White Death: Kisah Simo Häyhä, Penembak Jitu Paling Mematikan di Dunia
ZONA PERANG (zonaperang.com) Simo Häyhä, lahir pada 17 Desember 1905, di Rautjärvi, Finlandia, yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Rusia muncul sebagai tokoh legendaris selama Perang Musim Dingin antara Finlandia dan negara beruang merah Uni Soviet. Dikenal sebagai “Maut Putih,” Häyhä menjadi simbol ketahanan dan keterampilan Finlandia dalam menghadapi kesulitan yang luar biasa. Kisahnya bukan hanya tentang kemampuan menembaknya yang luar biasa tetapi juga tentang tekad dan keberanian yang tak tergoyahkan dalam membela negaranya.
Tumbuh di sebuah pertanian di Karelia Selatan, Häyhä mengembangkan ketelitian, ketabahan, dan keuletan yang akan menjadi ciri khasnya. Dia mengembangkan kecintaannya pada berburu dan menembak, keterampilan yang kemudian dia asah melalui keterlibatannya dengan Garda Sipil Finlandia.
Dia tumbuh besar di peternakan keluarganya dan menunjukkan bakat alami dalam berburu dan menembak sejak usia muda. Kemampuan menembaknya yang luar biasa diasah melalui pengalaman berburu di hutan-hutan Finlandia, menjadikannya ahli dalam kamuflase dan penyamaran.
Pada usia 17 tahun, Häyhä bergabung dengan Garda Sipil. Dia adalah seorang penembak jitu yang ahli, memenangkan kompetisi dengan mengenai target kecil dari jarak 150 meter sebanyak enam kali dalam satu menit. Dia menyelesaikan dinas nasionalnya dari tahun 1925 hingga 1927 di batalion sepeda. Pada tahun 1927, ia menjalani pelatihan khusus penembak jitu.
Baca juga : Keunggulan Strategi: Ketika Persiapan Mengalahkan Kepercayaan Irasional
Ketika Uni Soviet menyerang Finlandia pada November 1939, Häyhä bergabung dengan Angkatan Bersenjata Finlandia dan ditempatkan di garis depan Pertempuran Kollaa. Dalam kondisi cuaca ekstrem dengan suhu yang mencapai -40 derajat Celsius, Häyhä menggunakan senapan Mosin-Nagant M28-30 tanpa teleskop untuk menghindari pantulan cahaya yang bisa mengungkapkan posisinya. Dia juga menggunakan kamuflase putih yang menyatu dengan salju, sehingga dijuluki “The White Death” oleh tentara Soviet.
Häyhä menggunakan taktik dan keterampilan yang luar biasa untuk mencapai keberhasilannya. Dia mengandalkan kesabaran, ketepatan, dan pengetahuan mendalam tentang medan perang. Häyhä sering menghabiskan berjam-jam berbaring di salju, menunggu kesempatan yang tepat untuk menembak musuh. Dia juga menggunakan salju untuk menjaga senapannya tetap stabil dan mengurangi kilatan moncong senjata.
Di tengah hutan bersalju Finlandia, di mana angin dingin menusuk tulang dan suhu turun hingga minus 40 derajat Celsius, seorang pria kecil dengan wajah tenang mengintai mangsanya. Ia bukan pemburu biasa, tetapi seorang penembak jitu yang menjadi mimpi buruk bagi Tentara Merah Soviet. Namanya Simo Häyhä, seorang petani sederhana yang berubah menjadi legenda militer dengan julukan “White Death” (Kematian Putih). Dalam kurun waktu kurang dari 100 hari selama Perang Musim Dingin 1939–1940, Häyhä mencatatkan rekor sebagai penembak jitu paling mematikan dalam sejarah, dengan lebih dari 500 pembunuhan terkonfirmasi—sebuah angka yang hingga kini belum tertandingi.
Lahir dalam keluarga petani Lutheran yang sederhana, sebagai anak ketujuh dari delapan bersaudara, ia dibesarkan di lingkungan pedesaan yang keras, di mana bertahan hidup berarti menguasai seni berburu dan bertani. Häyhä muda dikenal sebagai pemburu ulung, sering memenangkan kompetisi menembak lokal dengan kemampuan luar biasa dalam mengukur jarak dan menyesuaikan tembakan di tengah angin dan hujan. Ketika berusia 17 tahun, ia bergabung dengan Garda Sipil Finlandia (Suojeluskunta), sebuah milisi sukarela, dan pada 1925, ia menjalani wajib militer selama satu tahun, di mana ia dipromosikan menjadi kopral karena keahliannya.
