- Agama Dan Terorisme : Myths Vs Realities
- Standard Ganda Barat dan Terorisme: Membongkar Kebenaran
- Negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, sering menggunakan label “teroris” untuk legitimasi intervensi militer dan kebijakan luar negeri yang proteksionis.
- Teroris sering kali diasosiasi dengan kekerasan dan kejahatan, tapi apakah mereka benar-benar representasi dari agama Islam?
ZONA PERANG(zonaperang.com) Selama beberapa dekade terakhir, Islam sering kali dikaitkan dengan terorisme di berbagai media dan narasi politik global. Namun, anggapan ini sangat tidak tepat dan sering didorong oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang memanfaatkan isu terorisme untuk agenda politik, ekonomi, dan militer mereka sendiri. Terorisme, dalam konteks global, sebenarnya memiliki banyak lapisan dan tidak terbatas pada satu agama atau kelompok tertentu.
Teroris, pada dasarnya, memiliki “agamanya sendiri” yang bukan Islam, Kristen, atau agama besar lainnya. Mereka lebih didorong oleh motif kekuasaan, ideologi politik, atau bahkan balas dendam pribadi. Narasi ini dihembuskan oleh mereka yang memiliki kepentingan tersembunyi, baik di Barat maupun di Timur, sehingga melanggengkan ketakutan, kebencian, dan polarisasi di masyarakat. Dengan kata lain, terorisme tidak memiliki agama—namun digunakan sebagai alat untuk memecah belah dan menguasai.
Definisi Teroris
Definisi teroris sering kali ambigu dan subjektif. Secara umum, teroris diartikan sebagai individu atau grup yang melakukan tindakan kekerasan atau vandalisme untuk mencapai tujuan politik atau religius. Namun, istilah ini sering digunakan secara selektif dan diskriminatoris terhadap kelompok minoritas atau kelompok yang dianggap sebagai ancaman bagi kepentingan negara-negara Barat.
Baca juga : Terorisme Keuangan
Radikalisme: Alat Manipulasi Global
Teroris sering kali ditampilkan sebagai orang yang melakukan kekerasan dengan mengatasnamakan agama, tetapi akar dari tindakan ini jauh lebih rumit. Banyak dari aksi-aksi terorisme modern sebenarnya adalah hasil dari frustrasi politik, sosial, dan ekonomi. Di banyak negara, radikalisme tumbuh dari perasaan tidak berdaya, perlawanan terhadap ketidakadilan, atau bahkan manipulasi oleh aktor-aktor yang lebih kuat yang mencari keuntungan dari kekacauan.
“Kelompok-kelompok militant seperti ISIS dan Al-Qaeda menggunakan interpretasi literal dari teks Quran untuk justifikasi tindakan mereka. Mereka memanfaatkan sentiment anti-Barat dan anti-Kristen untuk memobilisasi supporter mereka. Namun, perlu diingat bahwa majoritas Muslim tidak support ideology ini dan banyak yang aktif melawan extremism”
Misalnya, berbagai kelompok teroris yang dilabeli sebagai “Islam radikal” sering kali memiliki dukungan dari kekuatan-kekuatan internasional, termasuk kekuatan Barat, selama hal itu menguntungkan kepentingan geopolitik mereka. Sejarah telah menunjukkan bahwa beberapa kelompok yang dianggap radikal pada satu waktu didukung atau dibiarkan tumbuh oleh kekuatan global karena mereka berfungsi sebagai alat politik melawan musuh bersama.
Namun, ketika kelompok tersebut tidak lagi bermanfaat atau justru melawan balik, narasi berubah: mereka menjadi musuh publik, dijadikan kambing hitam untuk agenda global baru, dan dipermalukan sebagai perwujudan “teroris”. Dalam skenario ini, standar ganda sangat jelas: teroris bukan hanya mereka yang melakukan kekerasan, tetapi juga orang-orang yang memanfaatkan isu terorisme untuk keuntungan pribadi atau politik.
Standar Ganda Barat dan Label “Teroris”
Perlakuan standar ganda yang sering kali diterapkan oleh kekuatan-kekuatan Barat adalah bagian dari masalah yang lebih besar. Negara-negara dan kelompok yang bersahabat dengan kekuatan-kekuatan besar dibiarkan lolos dari label terorisme, meskipun menggunakan metode yang serupa(Zionis Israel). Sementara itu, kelompok yang berlawanan dengan kepentingan Barat, bahkan jika mereka memiliki agenda politik yang sah, segera dilabeli sebagai teroris.
“Invasi Irak oleh Amerika Serikat pada tahun 2003 sering kali dijelaskan sebagai usaha untuk membersihkan negara dari “teroris”. Namun, studi akademis menunjukkan bahwa invasi ini lebih banyak diprovokasi oleh minat energi dan strategis geografis Irak daripada concern humanitaris.”
