Ia dikenal sebagai sosok aktivis kiri di negeri ini
ZONA PERANG(zonaperang.com) Tan Malaka bernama asli Sutan Ibrahim. Tan Malaka adalah nama semi-bangsawan yang ia dapatkan dari garis turunan ibu. Nama lengkapnya Sutan Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka.
Berasal dari keluarga bangsawan memberikan keleluasaan kepada Tan Malaka untuk bersekolah di Kweekschool (Sekolah Guru Negara) di Fort de Kock/Bukittinggi. Sekolah ini juga dikenal dengan Sekolah Raja. Hanya anak dari keluarga penting dan priyayi yang bisa belajar di tempat ini.
“Tan Malaka semasa hidupnya tidak menikah dan memilih hidup sendiri”
Putra dari Rasad Caniago, seorang buruh tani, dan Rangkayo Sinah Simabur, putri seorang tokoh terpandang di daerahnya. ini seorang yang cerdas. Ia sangat menikmati pelajaran Bahasa Belanda. Salah satu gurunya GH Horensma melihat talenta yang dimiliki Tan Malaka walaupun sering tidak patuh, tetapi murid yang sangat baik, sehingga membantunya untuk kuliah di Rijkskweekschool (sekolah pendidikan guru pemerintah) di Harlem Belanda.
Baca juga : Penggunaan identitas agama oleh PKI : Meletusnya Pemberontakan Kaoem Merah 1926
Baca juga : Pemimpin Soviet Joseph Stalin mata-matai dan menganalisa tinja bapak pendiri komunis Cina Mao Zedong
Dibantu desa dan guru
Buku de Fransche Revolutie yang ia dapatkan sebelum keberangkatan ke Belanda menjadi jendela ketertarikannya pada revolusi. Di Belanda, buku-buku kiri dan komunis karya Karl Heinrich Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin/Vladimir Ilyich Ulyanov dikhatamkan dan menjadi dasar pemikirannya ke depan.
“Setelah Revolusi Rusia Oktober 1917 , Tan Malaka menjadi semakin tertarik pada ide ajaran komunisme, sosialisme dan sosialisme.”
Di Belanda mencoba mendaftar untuk Angkatan Darat Jerman, tetapi ditolak, karena tentara tidak menerima orang asing pada saat itu. Di negeria bertemu Henk Sneevliet, salah satu pendiri Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV), cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI)
Pulang dari negeri Belanda, Tan Malaka menjadi guru bahasa melayu bagi anak buruh perkebunan teh dan tembakau di Sanembah, Sumatera Utara. Tokoh yang lahir 2 Juni 1897 di Nagari Pandam Gadang, Gunuang Omeh, Sumatera Barat ini melihat kehidupan rakyat Indonesia yang menderita.
“Ia mendapatkan gaji setara dengan guru Belanda. Rekan-rekan Belandanya tidak menyukai dan memandang rendah Tan Malaka.”
Baca juga : Lukman Njoto, Wakil ketua PKI : Dalang dibalik hasutan dan Propaganda kontroversial Partai Komunis Indonesia
Baca juga : 1 Januari 1959, diktator Batista dipaksa keluar dari Kuba oleh revolusi yang dipimpin Fidel Castro
Bergabung dengan Partai Komunis
Tan Malaka melihat dengan mata kepalanya sendiri kaum buruh sering ditipu karena tidak pandai berhitung, diperas keringatnya, dan diberi upah rendah. Kenyataan itu membuat darah Tan Malaka muda mendidih. Ia pun memutuskan untuk bergerak. Ia bergabung dengan Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV), cikal-bakal Partai Komunis Indonesia.
“Aksi pertamanya adalah keterlibatan terhadap pemogokan buruh di Sumatera. Tahun 1921, Tan diangkat menjadi Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI)”
Tan Malaka sudah mulai aktif menulis untuk media massa tentang penderitaan kaum pribumi. Salah satu karya awalnya adalah Tanah Orang Miskin yang dimuat di Het Vrije Woord edisi Maret 1920. Ia juga menulis tentang penderitaan kuli kebun teh di Sumatra Post.
