- Seasprite: Pemburu Kapal Selam yang Nyaris Jadi Andalan TNI AL
- Kaman SH-2 Seasprite adalah helikopter maritim multi-misi yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan Angkatan Laut AS dan kemudian diadopsi oleh beberapa negara lain. Dikenal karena kemampuan beroperasi di segala cuaca, siang dan malam, helikopter ini memiliki rasio daya terhadap berat tertinggi dibandingkan helikopter maritim lainnya, menjamin kemampuan kembali ke kapal yang aman bahkan dalam kondisi penerbangan satu mesin.
ZONA PERANG (zonaperang.com) Dalam dunia pertahanan maritim, peran helikopter anti-kapal selam atau ASW sangat penting untuk menjaga supremasi angkatan laut dalam perang bawah laut. Salah satu helikopter Anti-Submarine Warfare yang cukup terkenal adalah SH-2 Seasprite dan versi modernnya, Super Seasprite. Helikopter ini pernah menarik perhatian TNI Angkatan Laut (TNI AL) sebagai opsi penguatan armada udara mereka dalam operasi anti-kapal selam.
Helikopter ini awalnya dikembangkan oleh Kaman Aerospace pada akhir 1950-an sebagai helikopter utilitas cepat untuk Angkatan Laut Amerika Serikat. Namun, perannya kemudian berkembang menjadi helikopter pemburu kapal selam yang andal dan serbaguna
Sejarah dan Pengembangan
Kaman SH-2 Seasprite pertama kali dikembangkan oleh Charles Kaman sang pendiri pada akhir 1950-an sebagai helikopter utilitas ringan untuk Angkatan Laut Amerika Serikat (US Navy). Pesawat sayap putar ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan operasi multi-misi, termasuk anti kapal selam, pencarian dan penyelamatan (SAR), serta transportasi. Varian awal, SH-2A, mulai beroperasi pada 1962.
“Selama sepuluh tahun pertama, perusahaan yang berdiri tahun 1945 ini beroperasi secara eksklusif sebagai perancang dan pembuat beberapa helikopter yang memecahkan rekor dunia dan mencapai banyak pencapaian pertama dalam dunia penerbangan.”
Seiring perkembangan teknologi dan kebutuhan operasional, Kaman terus mengembangkan Seasprite. Varian yang lebih canggih, SH-2F dan SH-2G Super Seasprite, dilengkapi dengan sistem sensor dan persenjataan yang lebih modern. SH-2G, khususnya, menjadi andalan dalam operasi ASW dengan kemampuan deteksi kapal selam yang ditingkatkan, termasuk sonar yang dapat diturunkan (dipping sonar) dan sistem radar canggih.
Akhir Masa Jabatan
Penggelaran awal SH-2D dilakukan pada tahun 1971. Elemen “multi-fungsi” pada helikopter ini memungkinkannya dilengkapi dengan kerekan penyelamat untuk operasi SAR, pengait kargo, dan sistem ASW yang dapat dilepas. Beberapa varian SH-2 Seasprite telah diproduksi, termasuk SH-2D, SH-2F, dan SH-2G Super Seasprite
Armada SH-2F digunakan untuk mendukung berbagai operasi, termasuk Operation Earnest Will, Operation Praying Mantis, dan Operation Desert Storm. SH-2F pensiun dari dinas aktif dengan Angkatan Laut AS pada tahun 1994. SH-2 sendiri bertugas di sekitar 600 penempatan militer dan terbang selama 1,5 juta jam terbang sebelum akhirnya pensiun pada pertengahan tahun 2001.
Baca juga : Mengapa Marinir Amerika menggunakan UH-1 Huey daripada UH-60 Black Hawk?
