Artikel

Shalahuddin Merebut Palestina dengan Merangkul Syi’ah?

  • Shalahuddin dan Dinasti Syi’ah: Kolaborasi atau Konflik?
  • Shalahuddin al-Ayyubi, atau lebih dikenal sebagai Saladin, adalah salah satu tokoh paling terkenal dalam sejarah Islam. Ia dikenal karena keberhasilannya merebut Yerusalem dari tangan Tentara Salib pada tahun 1187. Namun, ada pertanyaan menarik yang sering muncul: apakah Shalahuddin berhasil merebut Palestina dengan merangkul Syi’ah, atau apakah dinasti Syi’ah sudah tidak ada lagi pada saat itu?

ZONA PERANG (zonaperang.com) Bayangkan sebuah panggung sejarah yang penuh intrik, di mana pedang dan diplomasi saling beradu, dan seorang panglima Kurdish bernama Salahuddin Al-Ayyubi (1137–1193) muncul sebagai tokoh utama.

Ia dikenal sebagai penakluk Yerusalem, pahlawan Muslim yang merebut kembali Palestina dari cengkeraman Crusader pada 2 Oktober 1187 setelah 88 tahun di bawah kekuasaan Frank. Namun, di balik kisah heroiknya, ada pertanyaan yang menggelitik: Apakah Salahuddin berhasil karena merangkul Syi’ah, atau justru karena ia menghapus dinasti Syi’ah terakhir yang tersisa? Untuk menjawab ini, kita harus menyelami labirin konflik, aliansi, dan pengkhianatan yang melibatkan Shirkuh, Nur ad-Din, dan perebutan kekuasaan yang rumit di dunia Islam abad ke-12.

Strategi Shalahuddin: Merangkul Syi’ah untuk Merebut Palestina?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat konteks sejarah yang lebih luas. Pada abad ke-12, dunia Islam terbagi menjadi beberapa kekhalifahan dan dinasti yang saling bersaing. Salah satu dinasti yang berpengaruh pada masa itu adalah Dinasti Fatimiyah, yang merupakan dinasti Syi’ah Ismailiyah dan berkuasa di Mesir. Shalahuddin sendiri awalnya adalah seorang jenderal di bawah komando pamannya, Shirkuh, yang bekerja untuk Nur ad-Din, penguasa Zengid di Suriah.

Setelah kematian Shirkuh pada tahun 1169, Shalahuddin diangkat sebagai wazir (perdana menteri) oleh khalifah Fatimiyah di Mesir. Meskipun ia bekerja di bawah pemerintahan Syi’ah, Shalahuddin sendiri adalah seorang Sunni. Ia berhasil mengkonsolidasikan kekuasaannya di Mesir dan secara bertahap menghapuskan pengaruh Fatimiyah, yang akhirnya runtuh pada tahun 1171.

Dengan demikian, ketika Shalahuddin memulai kampanyenya untuk merebut Palestina, ia tidak lagi bekerja di bawah pemerintahan Syi’ah. Sebaliknya, ia memimpin pasukan yang terdiri dari berbagai kelompok Muslim, baik Sunni maupun Syi’ah, yang bersatu dalam tujuan bersama untuk mengusir Tentara Salib dari Tanah Suci. Keberhasilan Shalahuddin dalam merebut Yerusalem pada tahun 1187 adalah hasil dari strategi militer yang cerdas dan kemampuan diplomatiknya untuk merangkul berbagai kelompok Muslim.

Baca juga : Kekalahan Shalahuddin Al Ayyubi di Pertempuran Montgisard tanggal 2 Jumadil Akhir 573 H / 25 November 1177

Baca juga : Kapan Iran menjadi Syiah?

Awal Mula: Syi’ah Fatimiyah dan Disintegrasi Kekuasaan

Pada pertengahan abad ke-12, dunia Islam terpecah belah. Di Mesir, dinasti Fatimiyah—sebuah kekhalifahan Syi’ah Ismaili—memerintah dengan kekayaan dan kemegahan, tetapi juga dengan kelemahan internal yang semakin nyata. Khalifah Fatimiyah saat itu, al-Adid, baru berusia belasan tahun ketika Salahuddin pertama kali menginjakkan kaki di Kairo pada 1164, mendampingi pamannya, Asad ad-Din Shirkuh, dalam ekspedisi militer atas perintah Nur ad-Din Zengi, penguasa Sunni dari dinasti Zengi di Suriah.

Misi awal mereka sederhana: membantu vizier Shawar mengamankan kekuasaannya melawan pemberontakan internal dan ancaman eksternal dari Raja Amalric I dari Yerusalem. Namun, seperti banyak cerita di Timur Tengah, kesederhanaan itu cepat berubah menjadi kekacauan.

