- Sunan Ampel adalah salah satu dari sembilan wali Wali Songo yang dihormati di Jawa, yang berjasa atas penyebaran Islam di tanah Jawa.
- Sunan Ampel menikah dengan Nyi Gede Manila, putri seorang kapten Cina di Tuban bernama Gan Eng Cu. Pernikahan ini menghasilkan beberapa orang anak: putra Sunan Bonang dan Sunan Drajat menjadi wali songo; putri Syarifah menjadi istri Sunan Ngudung dan ibu Sunan Kudus; dan seorang putri lainnya menjadi istri pertama Raden Patah dan ibu Trenggana, yang menggantikan ayahnya sebagai pemimpin Kesultanan Demak.
ZONA PERANG (zonaperang.com) – Sunan Ampel atau Raden Rahmat lahir pada tahun 1401 M dan merupakan putra Syaikh Maulana Malik Ibrahim yang menikah dengan putri raja Campa. Namun hubungan Malik Ibrahim dengan sang mertua tak harmonis.
Malik Ibrahim pun pergi meninggalkan Campa (area pegunungan di sebelah barat daerah pantai Indochina, yang dari waktu ke waktu meluas meliputi wilayah Laos sekarang)karena akan dibunuh oleh ayah mertuanya yang menolak masuk islam. Sunan Ampel adalah keponakan Raja Majapahit. Kakak dari ibu Sunan Ampel bernama Dewi Sasmitraputri merupakan seorang permaisuri Prabu Kertawijaya atau Brawijaya.
Dalam perjalanannya ke tanah Jawa, Raden Rahmat sempat singgah di Palembang dan berhasil mengislamkan adipati Palembang Arya Damar yang diam-diam berganti nama Ario Abdillah. Ia juga singgah di Tuban dan berlabuh di Majapahit.
Sunan Ampel kemudian menyebarkan ajaran agama Islam di wilayah kerajaan Majaphit yang kala itu sedang melalui masa kelam. Saat itu kerajaan Majapahit dikenal dengan para rajanya dan stafnya yang suka hidup bermewah-mewahan. Gaya hidup tersebut membuat Prabu Brawijaya sedih karena kerajaannya menjadi kacau.
Baca Juga : 12 November 1945, Jenderal Sudirman : Guru dan Pendakwah Muda yang Diangkat Jadi Panglima Besar Pertama TKR
Baca juga : Sunan Bonang: Dakwah Islam Lewat Sastra & Gamelan
Ampeldenta
Karena hubungan baiknya dengan Raja Majapahit kala itu, Prabu Brawijaya, Raden Rahmat diberi sebidang tanah di Ampeldenta, Surabaya. Di sanalah basis pertama dakwah Raden Rahmat berdiri. Karena ia menyebarkan Islam di kawasan Ampeldenta, ia dikenal sebagai Sunan Ampel.
Di kawasan Surabaya itu, dakwahnya dimulai dengan mendirikan pesantren Ampeldenta, ia mendidik kader-kader penyebar Islam. Di antara murid-murid Sunan Ampel yang terkenal adalah Sunan Giri, Raden Patah, Raden Kusen, Sunan Bonang, dan Sunan Drajat.
Mengenai kondisi masyarakat kala itu, banyak dari mereka menganut animisme, bersemadi, judi sabung ayam, minum-minuman keras, dan lain sebagainya yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Karena itulah, Sunan Ampel menekankan prinsip Moh Limo dalam dakwahnya sebagai berikut: Moh Main (tidak berjudi) Moh Ngombe (tidak mabuk) Moh Maling (tidak mencuri) Moh Madat (tidak menghisap candu) Moh Madon (tidak berzina).
Selain itu, Sunan Ampel juga mendekatkan istilah Islam dengan bahasa masyarakat setempat. Kata “salat” diganti dengan “sembahyang” (asalnya: sembah dan nyang). Tempat ibadah juga tidak dinamai musala melainkan “langgar”, mirip dengan kata “sanggar”. Kemudian, orang penuntut ilmu diberikan nama santri, yang berasal dari shastri, yaitu orang yang tahu kitab suci Hindhu (Nur Hamiyatun, Jurnal Dakwah dan Komunikasi Islam, Vol. 5(1), 2019).
Saat berdakwah strategi unik yang dilakukan oleh Sunan Ampel adalah mengubah nama sungai Brantas yang menuju Surabaya dengan nama Kali Emas. Nama Pelabuhan juga turu diganti dengan nama Tanjung Perak dari awalnya Jelangga Manik.
Baca Juga : Sunan Gunung Jati, Ulama Berkuasa yang Kharismatik
Baca Juga : Alexander Dugin: ‘Selamat datang di Geopolitik Hari Penghakiman’
Penguasa Surabaya
Dakwah Islam Sunan Ampel juga melalui jalur politik. Dalam buku Atlas Wali Songo (2016) yang ditulis Agus Sunyoto, Sunan Ampel menjabat sebagai penguasa Surabaya menggantikan penguasa sebelumnya, Arya Lembu Sura meninggal (Hlm. 197).
Sunan Ampel juga menjalin jaringan dakwah dan kekerabatan melalui perkawinan putra-putri penyebar Islam dengan penguasa Majapahit. Sebagai misal, Retna Panjawati, putri Arya Lembu Sura yang beragama Islam menikah dengan Prabu Brawijaya.
Mas Murtosimah, putri Sunan Ampel dinikahkan dengan Raden Patah (Adipati Demak), dan lain sebagainya. Di Demak yang merupakan wilayah dakwah Sunan Ampel, bersama dengan Raden Patah dan penguasa wilayah setempat, ia mendirikan Masjid Agung Demak.
Selain Langkah-langkah tersebut, terdapat lima Langkah strategi dakwah Sunan Ampel pertama yaitu membagi wilayah kerajaan Majapahit sesuai hirarki pembagian wilayah negara. Kedua berdakwah dengan persuasif yang berorientasi pada penanaman akidah islam. Ketiga melakukan perang ideologi untuk memberantas mitos dan nilai-nilai dogmatis yang bertentangan dengan akidah islam. Keempat berupaya dalam melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh yang dianggap berpengaruh. Kelima yaitu menguasai kebutuhan-kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat.
Nama Sunan Ampel diabadikan menjadi nama salah satu dari empat tiang masjid tersebut. Dari sisi keluarganya, Sunan Ampel memiliki dua istri, yaitu Nyai Ageng Manila atau Ni Gede Manila, putri Tumenggung Wilatika dan Mas Karimah, putri Ki Wiro Suryo.
Dari dua istrinya itu, Sunan Ampel memiliki tujuh anak, termasuk Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) dan Syarifuddin (Sunan Drajat). Sunan Ampel diperkirakan meninggal pada 1481 di Demak. Ia dimakamkan di sebelah barat masjid Ampel, Surabaya.
Baca Juga : Sunan Kudus: Sang Panglima Perang, Hakim dan Imam Dakwah dengan Cara Jalan Damai