Namun, kehidupan damai Häyhä berubah drastis pada 30 November 1939, ketika Uni Soviet, di bawah komando Joseph Stalin, melancarkan invasi ilegal ke Finlandia, memulai Perang Musim Dingin. Stalin, yang baru saja melakukan pembersihan besar-besaran terhadap para ahli militer Soviet dalam Great Purge, mengira Finlandia—dengan populasi hanya 4 juta jiwa—akan menjadi sasaran mudah bagi 750.000 pasukannya. Ia salah besar. Finlandia, meskipun kalah jumlah, memiliki semangat juang yang tak tertandingi, dan Simo Häyhä menjadi simbol perlawanan mereka.
“Finlandia, yang kalah jumlah dan persenjataan, mengandalkan taktik gerilya dan keterampilan individu untuk melawan invasi Soviet.”
Ditempatkan di bawah komando Letnan Aarne Juutilainen di Kompi ke-6, Resimen Infanteri 34, Häyhä bertugas di medan pertempuran Kollaa, salah satu front terpanas dalam perang tersebut. Berpakaian kamuflase putih yang menyatu dengan salju, ia menggunakan senapan M/28-30, varian Mosin-Nagant 7.62×53mmR buatan Finlandia, serta senapan mesin ringan Suomi KP/-31 9×19mm Parabellum.
Menariknya, Häyhä menolak menggunakan teleskop optik pada senapannya, yang saat itu menjadi standar bagi penembak jitu. Ia lebih memilih bidikan besi (iron sights) karena beberapa alasan: teleskop memaksa penembak mengangkat kepala lebih tinggi, meningkatkan risiko terdeteksi; lensa teleskop bisa berkabut di udara dingin; dan sinar matahari yang memantul pada lensa bisa mengungkap posisinya. Pilihan ini membuktikan kejeniusan taktisnya.
Häyhä mengembangkan teknik bertahan hidup dan menembak yang luar biasa. Ia membangun sarang penembak di salju, menyamarkan posisinya dengan tumpukan salju, dan memasukkan salju ke dalam mulutnya untuk mencegah embusan napasnya terlihat di udara dingin.
Ia juga membawa roti dan gula di saku untuk menjaga energi selama berjam-jam mengintai dalam suhu ekstrem. Dengan ketelitian luar biasa, Häyhä mampu memperkirakan jarak hingga 150 meter dengan akurasi satu meter—kemampuan yang diasah dari pengalamannya sebagai pemburu. Dalam satu hari, ia pernah mencatatkan 25 pembunuhan, sebuah prestasi yang membuatnya menjadi legenda di kalangan pasukan Finlandia dan ketakutan di pihak Soviet.
Baca juga : Film American Sniper (2014): Kehidupan dan Kisah Gelap di Balik Penembak Jitu Legenda Amerika
Baca juga : Kisah Nyata: Saat Pepsi Memiliki Armada Kapal Selam Lebih Besar dari Kebanyakan Negara
Menurut memoar perang pribadinya, Sotamuistoja (Kenangan Perang), yang ditulis pada 1940 dan ditemukan pada 2017, Häyhä memperkirakan ia membunuh sekitar 500 tentara Soviet dengan senapan sniper dan senapan mesin ringan. Angka resmi dari militer Finlandia menyebutkan 505 pembunuhan terkonfirmasi dengan senapan sniper saja, ditambah sekitar 200 lainnya dengan senapan mesin, menjadikan totalnya mencapai lebih dari 700 dalam waktu 98 hari bertugas.
Sebagai perbandingan, studi militer Amerika menunjukkan bahwa selama Perang Dunia Pertama, dibutuhkan rata-rata 7.000 tembakan untuk satu pembunuhan, dan selama Perang Vietnam, angka ini meningkat menjadi 25.000. Häyhä, dengan efisiensi mengerikan, membalikkan statistik ini sepenuhnya.
Tentara Merah Soviet, yang tidak dilengkapi kamuflase putih dan kurang terlatih untuk kondisi musim dingin, menjadi sasaran empuk bagi Häyhä. Mereka menjulukinya “White Death” karena kemampuannya yang tampak seperti hantu, muncul dan menghilang tanpa jejak di tengah salju.
