ZONA PERANG (zonaperang.com) Setelah melancarkan Agresi Militer Kedua, Belanda menyiarkan propaganda bahwa Indonesia telah musnah. Untuk memutarbalikkan propaganda tersebut,Tentara Nasional Indonesia (TNI) menyusun strategi menyerang Kota Yogyakarta yang diduduki Belanda yang kemudian dikenal sebagai Serangan Umum 1 Maret 1949.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang mengagas ide tersebut. Tujuannya agar dunia tahu bahwa Indonesia masih ada melawan Belanda yang tidak mengakui kedaulatan Indonesia. Peristiwa penyerangan Yogyakarta oleh TNI ini kemudian dikenang sebagai Serangan Umum 1 Maret 1949.
Kurang lebih satu bulan selepas Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan pada Desember 1948, Tentara Nasional Indonesia mulai menyusun strategi untuk melakukan serangan balik. Pada 18 Februari 1949, Jenderal Sudirman mengadakan rapat Pimpinan Tertinggi Militer dan Sipil di wilayah Gubernur Militer III, yang dilaksanakan di markas yang terletak di lereng Gunung Sumbing.
Selain Kol. Bambang Sugeng, Letkol Wiliater Hutagalung, dan Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini Martodiharjo, hadir juga Gubernur Sipil K.R.M.T. Wongsonegoro, serta Residen Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking, dan Bupati Sangidi.
Selain Sultan Hamengku Buwono IX, Siapa Tokoh Lainnya dalam Serangan Umum 1 Maret 1949
Berikut sejumlah tokoh yang terlibat dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.
1. Jenderal Soedirman
Pada Agresi Militer Belanda II, ketika pemimpin-pemimpin politik berlindung di keraton sultan. Jenderal Sudirman(24 Januari 1916 – 29 Januari 1950) yang saat itu baru keluar dari rumah sakit karena sakit paru-paru, beserta sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya melakukan perjalanan ke arah selatan dan memulai perlawanan gerilya selama tujuh bulan.
Awalnya mereka diikuti oleh pasukan Belanda, tetapi ia dan pasukannya berhasil kabur dan mendirikan markas sementara di Sobo, di dekat Gunung Lawu. Dari tempat ini, Raden Soedirman mengomandoi kegiatan militer di Pulau Jawa.
Pada 18 Februari 1949, Jenderal Sudirman mengadakan rapat Pimpinan Tertinggi Militer dan Sipil di wilayah Gubernur Militer III, yang dilaksanakan di markas yang terletak di lereng Gunung Sumbing.
Selain Kol. Bambang Sugeng, Letkol Wiliater Hutagalung, dan Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini Martodiharjo, hadir juga Gubernur Sipil Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro, serta Residen Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking, dan Bupati Sangidi.
2. Kolonel Wiyono
Dalam rapat 18 Februari 1949 tersebut dibahas tentang strategi penyerangan terhadap Belanda di Yogyakarta untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada.
Strateginya adalah mencari sejumlah pemuda berbadan tinggi dan tegap, lancar berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis dan dilengkapi dengan seragam perwira TNI. Sebelum penyerangan, pemuda-pemuda ini harus sudah berada di dalam kota.
Bukan untuk berperang, keberadaan mereka dimaksudkan untuk menunjukkan diri kepada wartawan-wartawan asing bahwa TNI masih ada. Oleh karena itu mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna menunjukkan diri kepada anggota-anggota UNCI serta wartawan-wartawan asing yang berada di hotel tersebut.
Kolonel Wiyono, Pejabat Kepala Bagian PEPOLIT Kementerian Pertahanan yang juga berada di Gunung Sumbing ditugaskan mencari pemuda-pemuda yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, terutama yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris tersebut.
3. Letkol dr. Wiliater Hutagalung
Sekitar awal Februari 1948, di perbatasan Jawa Timur, Letkol. dr. Wiliater Hutagalung ditugaskan untuk membentuk jaringan persiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III.
