Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Palestina, perempuan telah memainkan peran yang sangat penting, tidak hanya sebagai pendukung, tetapi juga sebagai aktor utama dalam melawan pendudukan zionis Israel. Di tengah ketidakadilan yang terus berlangsung, mereka menjadi simbol kekuatan, keberanian, dan harapan bagi rakyat Palestina. Bulan Sejarah Perempuan atau Women’s History Month adalah momen yang tepat untuk mengenang dan menghormati kontribusi luar biasa perempuan Palestina dalam perjuangan mereka untuk keadilan dan kebebasan.
ZONA PERANG (zonaperang.com) Dalam sejarah panjang perjuangan Palestina melawan pendudukan, perempuan telah memainkan peran yang luar biasa. Mereka tidak hanya menjadi simbol ketahanan, tetapi juga aktor utama dalam berbagai bentuk perlawanan—baik melalui aksi langsung, diplomasi, seni, maupun advokasi hak asasi manusia.
Di Bulan Sejarah Perempuan ini, kita mengenang mereka yang telah menginspirasi dunia dengan keberanian dan pengorbanan mereka.
Bulan Sejarah Perempuan atau Women’s History Month
Women’s History Month adalah peringatan yang berlangsung sepanjang bulan Maret untuk mengenang perjuangan, kontribusi, dan pencapaian perempuan dalam sejarah. Awalnya, peringatan ini dimulai sebagai Hari Perempuan Internasional pada tanggal 8 Maret, yang kemudian berkembang menjadi satu minggu di Amerika Serikat pada tahun 1980-an, hingga akhirnya ditetapkan sebagai bulan penuh pada tahun 1987.
Tujuan utama dari Bulan Sejarah Perempuan adalah untuk meningkatkan kesadaran tentang peran penting perempuan dalam berbagai bidang, seperti politik, pendidikan, seni, dan ilmu pengetahuan. Di banyak negara, peringatan ini diisi dengan seminar, pameran, diskusi, dan penghargaan bagi perempuan yang berprestasi.
Di Indonesia, meskipun Bulan Sejarah Perempuan belum sepopuler di negara-negara Barat, Hari Perempuan Internasional sering dijadikan momentum untuk mengangkat isu kesetaraan gender dan hak-hak perempuan.
Sampul: Leila Khaled adalah militan dan aktivis Palestina yang merupakan anggota Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP). Ia terkenal sebagai wanita pertama yang membajak pesawat terbang.
Baca juga : Laksamana Malahayati (Keumalahayati), Pahlawan Perempuan Penumpas Cornelis de Houtman
Baca juga : Apa pandangan kerajaan Arab Saudi terhadap perlawanan Palestina di Gaza?
Para Pejuang Perempuan Palestina: Kisah Nyata Keteguhan di Tengah Pendudukan
Di tengah deru konflik yang tak kunjung usai, nama-nama pejuang kemerdekaan Palestina kerap menggema sebagai simbol perlawanan terhadap pendudukan Israel. Namun, di balik sorotan yang sering didominasi wajah-wajah maskulin, ada para perempuan yang berdiri tegak, menorehkan sejarah dengan keberanian dan keteguhan yang tak bisa diabaikan.
Bulan Sejarah Perempuan—yang diperingati setiap Maret—memberi kita kesempatan untuk mengenang dan menghormati mereka: para pejuang perempuan Palestina yang tak hanya melawan penjajahan, tetapi juga stereotip dan patriarki. Kisah mereka bukan sekadar catatan sejarah; mereka adalah bukti hidup bahwa perlawanan tak mengenal gender.
1. Leila Khaled: Ikon dengan Senapan dan Semangat
Leila Khaled barangkali adalah nama yang paling dikenal luas. Lahir di Haifa pada 9 April 1944, ia menjadi pengungsi di usia empat tahun saat keluarganya terpaksa meninggalkan Palestina pada 1948 akibat Nakba. Bergabung dengan Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP), Leila mencatatkan dirinya dalam sejarah sebagai perempuan pertama yang membajak pesawat pada 1969.
Ia memaksa TWA Flight 840 dari Roma ke Tel Aviv mendarat di Damaskus, sebuah aksi dramatis untuk menarik perhatian dunia pada nasib rakyat Palestina. Setahun kemudian, ia kembali beraksi dalam pembajakan Dawson’s Field, meski kali ini ditangkap di London. Foto ikoniknya—memegang AK-47 dengan kaffiyeh melilit kepala—menjadi lambang perlawanan yang abadi. Leila bukan sekadar militan; ia adalah suara yang lantang, menyuarakan bahwa perjuangan Palestina adalah perjuangan untuk hidup, bukan sekadar mati.