Membuat sekolah kurikulum Soviet
Pada 1920-an, Tan Malaka berkelana ke Jawa. Ia mengunjungi Yogyakarta lalu pindah ke Semarang atas arahan Semaun. Di Kota Lumpia, Tan Malaka yang mendirikan Sekolah Rakyat. Ia mengadopsi kurikulum negara kiblat komunis Uni Soviet.
“Dia berfikiran dunia sedang bergerak menuju arah sosialisme”
Setiap pagi siswa wajib menyanyikan lagu Internasionale. Sekolah pertama itu pun menjadi percontohan untuk cabang-cabang sekolah yang lain. Kebenciannya pada ketidakadilan dan kolonialisme memaksa Tan Malaka menjadi buronan pemerintah Belanda. Hampir setengah hidupnya ia habiskan untuk bersembunyi. Ia selalu berpindah dan menggunakan nama samaran agar tidak tertangkap.
Baca juga : Amir Sjarifoeddin, Tokoh komunis peristiwa Pemberontakan Madiun 1948
Baca juga : 7 November 1917, Pemberontakan kaum Bolshevik di Rusia : Revolusi komunis yang melahirkan negara Uni Soviet
Membuat buku
“Pada 1922, Tan Malaka sempat mewakili Indonesia dalam Konggres Keempat Komintem (Komunis Internasional). Di sana, Ia ditunjuk sebagai agen komitmen untuk Asia Tenggara dan Australia.”
Tan Malaka sempat tinggal di Moscow Soviet dan Kanton Cina selama menjabat sebagai Wakil Komintern untuk Asia Tenggara. Di sana ia menulis buku Naar de Republiek Indonesia yang berisi konsep negara Indonesia dalam bayangannya.
“Tan Ming Siong aka Tan Malaka, satu satunya orang Indonesia asli yang di Lindungi organsisasi Bawah Tanah yg skrg di kenal sebagai Triad selama di mainland China, Shanghai, Hongkong. Bapak Pergerakan di Filipina. Menguasai 5 bahasa berbeda dengan fasih. Dia jalan dalam senyap sampai di juluki manusia 1000 nama”
Ia meramalkan situasi politik internasional antara Jepang dan Amerika yang menyebabkan perang di Pasifik. Situasi yang pas untuk melakukan revolusi terhadap Belanda. Ramalan itu terbukti setelah 16 tahun dari buku Naar de Republiek Indonesia dicetak. Perang pasifik yang membuat gejolak perang dunia II terjadi.
“Pada Februari 1926, Alimin pergi ke Manila untuk meminta persetujuan pemberontakan dari Tan Malaka yang saat itu tinggal disana menjadi koresponden surat kabar nasionalis El Debate (Debat). Tan Malaka menolak strategi ini, dan menyatakan bahwa kondisi partai masih terlalu lemah, dan tidak memiliki kekuatan untuk melakukan revolusi.”
Tan Malaka juga menulis buku Materialisme, Dialektika, dan Logika(Madilog). Buku ini berisi analisisnya terhadap rakyat Indonesia yang tidak terbiasa berpikir kritis, tidak logis, serta belum mampu berdialog secara baik.
Pulang ke Indonesia
Setelah melihat dari jauh kondisi Indonesia, Tan Malaka memutuskan pulang ke Tanah Air pada 1942. Ia tinggal di Rawa Jati Djakarta, dekat pabrik sepatu di Kalibata dan menjadi pedagang buah. Tan lalu pergi ke Bayah, Banten, menjadi juru tulis dan pengurus administrasi romusa dengan nama samaran Ilyas Husein.
Proklamasi Kemerdekaan telah dikumandangkan Soekarno dan Muhammad Hatta. Namun, Tan Malaka melihat kemerdekaan yang diraih belum seutuhnya. Ia pun kemudian membongkar penyamarannya dan menemui teman lamanya, Ahmad Soebardjo.
Kedatangan Tan membuat Soebadjo kaget bukan kepalang. “Aku kira kau sudah mati,” katanya. Pada September 1945 atau sebulan setelah Proklamasi Kemerdekaan, Sekutu mulai mendarat di Jakarta untuk melucuti tentara Jepang. Tan Malaka kemudian menggelar rapat raksasa di Lapangan Ikada (sekarang Monas) sebagai pesan kepada Sekutu atas kekuatan rakyat Indonesia.