Misalnya, kita bisa melihat bagaimana kebijakan luar negeri beberapa negara Barat mendukung kelompok tertentu di suatu kawasan selama mereka memperjuangkan tujuan yang sejalan dengan kepentingan geopolitik Barat, hanya untuk kemudian meninggalkan atau menyerang mereka ketika situasi berubah.
Contoh yang paling jelas adalah perang di Afghanistan selama 1980-an, di mana Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya mendukung mujahidin untuk melawan invasi Uni Soviet. Namun, setelah perang berakhir dan situasi berubah, kelompok-kelompok yang dulu didukung menjadi musuh dalam narasi perang melawan teror.
Baca juga : Pemerkosaan sebagai Senjata Perang: Tentara Israel memiliki kepala rabi yang pernah membenarkan pemerkosaan
Menggunakan Terorisme untuk Memukul Terorisme
Salah satu aspek paling paradoks dari terorisme global adalah bagaimana aktor-aktor internasional memanfaatkan terorisme untuk memukul terorisme. Ini terjadi ketika negara-negara atau kelompok menggunakan tindakan teror untuk menghancurkan kelompok radikal lainnya atau untuk memperkuat kepentingan mereka sendiri. Dengan menciptakan ketakutan dan ketidakstabilan melalui serangan atau propaganda, mereka memperoleh dukungan politik, militer, atau ekonomi.
‘Label “teroris” digunakan sebagai cara untuk memenangkan dukungan publik, membiayai program-program kemanusiaan yang berorientasi pada keamanan, ataupun memonetisasi industri privasi.’
Kekuatan besar sering menggunakan taktik ini sebagai pembenaran untuk intervensi militer di negara-negara lain, dengan dalih “memerangi terorisme.” Namun, dalam banyak kasus, intervensi ini justru menciptakan lebih banyak teroris, karena rakyat yang marah dan putus asa menjadi radikal sebagai bentuk perlawanan terhadap pendudukan atau penindasan.
Di sinilah letak paradoks terorisme: ketika kekuatan besar menggunakan kekerasan untuk memerangi terorisme, mereka sering kali memicu siklus baru kekerasan yang justru menciptakan lebih banyak teror dan ketidakstabilan.
Terorisme sebagai Alat Pembelahan Dunia Islam
Salah satu dampak paling menyedihkan dari narasi terorisme global adalah bagaimana hal itu digunakan untuk membelah dunia Islam. Negara-negara mayoritas Muslim sering kali dipaksa untuk mengadopsi narasi Barat tentang terorisme dan menyesuaikan kebijakan dalam negeri mereka untuk menenangkan kekuatan global.
Hal ini tidak hanya memecah belah umat Islam secara global, tetapi juga mencegah mereka menyatukan kekuatan melawan ketidakadilan. Selama dunia Islam terus terpaku pada konflik internal dan narasi yang dibentuk oleh pihak luar, upaya untuk menghadapi ketidakadilan global, termasuk dalam isu seperti pembebasan Yerusalem, akan sulit dicapai.
Jika umat Islam dan negara-negara mayoritas Muslim dapat mengubah pendidikan dan pola pikir mereka, serta mulai melihat terorisme sebagai alat yang digunakan untuk melawan mereka, bukan bagian dari identitas mereka, maka ada peluang untuk menciptakan perlawanan yang lebih kuat dan terorganisir terhadap kekuatan-kekuatan yang ingin memecah belah.
Siapa yang Diuntungkan dari Terorisme?
Pada akhirnya, terorisme bukanlah masalah agama, tetapi masalah kekuasaan dan manipulasi. Mereka yang menyebarkan kebencian dan kekerasan sering kali melakukan hal tersebut untuk mencapai tujuan pribadi atau politik, bukan karena mereka mewakili nilai-nilai agama yang sejati. Islam bukan agama teroris, tetapi sering kali dijadikan sasaran narasi global untuk menciptakan ketakutan dan kebencian.
“Teroris bukanlah representasi dari agama Islam ; mereka adalah produk dari kepentingan-politis ekonomis yang kompleks .”
Selama narasi ini terus dilanggengkan oleh kepentingan-kepentingan yang lebih besar, dunia akan terus melihat terorisme sebagai masalah agama, bukan sebagai masalah politik dan kekuasaan yang kompleks. Untuk memahami akar sebenarnya dari terorisme, kita harus melihat di balik propaganda dan retorika, serta mengakui bahwa sering kali terorisme diciptakan oleh kekuatan-kekuatan yang memiliki standar ganda dan agenda tersembunyi.
uga : Apa itu Anti-Semit yang Kerap Jadi Cap terhadap Pembela Palestina yang Terjajah?
Baca juga : Mengapa Korban Perang di Pihak Israel Terlihat Lebih Sedikit?