Ia bertemu dengan Jenderal Sudirman untuk melaporkan mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut dan melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi.
Jenderal Sudirman menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil untuk memutar balikkan propaganda Belanda, yang kemudian disampaikan Letkol. Dr. Wiliater Hutagalung saat rapat pada 18 Februari 1949.
Hutagalung yang membentuk jaringan di wilayah Divisi II dan III, dapat selalu berhubungan dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman. Ia menjadi penghubung antara Panglima Besar Sudirman dengan Panglima Divisi II, Kolonel Gatot Soebroto dan Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng.
Baca juga : 12 November 1945, Jenderal Sudirman : Guru dan Pendakwah Muda yang Diangkat Jadi Panglima Besar Pertama TKR
Baca juga : Hijrah TNI Pada Masa Perang Kemerdekaan: Pindahnya Tentara Siliwangi ke Yogyakarta
4. Kolonel Tahi Bonar Simatupang
Selain menunjukkan kepada wartawan asing bahwa TNI masih ada, strategi lainnya adalah dunia harus mengetahui adanya serangan yang dilakukan tentara Indonesia terhadap Belanda yang menduduki Yogyakarta.
Oleh karena itu, diperlukan media dalam menyebarluaskan berita ini ke dunia internasional. Kol. T.B. Simatupang (28 Januari 1920 – 1 Januari 1990) yang bermarkas di Pedukuhan Banaran, Desa Banjarsari, kemudian akan menghubungi pemancar radio Angkatan Udara RI (AURI) di Playen, dekat Wonosari, agar berita mengenai penyerangan besar-besaran oleh TNI atas Yogyakarta segera disiarkan setelah serangan dilancarkan.
5. Kolonel Gatot Soebroto dan Kolonel Bambang Sugeng
Dalam rapat tersebut juga dibahas kemungkinan Belanda akan mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di Jawa Tengah setelah mendapat serangan. Diperkirakan bantuan akan datang dari Magelang, Semarang dan Solo dalam kurun 6 sampai 7 jam, oleh sebab itu disepakati pendudukan hanya berlangsung selama 6 jam.
Magelang dan Semarang berada di wilayah kewenangan Divisi III/GM III Bambang Soegeng(31 Oktober 1913 – 22 Juni 1977), dan Solo berada di bawah wewenang Panglima Divisi II/GM II Kolonel Gatot Soebroto(10 Oktober 1907 – 11 Juni 1962).
Oleh karena itu, serangan di wilayah Divisi II dan III harus dikoordinasikan dengan baik agar dapat dilakukan operasi militer bersama dalam kurun waktu yang ditentukan. Dengan demikian bantuan Belanda dari Solo maupun dari Magelang dan Semarang dapat dihambat, atau paling tidak dapat diperlambat.
6. Pimpinan sipil
Pimpinan pemerintahan sipil ditugaskan untuk mengkoordinasi persiapan dan pasokan perbekalan di wilayah masing-masing. Saat bergerilya, para pejuang harus selalu pindah tempat, sehingga dalam penyediaan perbekalan sangat bergantung dari bantuan rakyat. Selama perang gerilya, Camat, Lurah serta Kepala Desa berperan dalam menyiapkan dan memasok perbekalan bagi para gerilyawan tersebut.
7. Letnan Kolonel Soeharto
Setelah persiapan matang, baru kemudian keputusan diambil tanggal 24 atau 25 Februari, bahwa serangan akan dilancarkan tanggal 1 Maret 1949, pukul 06.00 pagi. Instruksi segera diteruskan ke semua pihak terkait. Puncak serangan dilakukan dengan serangan umum terhadap kota Yogyakarta di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III.
Baca juga : Mengapa Soeharto Tidak Diculik PKI, padahal dia termasuk perwira berpangkat tinggi saat itu?
Baca juga : Tiga Pesan Soeharto kepada Presiden Soekarno Pasca Pemberontakan G30S/PKI