Shawar, yang awalnya meminta bantuan Nur ad-Din, malah berbalik mendukung Crusader untuk melawan Shirkuh. Konflik ini memuncak pada 1169, ketika Shawar tewas—diduga dibunuh atas perintah Salahuddin—dan Shirkuh meninggal secara alami tak lama.

Dalam kekosongan kekuasaan ini, al-Adid, khalifah muda Fatimiyah, menunjuk Salahuddin sebagai wazir. Keputusan ini mengejutkan: seorang Sunni dari keluarga Kurdish menjadi tangan kanan kekhalifahan Syi’ah. Apakah ini tanda kerjasama lintas mazhab? Tidak begitu tepat.

Nur ad-Din, Shirkuh, dan khutbah Jumat

Nur ad-Din, penguasa Zengi yang visioner, memiliki mimpi besar: menyatukan dunia Islam di bawah panji Sunni untuk melawan Crusader. Mesir, dengan sumber daya melimpah dan posisi strategisnya, adalah kunci untuk menguasai Palestina.

Namun, Fatimiyah yang Syi’ah adalah penghalang. Shirkuh, sebagai jenderal andalan Nur ad-Din, memimpin kampanye ke Mesir bukan untuk berdamai dengan Fatimiyah, tetapi untuk melemahkan mereka dari dalam. Ketika Salahuddin mengambil alih posisi vizier setelah kematian Shirkuh, ia bukan sekadar bawahan al-Adid. Ia adalah agen Nur ad-Din, bekerja untuk mengakhiri kekuasaan Syi’ah di Mesir.

Pada 1171, saat al-Adid meninggal—beberapa sumber menyebut kematiannya “misterius,” sementara yang lain mengatakan ia sakit—Salahuddin mengambil langkah tegas. Ia menghapus kekhalifahan Fatimiyah, menggantikan khutbah Jumat atas nama khalifah Syi’ah dengan nama khalifah Abbasiyah di Baghdad, simbol supremasi Sunni.

Transisi ini berlangsung damai, hampir tanpa perlawanan signifikan, menunjukkan bahwa rakyat Mesir—yang mayoritas Sunni meskipun diperintah Fatimiyah selama dua abad—mendukung perubahan ini. Jadi, bukan merangkul Syi’ah, Salahuddin justru menghancurkan dinasti Syi’ah terakhir yang relevan di wilayah tersebut.

Jalan Menuju Yerusalem: Konflik dan Konsolidasi

Dengan Mesir di tangannya, Salahuddin mulai membangun kekuatan untuk mewujudkan visi Nur ad-Din. Setelah kematian Nur ad-Din pada 1174, Salahuddin tidak langsung menjadi penguasa tunggal. Ia menghadapi perlawanan dari pewaris Zengi dan berbagai faksi lokal di Suriah. Namun, melalui kombinasi diplomasi cerdas dan kekuatan militer, ia menyatukan Suriah, Mesopotamia Utara, dan sebagian besar wilayah Muslim lainnya di bawah benderanya menjelang 1186. Ayyubiyah, dinasti yang ia dirikan, lahir dari puing-puing konflik ini.

Puncaknya terjadi pada 1187. Pertempuran Hattin pada 4 Juli menjadi titik balik: pasukan Salahuddin menghancurkan tentara Crusader yang kelelahan dan haus di dataran tandus dekat Tiberias. Kemenangan ini membuka jalan bagi pengepungan Yerusalem, yang akhirnya menyerah pada 2 Oktober 1187. Balian dari Ibelin, pemimpin pertahanan Crusader, menyerahkan kota setelah negosiasi damai, dan Salahuddin menunjukkan kemurahan hati yang legendaris: ia membebaskan banyak tawanan dengan tebusan rendah, bahkan membayar tebusan beberapa orang miskin dari kantongnya sendiri.

Shalahuddin Al-Ayyubi bukanlah sosok yang muncul tiba-tiba. Karirnya dimulai di bawah bimbingan pamannya, Shirkuh, seorang jenderal terkenal yang bekerja untuk Nur ad-Din Zangi, penguasa Suriah dari Dinasti Zankiyah. Nur ad-Din adalah pemimpin Sunni yang bercita-cita menyatukan dunia Islam di bawah panji Sunni dan mengusir Tentara Salib.more

Baca juga : 13 Agustus 1164, Pertempuran Harim: Ketika 5 Panglima Lawan Jadi Tawanan Nuruddin Zanki (Guru Shalahuddin Al Ayyubi)

Baca juga : Keluarga Rothschild, Gerakan Zionisme dan Palestina

Syi’ah dalam Narasi Kemenangan Salahuddin

Apakah Syi’ah berperan dalam kemenangan ini? Secara langsung, tidak. Fatimiyah sudah runtuh pada 1171, dan kekuatan Salahuddin sepenuhnya berbasis Sunni. Namun, ada nuansa menarik. Sebagai vizier Fatimiyah selama dua tahun (1169–1171), Salahuddin memanfaatkan sumber daya Mesir—yang dibangun oleh dinasti Syi’ah—untuk memperkuat posisinya.

