Rhodesian Bush War, juga dikenal sebagai Perang Kemerdekaan Zimbabwe atau Second Chimurenga, adalah konflik bersenjata yang berlangsung dari tahun 1964 hingga 1979. Perang ini merupakan perjuangan panjang dan berdarah yang akhirnya mengakhiri pemerintahan minoritas kulit putih di Rhodesia dan melahirkan negara Zimbabwe yang merdeka.
ZONA PERANG(zonaperang.com) Pada awal 1960-an, Rhodesia, negara yang tidak diakui dan merupakan wilayah jajahan Inggris, diperintah oleh minoritas kulit putih yang menolak memberikan hak suara kepada mayoritas kulit hitam. Ketidakadilan ini memicu perlawanan dari kelompok-kelompok nasionalis Afrika yang menginginkan kemerdekaan dan hak-hak yang setara.
Perang ini menjadi salah satu konflik paling brutal dan kompleks dalam sejarah Afrika, dengan dampak jangka panjang yang masih terasa hingga hari ini.
Mengapa
Pada awal 1960-an, setelah gelombang dekolonisasi menyapu Afrika, banyak negara-negara di benua ini meraih kemerdekaan dari kekuasaan kolonial Eropa. Namun, di Rhodesia, pemerintah minoritas kulit putih yang dipimpin oleh Ian Smith justru menentang tuntutan kemerdekaan mayoritas kulit hitam. Pada tahun 1965, Ian Smith secara sepihak memproklamirkan kemerdekaan Rhodesia dari Inggris melalui Unilateral Declaration of Independence (UDI). Meskipun Inggris menentang langkah tersebut, Smith tetap mempertahankan sistem pemerintahan apartheid yang menindas mayoritas penduduk Afrika di Rhodesia.
“Pada tahun 1964, Rhodesia, yang sekarang dikenal sebagai Zimbabwe, mengalami perubahan besar dalam sejarahnya. Pemerintah Rhodesia, yang dipimpin oleh Ian Smith, mengumumkan Unilateral Declaration of Independence (UDI) atau mendeklarasikan kemerdekaan sepihak dari Inggris dari Inggris pada tanggal 11 November 1965. Tindakan ini diikuti oleh sanksi ekonomi dari Inggris dan negara-negara lain di dunia, yang berdampak besar pada ekonomi Rhodesia.”
Baca juga : Penjajahan Belgia
Baca juga : 4 Desember 1992, Presiden Bush memerintahkan pasukan Amerika ke Somalia
Pihak-Pihak yang Terlibat
“Perang Bush Rhodesia melibatkan tiga pihak utama: pemerintah Rhodesia, Zimbabwe African National Liberation Army (ZANLA) yang merupakan sayap militer dari Zimbabwe African National Union (ZANU) pimpinan Robert Mugabe, dan Zimbabwe People’s Revolutionary Army (ZIPRA) dari Zimbabwe African People’s Union (ZAPU) pimpinan Joshua Nkomo.”
Konflik ini pada dasarnya adalah perang sipil tiga arah, dengan kelompok pejuang pembebasan yang terdiri dari dua faksi utama: ZANU (Zimbabwe African National Union) yang dipimpin oleh Robert Mugabe dan memiliki sayap militer bernama ZANLA, serta ZAPU (Zimbabwe African People’s Union) yang dipimpin oleh Joshua Nkomo, dengan sayap militernya yang disebut ZIPRA. Kedua faksi ini didukung oleh kekuatan internasional, seperti Uni Soviet dan Cina, yang memasok senjata serta dukungan militer.
Intensitas Perang:
Perang ini tidak hanya berfokus pada pertempuran militer, tetapi juga pada propaganda dan operasi intelijen. Pemerintah Rhodesia menggunakan strategi yang modern untuk menghadapi gerilyawan, termasuk penggunaan senjata-senjata canggih dan teknologi militer. Sementara itu, ZANLA dan ZIPRA menggunakan basis-basis di Zambia dan Mozambique untuk melancarkan serangan-serangan terhadap pemerintah Rhodesia.
“Pemerintahan Ian Smith, meskipun minoritas, memiliki tentara yang terlatih dengan baik dan mendapat dukungan dari Afrika Selatan serta, dalam beberapa bentuk, Israel. “
Perang ini sebagian besar merupakan perang gerilya, dengan ZANLA dan ZIPRA menggunakan taktik hit-and-run dan serangan mendadak terhadap pasukan Rhodesia. Pemerintah Rhodesia, di sisi lain, menggunakan kekuatan militer konvensional dan dukungan dari negara-negara seperti Afrika Selatan dan Portugal.
Peran Negara-Negara Tetangga dan Internasional
Rhodesian Bush War tidak hanya merupakan konflik internal, tetapi juga dipengaruhi oleh geopolitik internasional. Negara-negara tetangga seperti Mozambik dan Zambia memainkan peran penting sebagai tempat perlindungan bagi para pejuang gerilya. Selain itu, perang ini juga menjadi bagian dari Perang Dingin, dengan Uni Soviet dan Cina mendukung faksi pembebasan, sementara pemerintahan Ian Smith mendapat bantuan militer dan ekonomi dari Afrika Selatan dan negara-negara Barat yang khawatir dengan penyebaran komunisme di Afrika.
