ZONA PERANG (zonaperang.com) – Tentara Nasional Indonesia bertanggung jawab untuk berpatroli di kepulauan yang terdiri dari 17.000 pulau yang membentang 5.150 kilometer dari timur ke barat.
Demi tujuan ini, maka angkatan bersenjata mengoperasikan sejumlah besar kapal patroli dan pesawat patroli maritim untuk mengawasi masuk dan aktivitas ilegal yang terjadi di dalam perairan teritorialnya.
Meskipun demikian, luasnya kepulauan, belum lagi luas daratan pulau-pulaunya, membuatnya sulit untuk dipantau dan dilindungi. Salah satu cara lain yang dapat dicapai secara efektif dan efisien adalah melalui penyebaran sejumlah besar UAV MALE yang mampu bertahan lama di udara.
Indonesia telah mengoperasikan enam kendaraan udara tak berawak (UCAV) CH-4B yang diperoleh dari China sejak 2019 dan baru-baru ini juga menunjukkan minat untuk mengakuisisi drone Turki. Negara ini juga telah merancang dan memproduksi sejumlah desain UAV yang lebih kecil dari tahun 2000-an dan seterusnya.
Baca Juga : Bayraktar TB2, Drone Turki Sang Perubah Permainan”game changer”
Hanya satu di antaranya, PUNA Wulung, yang akan memasuki layanan operasional pada Angkatan Udara Indonesia. Meskipun demikian, pengalaman yang diperoleh dengan desain dan produksi drone ini telah melahirkan basis teknologi kecil untuk desain UAV di Indonesia.
Pada tahun 2016, perusahaan kedirgantaraan milik negara Indonesia PT Dirgantara Indonesia (PTDI) atau dahulunya bernama Nurtanio mulai merancang UCAV domestik yang dijuluki Elang Hitam (Black Eagle). Sebuah mock-up pertama kali diluncurkan ke publik pada bulan Desember 2019. Pengembangan Elang Hitam akan berlangsung dalam empat fase (atau Blok).
Baca Juga : (Daftar “Korban” Bayraktar TB2) Sebuah Monumen Kemenangan
Blok 0 akan menguji kinerja terbang drone, Blok L akan menggabungkan sistem misi asli dan Blok D akan memiliki suite intelijen, pengawasan dan pengintaian (ISR). Blok terakhir, Blok C, akan menggabungkan kemampuan membawa persenjataan.
Blok pertama dan kedua masih dilengkapi dengan roda pendaratan tetap, sedangkan blok ketiga dan keempat akan menggunakan roda pendaratan yang dapat ditarik sehingga lebih baik dalam segi aerodinamis.
Elang Hitam memiliki panjang 8,65m dan lebar sayap 16m (dibandingkan dengan CH-4B 8,5m dan 18m). Spesifikasi desain dirancang hingga memiliki kapasitas muatan 300kg, plafon ketinggian layanan 7km, daya tahan di udara sekitar 30 jam dan radius operasional hingga 250km melalui propagasi line-of-sight.
Berat lepas landas maksimum 1.300kg mirip dengan CH-4B, meskipun memiliki kecepatan maksimum yang jauh lebih rendah (235 km/jam vs 330km/jam). Daya tahan Elang Hitam diatur secara signifikan lebih tinggi daripada CH-4B Cina (30 jam vs 14 jam).
Elang Hitam semula seharusnya memulai uji coba penerbangan pada awal 2020, meskipun kemudian ditunda hingga akhir 2021 akibat pandemi Covid-19. Pada tanggal 2 Desember 2021 versi Elang Hitam Block 0 akhirnya melakukan ground run pertamanya.
UAV juga dapat digunakan untuk mengatasi masalah kebakaran hutan di negara tersebut dengan cara yang mirip dengan Bayraktar TB2, membantu untuk menemukan kebakaran yang baru dimulai dan untuk mengoordinasikan aset pemadam kebakaran.
Desain UAV paling sukses yang pernah keluar dari Indonesia adalah Wulung oleh PTDI, perusahaan yang juga mendesain Elang Hitam. Desain UAV lainnya seperti seri LSU oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), sebuah badan antariksa milik negara yang sementara itu telah berubah menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), telah sering diuji oleh Angkatan Bersenjata Indonesia tetapi tampaknya tidak pernah diakuisisi.
Menariknya, LSU-02 bahkan diuji untuk digunakan di atas korvet Angkatan Laut Indonesia, dengan drone lepas landas dari dek helikopter dan kemudian mendarat di landasan konvensional di darat.
Baca Juga : Angkatan Udara Kazakhstan akan menerima tiga UAV ANKA buatan Turki pada tahun 2023
Meskipun masih beberapa tahun lagi untuk menjadi sistem operasional, Elang Hitam tentu saja merupakan desain yang menjanjikan. Jika ingin memasuki layanan operasional, Indonesia tidak hanya akan menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang mengoperasikan UCAV berupa CH-4B buatan China, tetapi juga menjadi negara pertama yang memperkenalkan MALE U(C)AV asli.
Konon, proyek-proyek penerbangan Indonesia yang ambisius sering menghadapi penghentian setelah kesulitan keuangan, membatalkan proyek-proyek yang menjanjikan seperti pesawat turboprop IPTN N-250 yang paling canggih di zamannya. Oleh karena itu, agar kejayaan elang ini melambung, pertama-tama ia harus membuktikan nilainya di antara alternatif-alternatif yang berhasil secara internasional.
sumber : www.oryxspioenkop.com