Baca juga : Pengkhianat TNI-AL: Kisah Letkol Susdaryanto dan KGB
Kaman SH-2 Seasprite/Super Seasprite: Sang Pemburu Bawah Laut yang Pernah Menggoda TNI AL
Di lautan luas yang penuh misteri, ancaman tak selalu terlihat di permukaan. Kapal selam musuh, bagaikan hiu siluman, mengintai dalam diam, siap menerkam kapan saja. Untuk menghadapi predator bawah laut ini, dunia menciptakan senjata udara yang gesit dan mematikan: helikopter anti-kapal selam (AKS). Salah satu yang pernah mencuri perhatian adalah Kaman SH-2 Seasprite dan varian canggihnya, Super Seasprite—mesin perang bersayap putar yang sempat menjadi kandidat idaman TNI AL untuk memperkuat pertahanan maritim Indonesia.
Bayangkan sebuah helikopter yang lahir dari ambisi besar Amerika Serikat di era 1950-an. Kaman SH-2 Seasprite pertama kali mengudara pada 2 Juli 1959, dirancang untuk memenuhi kebutuhan Angkatan Laut AS (US Navy) akan helikopter serbaguna yang ringkas namun tangguh.
Awalnya, ia adalah “tukang angkut” sederhana, bertugas menyelamatkan pilot yang jatuh di laut atau mengawal kapal induk. Namun, seperti seorang prajurit yang terus diasah, Seasprite berevolusi menjadi pemburu kapal selam ulung, lengkap dengan sonar canggih, torpedo mematikan, dan kemampuan mendeteksi ancaman dari kejauhan.
Naik kelas
Perjalanan Seasprite tak selalu mulus. Versi awalnya, yang hanya mengandalkan satu mesin General Electric T58, sempat dicap “kurang bertenaga” oleh Royal Canadian Navy, yang akhirnya memilih Sikorsky Sea King. Namun, Kaman tak menyerah. Pada 1968, Seasprite “naik kelas” dengan konfigurasi dua mesin, meningkatkan daya dan ketangguhannya.
Varian SH-2F kemudian menjadi tulang punggung program Light Airborne Multi-Purpose System (LAMPS) US Navy, mampu beroperasi dari kapal perang kecil yang tak bisa menampung helikopter besar seperti SH-60 Seahawk. Ia terbukti di medan perang, dari misi penyelamatan di Vietnam hingga operasi tempur di Teluk Persia.
Lalu, muncullah sang bintang: SH-2G Super Seasprite. Diluncurkan pada 1980-an, varian ini adalah puncak evolusi Seasprite. Dengan mesin General Electric T700 yang bertenaga 1.723 shp, radar multimode, sonar aktif, dan kemampuan membawa rudal anti-kapal seperti AGM-65 Maverick, Super Seasprite adalah predator sejati.
Ia tak hanya memburu kapal selam, tetapi juga mengintai kapal permukaan dan bahkan mendeteksi ranjau dengan sistem laser Magic Lantern—teknologi revolusioner pada masanya. Tak heran, helikopter ini menjadi kebanggaan beberapa angkatan laut dunia, seperti Mesir, Selandia Baru, dan Polandia, bahkan setelah US Navy memensiunkannya pada 2001.
TNI-AL
Bagaimana nasibnya dengan TNI AL? Pada awal 2010-an, Indonesia tengah mencari helikopter AKS untuk memperkuat armada Penerbangan Angkatan Laut (Penerbal). Saat itu, Super Seasprite bekas pakai dari Australia—yang membatalkan proyeknya pada 2008 karena masalah teknis dan biaya—dilirik sebagai opsi hemat biaya.
Reputasinya yang tangguh, ditambah kemampuan operasional dari kapal perang kecil, membuatnya menarik bagi TNI AL, yang ingin meningkatkan kemampuan anti-kapal selam di tengah ancaman regional yang kian kompleks sebagai pengganti Westland Wasp yang ketinggalan zaman. Namun, takdir berkata lain. TNI AL akhirnya memilih AS565 MBe Panther dari Airbus, yang mulai bergabung pada 2014, meninggalkan Super Seasprite sebagai “cinta yang tak kesampaian.”