PBB dan Inggris menekan Rhodesia dengan sanksi ekonomi dan embargo, yang membuat situasi di Rhodesia semakin sulit. Namun, kekuatan militer Rhodesia tetap bertahan selama bertahun-tahun, meskipun berada dalam isolasi internasional. Ini menciptakan ketegangan di wilayah tersebut, terutama dengan meningkatnya dukungan global terhadap gerakan anti-kolonial.
Selama perang, pemerintah zionis Israel menyatakan dukungannya terhadap Rhodesia dan menjalin hubungan material. Penjajah Israel memberi Rhodesia hak untuk memproduksi Uzi sendiri di samping pengiriman material. Hal ini mengakibatkan Uzi menjadi standar di tentara Rhodesia, polisi, dan warga kulit putihnya. Perusahaan-perusahaan penjajah Israel digunakan untuk membangun sabuk ranjau darat sepanjang 500 mil di sepanjang perbatasan Mozambik dan Zambia.
Baca juga : Permainan Besar di Timur Tengah: Jalinan Wahabi, Saudi, Inggris dan Zionisme
Baca juga : Uqba bin Nafi Panglima Muslim Penakluk Afrika
Penggunaan senjata biologis dan kimia
Seiring dengan meningkatnya intensitas perang, Pasukan Keamanan Rhodesia memulai program Senjata Kimia dan Biologi (CBW) untuk membunuh gerilyawan di Rhodesia dan di kamp-kamp eksternal di Zambia dan Mozambik. Upaya tersebut memiliki tiga tujuan. Pertama, program ini bertujuan untuk melenyapkan gerilyawan yang beroperasi di Rhodesia melalui pasokan yang terkontaminasi yang disediakan oleh orang-orang kontak, yang diambil dari tempat persembunyian, atau dicuri dari toko-toko pedesaan.
Kedua, program ini bertujuan untuk mencemari pasokan air di sepanjang rute infiltrasi gerilyawan ke Rhodesia, yang memaksa gerilyawan untuk melakukan perjalanan melalui daerah kering untuk membawa lebih banyak air dan lebih sedikit amunisi atau melakukan perjalanan melalui daerah yang dipatroli oleh pasukan keamanan. Terakhir, pasukan Rhodesia berusaha menyerang gerilyawan di kamp-kamp mereka di Mozambik dengan meracuni makanan, minuman, dan obat-obatan.
Bahan kimia yang paling banyak digunakan dalam program Rhodesia adalah parathion (insektisida organofosfat) dan talium (logam berat yang umum ditemukan dalam rodentisida). Agen biologis yang dipilih oleh warga Rhodesia untuk digunakan juga mencakup Vibrio cholerae (agen penyebab kolera) dan Bacillus anthracis (agen penyebab antraks). Mereka juga mempertimbangkan penggunaan Rickettsia prowazekii (agen penyebab tifus epidemik), dan Salmonella typhi (agen penyebab demam tifoid), dan toksin—seperti risin dan toksin botulinum.
Internal Settlement dan Lancaster House Agreement:
Pada tahun 1978, pemerintah Rhodesia dan Bishop Abel Muzorewa menandatangani Internal Settlement, yang berujung pada implementasi universal suffrage pada bulan Juni 1979. Namun, perjanjian ini tidak diterima oleh internasional dan perang terus berlanjut. Pada bulan Desember 1979, perundingan antara pemerintah Zimbabwe-Rhodesia, pemerintah Inggris, dan “Patriotic Front” pimpinan Mugabe dan Nkomo berlangsung di Lancaster House, London. Hasilnya adalah Lancaster House Agreement, yang mengembalikan Rhodesia ke bawah kendali Inggris sementara waktu sebelum diadakan pemilihan umum baru di bawah pengawasan Inggris dan Persemakmuran pada bulan Maret 1980.
“Perang ini berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Lancaster House pada tahun 1979, yang mengatur pemilihan umum bebas dan adil. Pada tahun 1980, Zimbabwe resmi merdeka dengan Robert Mugabe sebagai perdana menteri pertama.”
Kemerdekaan Zimbabwe:
Pemilihan umum yang diadakan pada bulan Maret 1980 berakhir dengan kemenangan ZANU pimpinan Robert Mugabe. Pada tanggal 18 April 1980, Mugabe menjadi Perdana Menteri pertama Zimbabwe, dan negara ini mencapai kemerdekaan internasional yang diakui.
Konflik sipil yang kompleks dan intens
Perang Bush Rhodesia merupakan sebuah konflik sipil yang kompleks dan intens, yang berlangsung selama lebih dari satu dekade. Dengan melibatkan tiga pihak utama dan menggunakan strategi militer yang canggih, perang ini berakhir dengan kemerdekaan Zimbabwe yang diakui internasional. Sejarah perang ini memberikan pelajaran penting tentang pentingnya persatuan dan perdamaian dalam mencapai tujuan nasional.
“Meskipun penuh dengan penderitaan, perang ini menunjukkan kekuatan dan ketahanan rakyat dalam memperjuangkan hak-hak mereka.”
Baca juga : Khartoum Resolution: Dasar perjuangan Hamas dalam Merebut Kembali Palestina yang Terjajah