Perang antara lapisan masyarakat melawan sekutu pemenang perang dunia kedua. Peristiwa ini juga tercatat dalam sejarah internasional, namun tidak banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia
ZONA PERANG(zonaperang.com) Selepas proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajahan masih terus berlanjut. Perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia saat itu harus berlangsung.
“Bojong Kokosan merupakan nama suatu desa di Kecamatan Parung Kuda, Kabupaten Sukabumi. Desa tersebut merupakan tempat terjadinya peristiwa Perang Konvoi atau lebih dikenal dengan Pertempuran Bojong Kokosan melawan tentara Inggris dan NICA pada tahun 1945”
Setelah Jepang kalah di Perang Dunia II, agresi tentara Sekutu yang diboncengi pasukan kolonial Belanda (NICA) segera mendapat perlawanan dari rakyat Indonesia. Perlawanan bersenjata dari pejuang kemerdekaan Indonesia pun merebak di berbagai daerah. Salah satu peristiwa heroik yang menandai perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan itu adalah pertempuran Bojong Kokosan yang terjadi di wilayah Sukabumi yang berbukit-bukit pada 9 – 12 Desember 1945.
Baca juga : Bekasi Lautan Api, Pertempuran Heroik para Pejuang Indonesia dari Kota Patriot
Baca juga : (Melawan Lupa)Pao An Tui, Sisi Kelam Masyarakat Cina pendukung Belanda di Indonesia
Hanya untuk melucuti tentara Jepang
Kedatangan tentara Sekutu di Indonesia pada akhir Oktober 1945 semula didasari tujuan melucuti senjata tentara kekaisaran Jepang. Mereka juga bermaksud untuk membebaskan tawanan pasukan Jepang di sejumlah daerah, seperti Surabaya, Bandung, dan lain sebagainya.
Tawanan yang hendak dibebaskan Sekutu itu dikenal dengan sebutan Allied Prisoners of War and Intenees (APWI) yang ditahan di kamp-kamp tawanan daerah.
Oleh sebab itu, kedatangan tentara Sekutu semula disambut baik rakyat Indonesia. Terlebih lagi, pihak Inggris berjanji tidak akan menyertakan tentara Netherlands Indies Civil Administration (NICA) di barisan pasukan sekutu.
Selain itu, Sekutu juga sepakat dengan pemerintah Republik Indonesia untuk melibatkan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dalam proses pengiriman bantuan perbekalan untuk tawanan APWI.
Sekutu melanggar kesepakatan
Akan tetapi, Sekutu melanggar kesepakatan yang sudah diteken kedua belah pihak. Pengiriman perbekalan untuk tawanan APWI ke Bandung dilakukan dengan konvoi besar, tanpa melibatkan TKR.
Mengetahui adanya pelanggaran perjanjian itu, Perdana Menteri Indonesia Sutan Syahrir kemudian membahas masalah ini dengan Komandemen Jawa Barat dan Walikota Sukabumi, Syamsudin.
Koordinasi itu menyepakati bahwa konvoi pasukan Sekutu yang melewati rute Bogor-Sukabumi-Cianjur akan dihadang. Penghadangan konvoi Sekutu yang diboncengi oleh NICA itu terjadi pada 9 Desember 1945, dan berlokasi di Bojong Kokosan, Sukabumi. Bentrok senjata yang terjadi pada saat pengadangan itu kemudian dikenal dengan sebutan pertempuran Bojong Kokosan.
Penyergapan
Sebelum melakukan pengadangan, pejuang Indonesia sudah menyiapkan strategi dengan matang. Sebagaimana dikutip dari buku Sejarah III (2007) yang ditulis oleh Anwar Kurnia & Moh. Suryana, Komandan Resimen III TKR Letkol Edi Sukardi melakukan kerja sama dengan laskar-laskar rakyat seperti Hisbullah, Fisabilillah, Barisan Benteng, dan Pesindo.
Peta penyerangan yang sepanjang 81 km disusun dalam empat titik tempur, mulai dari Cigombong sampai Ciranjang. Titik utamanya terletak di Bojong Kokosan.
Regu pengadang pertama dipimpin oleh Mayor Yahya Bahram, serta Kapten Murad Idrus sebagai pelaksana lapangan. Pengadangan pertama ini sebenarnya menjadi barikade tipuan dan bertujuan mengacaukan konsentrasi tentara Sekutu pimpinan AJF Doulton.
Bentuk wilayah Bojong Kokosan
Bojong Kokosan merupakan tempat yang dianggap paling srategis, karena secara geografis, wilayah ini diapit oleh dua tebing yang memudahkan penyerangan dari atas. Strategi perang ini dinamakan Eddie dengan ‘memukul ular berbisa’, hal ini didasarkan pula pada bentuk jalan yang berkelok-kelok di wilayah Sukabumi.
Tentara sekutu yang datang dari Cigombong diibaratkan seekor ular (karena tengah berkonvoi), yang kurang lebih panjangnya 12 km, mulai dari ekornya di Cigombong, hingga kepalanya di Bojong Kokosan.
Akhirnya penyerangan pun dimulai saat ‘kepala’ tentara sekutu berada di Bojong Kokosan pada tanggal 9 Desember 1945.
Persenjataan lengkap VS seadanya
Strategi itu didasari pertimbangan bahwa pasukan Sekutu dan NICA dibekali dengan persenjataan perang lengkap, termasuk tank, panser, hingga pesawat tempur. Sementara, pasukan Indonesia hanya berbekal senjata seadanya.