Meski tak jadi bagian dari armada Indonesia, Kaman SH-2 Seasprite dan Super Seasprite tetap menjadi legenda. Ia adalah bukti bahwa ukuran kecil tak menghalangi kemampuan besar. Dengan lebih dari 1,5 juta jam terbang di seluruh dunia, helikopter ini meninggalkan jejak sebagai salah satu pionir AKS yang tak lekang oleh waktu. Bagi TNI AL, ia mungkin hanya kenangan, tapi bagi penggemar militer, Seasprite adalah simbol inovasi dan ketangguhan di atas gelombang.
Baca juga : Ranjau Anti-Helikopter: Senjata Mematikan yang Mengintai dari Bawah
Baca juga : Roket Anti Kapal Selam RUR-5 / RUM-139 VL-ASROC, Amerika Serikat
Karakteristik umum SH-2F Seasprite
Awak: 3 (Pilot, Kopilot/Koordinator Taktis (TACCO), Operator Sensor (SENSO))
Kapasitas: 1 orang dengan pasien serasah (dengan LAMPS terpasang) / 4 orang dan dua pasien serasah (dengan peluncur Sonobuoy dilepas)
Panjang: 38 kaki 4 inci (11,68 m) saat hidung dan bilah dilipat
Tinggi: 13 kaki 7 inci (4,14 m) hingga puncak kepala rotor
Berat kosong: 7.040 lb (3.193 kg)
Berat lepas landas maksimum: 12.500 lb (5.670 kg) normal maksimum
Berat lepas landas kelebihan beban maksimum: 13.300 lb (6.000 kg)
Kapasitas bahan bakar: 396 galon AS (330 galon imp; 1.500 L) tangki bahan bakar internal; Tangki bahan bakar eksternal tambahan berkapasitas 120 galon AS (100 galon imp; 450 L).
Pembangkit tenaga: 2 × mesin turboshaft General Electric T58-GE-8F, masing-masing 1.350 shp (1.010 kW), sejenis yang digunakan Sikorsky SH-3 Sea King, Boeing Vertol CH-46 Sea Knight atau 2 × T700-GE-401/401C turboshaft, masing-masing 1.723 shp (1.285 kW) di SH-2G Super Seasprite, sejenis yang digunakan Boeing AH-64 Apache, CASA/IPTN CN-235 & Sikorsky UH-60 Black Hawk
Diameter rotor utama: 44 kaki 0 inci (13,41 m)
Luas rotor utama: 1.520,53 kaki persegi (141,262 m2) Rotor utama dan ekor berbilah 4
Kinerja
Kecepatan maksimum: 143 knot (165 mph, 265 km/jam) di permukaan laut
Kecepatan jelajah: 130 knot (150 mph, 240 km/jam)
Jangkauan: 367 mil laut (422 mi, 680 km) dengan bahan bakar maksimum
Daya tahan: 5 jam di udara dengan 2 tangki eksternal
Ketinggian layanan: 22.500 kaki (6.900 m)
Ketinggian melayang IGE(In Ground Effect): 18.600 kaki (5.700 m) – kondisi di mana helikopter melayang dekat dengan permukaan tanah atau air
Ketinggian melayang OGE(Out of Ground Effect): 15.400 kaki (4.700 m) – helikopter melayang jauh dari permukaan tanah atau air, sehingga tidak ada interaksi langsung antara downwash rotor dan permukaan keras di bawahnya
Kecepatan pendakian: 2.440 kaki/menit (12,4 m/dtk)
Persenjataan
Hardpoint: 2× stasiun stub/pylon pemasangan badan pesawat di samping
Rudal: Pesawat non-AS membawa berbagai rudal berpemandu, termasuk AGM-65 Maverick (sering digunakan dalam peran antikapal) dan AGM-119 Penguin short-range anti-ship missiles.
Torpedo: 2× torpedo ASW Mk 46 atau Mk 50
Baca juga : Krisis Ambalat: Saat Malaysia Ingin Ulang Sukses Rebut Sipadan dan Ligitan