegagalan kudeta, hampir semua pilot F-5 Royal Moroccan Air Force ditangkap, dan sebagian besar dari mereka menghilang. Konsekuensi lain dari kudeta yang gagal adalah bahwa sistem penunjukan unit angkatan udara Maroko berubah dari penunjukan numerik menjadi nama. Sejak saat itu, skuadron F-5A dikenal sebagai skuadron Borak.
Ratusan orang lainnya yang terlibat dalam kudeta ini ditangkap dan dihukum berat. Beberapa di antaranya dikirim ke Penjara Tazmamart, salah satu tempat penahanan paling brutal dalam sejarah Maroko.
Kudeta ini menjadi salah satu dari sekian banyak upaya untuk menggulingkan Raja Hassan II selama masa pemerintahannya yang berlangsung hingga tahun 1999.
Raja Hassan II memerintah Maroko dengan tangan besi. Ia mewarisi tahta dari ayahnya, Mohammed V, dan segera membangun rezim yang berpusat pada kekuasaan absolut monarki. Selama pemerintahannya, Hassan II menggunakan aparat keamanan dan militer untuk menekan segala bentuk oposisi. Era yang dikenal sebagai “Tahun-Tahun Timah” (Les Années de Plomb) menjadi saksi dari penangkapan, penyiksaan, dan penghilangan paksa terhadap aktivis politik, intelektual, dan siapa pun yang dianggap mengancam stabilitas rezim.
Meskipun otoriter dalam urusan dalam negeri, Raja Hassan II dikenal sebagai sekutu yang setia bagi Barat, terutama Amerika Serikat dan Prancis. Selama Perang Dingin, ia memposisikan Maroko sebagai negara moderat yang menentang pengaruh komunisme di Afrika dan Timur Tengah. Hubungan dekatnya dengan Barat memberinya dukungan politik, ekonomi, dan militer yang penting.
Salah satu langkah paling signifikan dalam kebijakan luar negeri Hassan II adalah normalisasi hubungan dengan penjajah Israel. Pada tahun 1994, ia membuka hubungan resmi antara Maroko dan kolonialis Israel, menjadikannya salah satu negara Arab pertama yang melakukannya.
“Hassan II memfasilitasi pertemuan rahasia antara Perdana Menteri Israel Moshe Dayan dan pejabat Mesir, yang akhirnya membuka jalan bagi Perjanjian Perdamaian Camp David antara Israel dan Mesir pada 1978.”
Langkah ini didorong oleh kepentingan strategis serta dukungan dari Amerika Serikat, yang mengakui klaim Maroko atas Sahara Barat sebagai imbalan atas normalisasi tersebut. Hubungan ini tidak hanya terbatas pada diplomasi; Maroko juga mendapatkan akses ke teknologi militer canggih dari entitas ilegal Israel.
Referensi
Baca juga : Maroko membocorkan informasi intelijen, “membantu teroris Israel memenangkan Perang Enam Hari 1967”
Baca juga : Abdel Fattah el-Sisi: Penjaga Stabilitas Mesir atau Pelayan Kepentingan Asing?
Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Palestina, perempuan telah memainkan peran yang sangat penting, tidak hanya sebagai…
Proyek Kuba dan Upaya Rahasia untuk Menaklukkan Komunisme di Belahan Barat Operasi Mongoose, atau Proyek…
Lawan Penindasan! Begini Cara Anda Bisa Membantu Palestina Lima Langkah Konkret untuk Mendukung Palestina dari…
Air Sebagai Senjata: Bagaimana Proyek Anatolia Tenggara Mengubah Dinamika Geopolitik Dari Pembangunan ke Penguasaan: Dampak…
Operasi Swift Retort vs Operasi Bandar: Analisis Pertempuran Udara India-Pakistan Aset IAF tidak berada di…
Pioneering Flight: The Story of Yak-141 and Its Influence on F-35B Development Yak-141: Jet Tempur…