Soviet bahkan mengerahkan penembak jitu tandingan dan serangan artileri untuk memburunya, tetapi Häyhä selalu selangkah lebih maju. Hingga akhirnya, pada 6 Maret 1940, hanya sepekan sebelum Perang Musim Dingin berakhir, nasibnya berubah. Seorang tentara Soviet berhasil menembaknya dengan peluru eksplosif yang mengenai rahang bawah kirinya. Häyhä jatuh koma, ditemukan oleh rekan-rekannya dengan wajah hancur, dan sempat dianggap tewas. Namun, secara ajaib, ia sadar kembali 11 hari kemudian, tepat pada hari perang berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Perdamaian Moskow.
“Peluru itu memasuki bagian atas bibirnya dan menembus pipi kirinya. Meskipun terluka parah, Häyhä selamat, tetapi ia harus menjalani beberapa operasi rekonstruktif.”
Meskipun Finlandia terpaksa menyerahkan 11% wilayahnya kepada Soviet, perlawanan mereka—terutama berkat Häyhä dan prajurit lainnya—menimbulkan kerugian besar bagi Soviet: hampir 1 juta korban jiwa dibandingkan 26.000 di pihak Finlandia.
Häyhä, yang selamat dari luka parah setelah menjalani 26 operasi wajah, dianugerahi berbagai penghargaan, termasuk Medali Liberty Kelas Satu dan Dua, Salib Liberty Kelas Tiga dan Empat, serta Salib Kollaa. Pada 28 Agustus 1940, Marsekal Lapangan Carl Gustaf Emil Mannerheim mempromosikannya langsung dari pangkat alikersantti (kopral) menjadi vänrikki (letnan dua), sebuah lompatan pangkat yang langka. Ia juga dinominasikan untuk menjadi Ksatria Salib Mannerheim, penghargaan militer tertinggi Finlandia, meskipun tidak resmi diberikan karena alasan administratif.
Setelah perang, Häyhä kembali ke kehidupan sederhana sebagai petani dan pemburu di Ruokolahti, Finlandia tenggara. Ia menjadi peternak anjing yang sukses dan bahkan berburu bersama Presiden Finlandia Urho Kekkonen. Ketika ditanya pada 1998 tentang rahasia kehebatannya sebagai penembak jitu, ia menjawab dengan sederhana, “Latihan.” Dan ketika ditanya apakah ia menyesali ratusan nyawa yang diambilnya, ia menjawab, “Saya hanya melakukan tugas saya, dan apa yang diperintahkan kepada saya, sebaik yang saya bisa.” Häyhä meninggal dunia pada 1 April 2002 di usia 96 tahun, meninggalkan warisan sebagai simbol keberanian, ketahanan, dan patriotisme Finlandia.
“Meskipun terkenal, Häyhä adalah orang yang sederhana dan tertutup, lebih memilih untuk menghindari sorotan”
Kisah Simo Häyhä telah menginspirasi berbagai karya seni, termasuk lagu “White Death” oleh band metal Swedia Sabaton, serta rencana pembuatan film berjudul The White Death. Ia tetap menjadi ikon bagi penembak jitu di seluruh dunia, menunjukkan bahwa dengan latihan, kecerdasan, dan ketahanan, seorang individu dapat mengubah jalannya sejarah. Di tengah salju dan es Finlandia, Häyhä bukan hanya seorang prajurit—ia adalah legenda yang hidup, penjaga salju yang menaklukkan ratusan nyawa demi kebebasan negaranya.
Referensi:
Baca juga : Teruji: Jam Tangan Militer & Taktis Terbaik untuk Daya Tahan Ekstrim
Baca juga : Joseph Stalin : Perampok, Pembunuh berdarah dingin dan Pemimpin Brutal Uni Soviet
Serangan Rudal Pertama di Asia Selatan: Kisah Operation Trident Operation Trident, yang dilaksanakan oleh Angkatan…
Shalahuddin dan Dinasti Syi'ah: Kolaborasi atau Konflik? Shalahuddin al-Ayyubi, atau lebih dikenal sebagai Saladin, adalah…
Kawasaki P-1: Solusi Canggih untuk Ancaman Maritim Abad ke-21 Kawasaki P-1 adalah pesawat patroli maritim…
Ketika Drone Lepas Kendali: Pertempuran Palmdale 1956 Pertempuran Palmdale 1956: Ketika Jet Tempur Gagal Mengalahkan…
Bukit 937: Perjuangan dan Pengorbanan di Vietnam Hamburger Hill: Kisah Nyata Pertempuran yang Terlupakan Film…
Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Palestina, perempuan telah memainkan peran yang sangat penting, tidak hanya sebagai…