Tak kurang dari 200.000 orang berkumpul memenuhi lapangan. Popularitas yang tinggi, gagasan besar, serta jiwa revolusioner membuat rekan-rekan Tan mengusulkan agar ia dimasukkan ke dalam Pemerintahan. Namun tawaran itu ditolaknya. “Di waktu sekarang Saudara berdua, Soekarno-Hatta, sudah tepat itu. Biarlah saya menyokong dari belakang dengan mengerahkan rakyat di belakang Saudara,” kata Tan Malaka saat bertemu Sukarno dan Bung Hatta.
Baca juga : Musso, Pimpinan Pemberontakan PKI di Madiun 1948
Baca juga : 24 Desember 1979, Uni Soviet menginvasi Afghanistan
Kudeta dan ditangkap
Kedatangan Belanda yang membonceng Sekutu ditanggapi beragam oleh masyarakat dan elit politik Indonesia. Soekarno, Hatta, dan Sjahrir lebih memilih jalan diplomasi. Hal inilah yang membuat Tan Malaka berang. Termasuk Jenderal Besar Soedirman. Keduanya gemas dengan Kabinet Sjahrir yang mendapat mandat dari Bung Karno dan Hatta yang ditangkap Belanda, tidak lantang mengatakan bahwa Indonesia sudah merdeka dan tidak perlu berunding lagi.
Pendukung Tan Malaka yang kecewa pada pemerintahan Sjahrir, bergabung membentuk kelompok Persatuan Perjuangan pada 4 Januari 1946. Kelompok ini kemudian mengadakan kongres pertama yang dihadiri 132 organisasi sipil, partai, laskar, dan ketentaraan di Gedung Serba Guna Purwokerto. Pembicara utamanya, Tan Malaka dan Jenderal Soedirman. Dari situ kemudian lahirlah ide kudeta. Kelompok oposisi kemudian melakukan kudeta terhadap pemerintahan Sjahrir karena dianggap gagal mewujudkan pengakuan kedaulatan Indonesia 100 persen.
“Tan Malaka tidak mampu menjembatani perpecahan politik dalam koalisinya untuk mengubahnya menjadi kontrol politik yang sebenarnya (walaupun sempat memaksa pengunduran diri sementara Perdana Menteri Sutan Sjahrir), dan dia ditangkap tak lama kemudian”
Upaya kudeta gagal. Pada 23 Maret 1946, Tan Malaka, Soebardjo, dan Soekarni dijebloskan ke penjara selama 2 tahun. Setelah Tan dibebaskan dari penjara Magelang, ia mencoba mengumpulkan pendukung dan menggagas partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba atau Partai Proletar) pada 7 November 1948.
Bergabung pemberontakan madiun 1948 kemudian dieksekusi mati
Sukarni didaulat menjadi ketua partai yang memiliki landasan antifasisme, antiimperialisme, dan antikapitalisme. Tan sendiri berangkat ke Kediri, memulai pergerakan gerilya. Ia menemui prajurit TNI dan pimpinan politik. Aktivitas itu dinilai membahayakan, sehingga pemerintah Indonesia mencari dan mengejarnya.
Setelah pemberontakan PKI di Madiun ditumpas pada akhir November 1948, Tan Malaka menuju Kediri dan mengumpulkan sisa-sisa pemberontak PKI/FDR-Front Demokrasi Rakyat yang saat itu ada di Kediri, dari situ ia membentuk pasukan Gerilya Pembela Proklamasi.
Saat menyusuri Gunung Wilis di Selopanggung, Kediri berharap dilindungi oleh pasukan gerilya anti-republik setelah agresi militer Belanda ke-2, ia ditangkap Letnan Dua Sukoco dari Batalion Sikatan Divisi Brawijaya. Pada 21 Februari 1949, Tan Malaka dieksekusi mati.
Soekarno mengangkatnya menjadi pahlawan nasional pada 28 Maret 1963, saat Sukarno dekat dengan PKI melalui NASAKOM (nasionalisme, agama, dan komunisme) bersama dedengkot komunis Alimin.
Baca juga : (Buku) Kudeta 1 Oktober 1965 : Sebuah Studi Tentang Konspirasi-antara Sukarno-Aidit-Mao Tse Tung (Cina)
Baca juga : Mengapa Chiang Kai-shek yang nasionalis kehilangan Cina? dan kemenangan berada di partai komunis?