Ia merekrut tentara dari berbagai latar belakang, termasuk bekas elemen militer Fatimiyah yang bersedia beralih kesetiaan. Dalam arti ini, ia “merangkul” Syi’ah hanya sebagai alat taktis, bukan ideologi. Setelah Fatimiyah hilang, tidak ada dinasti Syi’ah besar yang tersisa di wilayah inti kekuasaannya; kekuatan Ismaili seperti Assassins (Nizari) memang ada, tetapi mereka lebih sering menjadi musuh daripada sekutu.

Konflik Rumit dan Kemenangan Akhir

Perjalanan Salahuddin menuju Yerusalem penuh dengan konflik rumit. Ia melawan tidak hanya Crusader, tetapi juga rival Muslim—baik Sunni maupun Syi’ah—yang tidak sejalan dengan visinya. Nur ad-Din, mentornya, meninggalkan warisan ambisi yang Salahuddin wujudkan dengan lebih gemilang. Shirkuh, pamannya, menjadi jembatan awal ke Mesir, tetapi kematiannya mempercepat kebangkitan Salahuddin. Ketika Yerusalem akhirnya tunduk, itu bukan kemenangan satu mazhab atas yang lain, melainkan kemenangan visi persatuan Islam melawan penjajah asing.

Jadi, apakah Salahuddin merebut Palestina dengan merangkul Syi’ah? Tidak, ia melakukannya dengan menghapus dinasti Syi’ah Fatimiyah dan menyatukan dunia Islam di bawah panji Sunni. Namun, ia cerdas memanfaatkan warisan Fatimiyah—sumber daya dan posisi strategisnya—sebagai batu loncatan menuju kemenangan. Kisah ini bukan tentang kerjasama lintas mazhab, tetapi tentang seorang pemimpin yang mampu mengubah kekacauan menjadi kekuatan, dan akhirnya mengukir namanya dalam sejarah sebagai penyelamat Yerusalem.

Referensi

  • Lyons, Malcolm Cameron, dan D.E.P. Jackson. Saladin: The Politics of the Holy War. Cambridge University Press, 1982.
  • Hillenbrand, Carole. The Crusades: Islamic Perspectives. Edinburgh University Press, 1999
  • Gibb, H.A.R. The Life of Saladin: From the Works of ‘Imad ad-Din and Baha’ ad-Din. Clarendon Press, 1973.
  • Mayer, Hans Eberhard. The Crusades. Oxford University Press, 1988 (edisi kedua).
  • Runciman, Steven. A History of the Crusades, Volume II: The Kingdom of Jerusalem and the Frankish East, 1100–1187. Cambridge University Press, 1952.
  • Lev, Yaacov. Saladin in Egypt. Brill, 1999.

Baca juga : Tragedi Keluarga Shalahuddin Menjual Baitul Maqdis kepada Frederick II (Perang Salib Keenam)

Baca juga : Irlandia: Dari Penjajahan Menuju Kemerdekaan dan Dukungan terhadap Palestina

 

 

ZP

Recent Posts

5 Cara Prancis Membantu Amerika Meraih Kemerdekaan

Peran Krusial Prancis dalam Revolusi Amerika: Dari Diplomasi Hingga Pertempuran Aliansi Prancis-Amerika: Kunci Kemenangan Revolusi…

7 jam ago

Sandi-sandi yang Mengukir Sejarah: Ketika Kode Rahasia Menjadi Kunci Kemenangan

Kode-Kode Rahasia: Ketika Inovasi dan Peretasan Bertarung Membahas sandi-sandi yang membentuk sejarah adalah perjalanan menelusuri…

1 hari ago

Sukhoi T-4: Ambisi Pengebom Supersonik Uni Soviet yang Tak Terwujud

Sukhoi T-4, juga dikenal sebagai "Sotka" atau "Project 100," adalah pesawat pembom strategis supersonik yang…

2 hari ago

The Battle of Algiers: Ketika Sinema Menyuarakan Sejarah

Jejak Luka Kolonialisme dalam The Battle of Algiers Di antara banyak film sejarah, The Battle…

3 hari ago

Operation Trident: Serangan Malam yang Mengubah Sejarah Perang Indo-Pakistan 1971

Serangan Rudal Pertama di Asia Selatan: Kisah Operation Trident Operation Trident, yang dilaksanakan oleh Angkatan…

4 hari ago

White Death: Kisah Simo Häyhä, Penembak Jitu Paling Mematikan di Dunia

Legenda dari Hutan Salju: Simo Häyhä dan Peperangan Musim Dingin Simo Häyhä, yang lebih dikenal…

6 hari ago