2. Dalal Mughrabi: Nyawa untuk Tanah Air
Dalal Mughrabi adalah nama lain yang tak bisa dilewatkan. Lahir di kamp pengungsi Sabra, Beirut, pada 1959, ia bergabung dengan sayap bersenjata Fatah dan memimpin operasi berani pada 1978 yang dikenal sebagai “Coastal Road”. Bersama 11 pejuang lainnya, ia membajak bus di jalur Haifa-Tel Aviv, menuntut pembebasan tahanan Palestina.
Operasi ini berakhir tragis: Dalal dan sembilan rekannya gugur, bersama 38 warga pendudukan Israel. Meski kontroversial, aksinya mencerminkan tekad bulat seorang perempuan muda yang rela mengorbankan nyawa demi tanah airnya. Bagi banyak orang Palestina, Dalal adalah martir, simbol pengorbanan yang tak kenal takut.
3. Shadia Abu Ghazalah: Bom yang Meledak Terlalu Dini
Shadia Abu Ghazalah mungkin kurang terdengar di telinga dunia, tapi kisahnya tak kalah menggetarkan. Lahir di Nablus pada 1947, ia bergabung dengan PFLP setelah Naksa 1967, saat penjajah Israel menduduki Tepi Barat dan Gaza. Pada November 1968, di usia 19 tahun, Shadia sedang menyiapkan bom untuk aksi perlawanan di kampung halamannya. Sayangnya, bom itu meledak sebelum waktunya, merenggut nyawanya.
Kematiannya yang prematur tak menghapus jejaknya; ia menjadi salah satu perempuan pertama yang mengangkat senjata dalam perjuangan bersenjata melawan pendudukan, membuktikan bahwa keberanian tak mengenal usia.
4. Fatima Barnawi: Pelopor Tahanan Politik
Fatima Barnawi membawa warna lain dalam narasi perlawanan. Lahir di Yerusalem pada 1939 dari ibu Palestina dan ayah Nigeria, ia menyaksikan Nakba dan bergabung dengan Fatah pada 1960-an. Pada 1967, ia melakukan operasi militer dengan melempar bom ke bioskop di Yerusalem sebagai protes terhadap pendudukan.
Ditangkap dan dijatuhi hukuman seumur hidup, Fatima menjadi perempuan Palestina pertama yang tercatat sebagai tahanan politik. Ia dibebaskan pada 1977 melalui pertukaran tahanan, namun kisahnya tetap hidup sebagai bukti bahwa perlawanan bisa lahir dari siapa saja, bahkan mereka yang terpinggirkan.
5. Fadwa Tuqan: Penyair Perlawanan
Fadwa Tuqan, yang dikenal sebagai “Penyair Palestina,” menggunakan kata-katanya sebagai senjata untuk melawan penindasan. Melalui puisi-puisinya, ia menggambarkan penderitaan rakyat Palestina dan menyerukan kebebasan. Karyanya menjadi inspirasi bagi generasi muda Palestina untuk terus berjuang, bahkan dalam kondisi yang paling sulit.
Baca juga : Solidaritas untuk Palestina: 5 Aksi Nyata yang Bisa Kita Lakukan
Baca juga : Apakah Viking pernah berperang melawan pasukan Muslim?
6. Terez Halaseh: Pejuang Tanah Air
Terez Halaseh adalah seorang anggota dari Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP). Ia dikenal karena keberaniannya dalam perlawanan bersenjata, termasuk keterlibatannya dalam operasi pembajakan pesawat Sabena pada tahun 1972. Halaseh menampilkan komitmen yang luar biasa terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina, menjadikan dirinya sebagai simbol perjuangan generasi muda Palestina.
7. Souha Bechara: Pendukung dari Lebanon
Souha Bechara adalah seorang aktivis Palestina-Lebanon yang dikenal atas keterlibatannya dalam melawan pendudukan Israel di Lebanon. Sebagai anggota dari Front Perlawanan Nasional Lebanon, Bechara mencoba membunuh seorang jenderal Israel yang menduduki bagian selatan Lebanon. Meskipun tindakannya mengakibatkan penangkapannya, keberanian dan dedikasinya terhadap kebebasan Palestina tetap menjadi inspirasi.
8. Fusako Shigenobu: Dukungan Internasional
Fusako Shigenobu adalah seorang aktivis Jepang dan pendiri Tentara Merah Jepang, sebuah kelompok revolusioner yang berafiliasi dengan Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP). Shigenobu mendukung perjuangan Palestina dari luar Timur Tengah, menunjukkan bahwa solidaritas internasional memainkan peran penting dalam memperjuangkan keadilan global.
Shigenobu bergabung dalam perjuangan Palestina melawan pendudukan Israel selama tahun 1970-an dan 1980-an. Anggota JRA ikut serta dalam sejumlah serangan terhadap Israel, termasuk pengeboman, penembakan, dan pembajakan.
9. Wafa Idris: Simbol Pengorbanan
Wafa Idris dikenal sebagai perempuan Palestina pertama yang melakukan operasi bom bunuh diri pada tahun 2002. Idris sebelumnya adalah seorang relawan medis yang menyaksikan penderitaan rakyat Palestina akibat pendudukan Israel. Tindakannya, meskipun penuh kontroversi, mencerminkan frustrasi mendalam yang dirasakan oleh rakyat Palestina di tengah penindasan.