Dalam konvoi mereka yang melewati Bojong Kokosan itu, pasukan Sekutu membawa perbekalan untuk tawanan APWI yang diangkut puluhan truk, serta dikawal delapan Cadillac Light Tank M3 Stuart, tiga pesawat Republic P-47 Thunderbolt, dan satu pesawat de Havilland DH.98 Mosquito. Ketika tiba di Bojong Kokosan, mereka terpaksa berhenti sekitar pukul 16.30 karena pengadangan dari barikade pertama.
“Kendaraan pengawal konvoi Sekutu terjebak lubang yang disiapkan oleh para pejuang di jalan yang diapit dua tebing di daerah Bojong Kokosan, jalan raya antara Bogor-Sukabumi.”
Baca juga : Penjajah Belanda tidak suka Soekarno dan Mohammad Hatta yang banyak omong
Baca juga : 22 Oktober 1945, Hari Santri : Fatwa Resolusi Jihad Ulama untuk Kemerdekaan Indonesia
Neraka
Dalam beberapa jam, pengadangan tipuan yang awalnya diremehkan Sekutu itu berubah menjadi pertempuran mahal dan berdarah. Granat tangan dan bom molotov kemudian dilemparkan ke arah tentara Sekutu dan kendaraan tempur mereka. Tentara Sekutu yang tidak menyangka akan penyerangan tersebut berubah panik dan kehilangan kendali.
Taktik yang dirancang Eddie sebenarnya adalah ‘Hit and Run’. Menyerang, kemudian mundur. Namun, semangat yang dimiliki pejuang Sukabumi saat itu begitu besar dan bergejolak, hingga mereka lupa pada taktik awal, ‘Hit and Run’. Mereka terus menggempur sekutu selama sekitar satu jam, dan lupa untuk melarikan diri secepat mungkin. Akibatnya, resiko yang ditanggung pejuang ini adalah kehabisan amunisi.
Berbalik dan menembak kawan sendiri
Menyadari masyarakat Sukabumi yang kehabisan senjata, sekutu pun berbalik menyerang dengan membabi buta. Mereka menaiki tebing pertahanan di Bojong Kokosan, mengebom dan menembaki pejuang.
Ketika berada pada peristiwa genting itu, terjadi hujan besar turun disertai kabut yang tebal. Tentu saja kesempatan ini dimanfaatkan pejuang untuk bergerak mundur. Turunnya hujan disertai kabut tebal pada pertempuran di Bojong Kokosan ini pun tercatat pada buku The Fighting Cock, The Story of The 23 Indian Division Chapter 21 dikenal dengan ‘cloud over Java’. Jika ditinjau dari kepercayaan agama, masyarakat percaya keajaiban tersebut datangnya dari Allah Yang Maha Esa.
Akhirnya, ketika hujan reda, barulah pesawat tempur RAF Inggris menembaki area tempur dari kawasan udara. Meski begitu, serbuan itu menjadi hantaman yang signifikan dan menyakitkan bagi Sekutu.
Saat kabut masih menyelimuti Bojong Kokosan, sebenarnya sekutu meluncurkan serangan udara dengan memborbardir wilayah ini. Sayangnya, serangan yang mereka luncurkan tanpa perhitungan yang tepat. Sudah tidak ada lagi masyarakat Sukabumi, justru mereka memborbardir tentaranya sendiri.
Baca juga : 29 Juli 1947, Pemboman Udara Pertama Indonesia : Peristiwa Pengeboman Semarang Salatiga Ambarawa
Baca juga : 10 Juni 1947, Mesir menjadi negara pertama yang mengakui secara resmi negara Indonesia
Malu
Karena merasa harkat dan martabatnya direndahkan, maka sekutu meluapkan amarahnya dengan memborbardir kawasan Cibadak, tak jauh dari Bojong Kokosan, pada 10 Desember 1945. Sekutu beranggapan kawasan Cibadak merupakan benteng pertahanan TKR, padahal daerah ini hanya berisi pasar tradisional. Meski begitu, pengeboman yang dilakukan sekutu merupakan salah satu pengeboman terbesar di Jawa Barat.
Korban
Tercatat, dalam pertempuran Bojong Kokosan, sekitar 50 tentara Sekutu tewas dan 100 orang lainnya cedera dalam berbagai kondisi. Sebaliknya, merujuk data arsip Museum Bojong Kokosan, korban dari kubu Indonesia adalah 28 orang.
“Banyaknya korban di pihak Inggris menimbulkan perdebatan di Parlemen Inggris dan mengundang perhatian dunia.”
Hari Juang Siliwangi
Penyerangan ini dikenal sejarah internasional sebagai The First Convoy Battle in Indonesia. Hal tersebut tercatat dalam buku Pertempuran Konvoi Sukabumi-Cianjur 1945-1946. Bahkan Kolonel Doulton dari pihak sekutu yang saat itu juga terlibat dalam konvoi, turut menuliskan peristiwa besar tersebut melalui buku The Fighting Cock.
Untuk mengingat keberanian para pejuang Indonesia di pertempuran Bojong Kososan, dibangunlah Museum Palagan Bojong Kokosan. Museum itu menampilkan dokumentasi foto para pejuang yang gugur dalam pertempuran tersebut. Tanggal terjadinya pertempuran Bojong Kokosan, sejak 2004 lalu, juga ditetapkan sebagai Hari Juang Siliwangi.
Baca juga : 14 Februari 1945, Pemberontakan pasukan PETA di Blitar
Baca juga : Palagan Ambarawa dan taktik supit urang : Pertempuran yang Menginspirasi TNI-AD