“Wafa Idris adalah wanita Palestina pertama yang melakukan operasi syahid selama intifada kedua. IDF masih menyimpan jasadnya.”
10. Ahed Tamimi: Wajah Muda Perlawanan Modern
Jika Leila dan Dalal mewakili generasi lampau, Ahed Tamimi adalah wajah perlawanan masa kini. Lahir pada 2001 di desa Nabi Saleh, Tepi Barat, Ahed menjadi sorotan dunia pada 2017 saat ia menampar tentara Israel yang menggerebek rumahnya. Usianya baru 16 tahun, tapi aksinya—yang terekam dalam video viral—mengguncang stereotip tentang perempuan Palestina.
Ditahan selama delapan bulan, Ahed muncul sebagai simbol generasi baru yang tak gentar menghadapi kekuatan militer. Ibunya, Nariman, juga turut ditahan karena merekam kejadian itu, menunjukkan bahwa perlawanan sering kali adalah warisan keluarga.
11. Razan al-Najjar: Malaikat Penolong di Garis Depan
Razan al-Najjar adalah seorang paramedis muda yang menjadi martir dalam aksi protes Great March of Return di Gaza pada tahun 2018. Ia ditembak oleh tentara pendudukan Israel saat sedang memberikan bantuan medis kepada demonstran yang terluka. Razan al-Najjar kini dikenang sebagai simbol keberanian perempuan Palestina yang berjuang di garis depan kemanusiaan.
12. Shireen Abu Akleh : Pejuang di Medan Jurnalistik
Seorang jurnalis veteran Al Jazeera, Shireen Abu Akleh adalah sosok yang tak gentar melaporkan kekejaman yang dilakukan oleh tentara Israel. Dengan keberanian luar biasa, ia berdiri di garis depan, memberikan suara bagi mereka yang dibungkam.
Tragisnya, ia dibunuh oleh pasukan penjajah Israel pada Mei 2022 saat sedang meliput serangan militer di Jenin. Namun, warisannya tetap hidup, menginspirasi jurnalis dan aktivis di seluruh dunia.
Baca juga : Gereja St. Polyeuctus dan Penjarahan Konstantinopel: Puncak Konflik Gereja Timur dan Barat
Baca juga : Apakah Palestina Akan Berakhir? Dari Afrika Selatan ke Gaza: Pelajaran Perjuangan Melawan Penjajahan
Intifada Pertama: Kekuatan Kolektif Perempuan
Tak semua perjuang dilakoni secara individu. Saat Intifada Pertama meletus pada 1987, perempuan Palestina dari berbagai lapisan—ibu, pekerja, pelajar—turun ke jalan. Mereka melempar batu, membakar ban, dan memimpin boikot ekonomi terhadap barang Israel.
Komite perempuan dibentuk secara sembunyi-sembunyi, menyamar sebagai kelompok menjahit atau memasak, padahal mereka merencanakan aksi massa. Di tengah penutupan sekolah oleh Israel, perempuan mendirikan kelas-kelas darurat di basement dan rumah kosong, memastikan pendidikan tetap berjalan. Peran mereka tak hanya taktis, tetapi juga moral—kehadiran mereka di demonstrasi sering kali melindungi pria dari kekerasan brutal tentara kolonial Israel.
Mengapa Mereka Penting?
Para perempuan ini bukan anomalitas dalam masyarakat Palestina, melainkan cerminan dari ketahanan kolektif yang telah berlangsung sejak akhir abad ke-19, ketika perempuan pertama kali berdemo melawan koloni Yahudi di Afula pada 1893.
Mereka melawan pendudukan Inggris pada 1930-an, membentuk kelompok seperti Zahrat al-Uqhawan, dan terus bertahan melalui Nakba, Naksa, hingga kini. Data Amnesty International mencatat bahwa sejak 1967, lebih dari 10.000 perempuan Palestina ditahan, menghadapi penyiksaan psikologis dan fisik—angka yang menegaskan bahwa perlawanan mereka bukan tanpa risiko.
Di Bulan Sejarah Perempuan ini, mengenang mereka bukan sekadar nostalgia. Ini adalah pengakuan bahwa perjuangan Palestina tak akan utuh tanpa suara dan tangan perempuan. Mereka bukan pelengkap, melainkan tulang punggung—dari senapan Leila hingga tamparan Ahed, dari bom Shadia hingga boikot Intifada. Mereka mengajarkan bahwa kebebasan bukan hanya soal tanah, tetapi juga martabat, dan bahwa perlawanan adalah hak setiap jiwa, tak peduli jenis kelaminnya.
Baca juga : 2 November 1917, Balfour Declaration : Awal Pendudukan Zionis di Palestina