Pada hari ini di tahun 732/pada awal Ramadhan tahun 114 H , Duke Frank Charles “The Hammer” Martel mengembalikan kemajuan pasukan Muslim di Pertempuran Tours.
ZONA PERANG(zonaperang.com)“Kalau saja”, kata Gustave Le Bon, “Kaum Muslimin berhasil memenangkan pertempuran Tours, niscaya Paris akan secemerlang Andalusia; akan jadi pusat peradaban dan intelektual. Di saat ketika anak-anak jalanan Andalusia mampu menulis dan bersyair, sedangkan raja-raja Eropa bahkan tak tahu cara menulis nama mereka.”
Hari itu tahun 732 Masehi, adalah salah satu epik sejarah Islam paling penting di Eropa; ketika pasukan muslim dikalahkan. Sebabnya karena cinta harta dan saling dengki.
Peristiwa selamatnya Eropa dari Islam
10 Oktober 732, hari ini terjadi sebuah pertempuran dahsyat yang hingga kini diabadikan oleh sejarawan Eropa sebagai peristiwa selamatnya Eropa dari Islam. Hari dimana untuk pertama kalinya perluasan dakwah Islam roboh tak berbekas di medan laga. Hari dimana puluhan ribu mujahid lari ke belakang, meninggalkan panglima mereka tertusuk panah dan dibantai.
“Dikenal sebagai Balat al-Syuhada, pavements of martyrs. Paul K. Davis memasukkan peristiwa ini dalam daftar 100 Decisive Battles-nya. Sementara seorang penulis lain, Edward Creasy, memasukkan pertempuran ini dalam bukunya, Fifteen Decisive Battles of the World.”
Dinamai dengan nama”Bilath Asy Syuhada” (pelataran Syuhada) karena banyaknya muslim yang gugur di perang besar itu. Panglima mereka, Abdurrahman Al Ghafiqi, pun syahid di sana dan tercatat namanya sebagai seorang pemimpin besar yang tak kenal takut walau sebesar apapun gempuran melandanya. Jumlah Kaum Muslimin kala itu 50 ribu tentara, dari berbagai kabilah dan suku.
Baca juga : Apakah Dinasti Kerajaan Inggris keturunan langsung Panglima dan Nabi Besar Umat Islam Muhammad SAW?
Berhasil menciptakan kondisi yang stabil
Awalnya, Abdurrahman Al Ghafiqi yang baru saja diangkat oleh Kekhalifahan Umayyah sebagai gubernur Andalusia melihat Kaum Muslimin mulai terpecah belah. Beliau diutus untuk memimpin Umat dan memerintah dengan adil bijaksana. Dalam waktu singkat, beliau berhasil menciptakan kondisi yang stabil di Andalusia, dan beliau berpikir sudah saatnya dakwah Islam diluaskan lagi menuju Prancis di utara Andalusia.
“Medan perang terletak di suatu tempat antara kota Poitiers dan Tours, di Aquitaine utara di Prancis barat”
Perjalanan Abdurrahman Al Ghafiqi bersama 50 ribu mujahid bermula dari membebaskan kota-kota Spanyol, semakin hari, makin banyak desa-desa yang didatangi oleh pasukan ini, makin ke utara hingga sampai di daratan Gaul (Prancis hari ini). Kabar Pencapaian Kaum Muslimin yang spektakuler ini terdengar hingga sampai telinga Charles Martel – Duke and Prince of the Franks, sehingga membuatnya geram dan bertekad mengumpulkan pasukan besar untuk menghadang laju Kaum Muslimin.
Kekuatan militer terkemuka di Eropa Barat kala itu
Kedua pasukan ini bertemu di sebuah daerah di tengah-tengah Prancis bernama Tours. Di hadapan 50 ribu tentara muslim multi-etnis ini —yang sudah berjalan terlalu jauh dari rumah mereka melintasi Pegunungan Pyrenia dan menembus Prancis— sudah disambut oleh 20 ribu tentara Frank pimpinan Charles Martel. Namun dalam Buku “Ayyamun Laa Tunsa” (Hari yang Tak Akan Terlupakan) tertulis ada 200-400 ribu tentara Frank yang berkemah di sekeliling Kaum Muslimin. Catatan kuno “Mozarabic Chronicle of 754” juga menulis bahwa jumlah pasukan Charles Martel memang jauh lebih banyak.
“Saat itu, nahasnya, pasukan Muslim merasa di atas angin. Mereka merasa dengan jumlah yang banyak (50 ribu adalah jumlah tentara muslim terbesar saat itu) akan bisa menumpas dengan mudah pasukan Charles Martel. Perasaan angkuh ini ditambah dengan ghanimah (harta rampasan perang) yang mereka kumpulkan dari pembebasan kota-kota sebelumnya, menjadikan pasukan Muslim gelap mata; berebut harta dan saling dengki antar sesama. Ditambah lagi, karena kedengkian itu, berpecahlah pasukan Muslimin antara bangsa Arab dan Barbar. Setiap mereka saling mengklaim keagungan dan melempar caci.”
Faktanya, Wilayah Frank (nenek moyang Bangsa Prancis) di bawah kepemimpinan Charles Martel adalah kekuatan militer terkemuka di Eropa Barat kala itu. Selama Charles menjabat sebagai panglima kaum Frank, kekuasaannya terdiri dari Perancis utara dan timur (Austrasia, Neustria dan Burgundy), sebagian besar Jerman barat, dan Negeri-Negeri utaranya (Luksemburg, Belgia, dan Belanda).
Baca juga : Jarang Diketahui, 7 Pertempuran yang Menentukan Sejarah Dunia
Baca juga : Daftar Nama Besar Para Pejuang Islam Sepanjang Masa
Kaum Muslimin mulai ribut dengan hasil rampasan perang
Selama 7 hari, kedua pasukan terlibat dalam pertempuran kecil. Kaum Muslimin menunggu kekuatan penuh musuh untuk menyerang. Abdurrahman Al Ghafiqi yang terkenal dengan kecerdasannya menjadi tak berkutik ketika Kaum Muslimin mulai ribut dengan hasil rampasan perang. Saat itu, keadaannya Kaum Muslimin sudah berjalan jauh membuka banyak kota. Mereka membawa banyak sekali harta untuk dibawa pulang ke Andalusia. Semua itu dikumpulkan di satu tenda dan diketahui oleh mata-mata Charles Martel.
Di serangan akhirnya, Charles Martel memfokuskan pasukannya untuk menjebol tenda Muslimin yang berisi harta rampasan perang tersebut sehingga para mujahid pecah perhatiannya untuk melawan musuh. Di samping itu, Pasukan Charles memanfaatkan keadaan Kaum Muslimin yang tidak terbiasa dengan musim dingin Eropa yang mencekik. Pasukan Frank berpakaian tebal, sementara pasukan Muslimin hanya berpakaian yang lebih cocok untuk musim dingin di Afrika Utara yang lebih ringan daripada musim dingin di Eropa.
“Tidak ada yang dapat menjelaskan secara rinci kondisi pertempuran tersebut”, tulis Dr Husein Mu’nis, “sebab satu-satunya saksi hidup adalah orang yang kabur di tengah peperangan.” Kekalahan umat Islam di Pertempuran ini nyaris lebih buruk dari kekalahan Uhud, Hunain bahkan Granada. Abdurrahman Al Ghafiqi syahid tertembus panah di dadanya.
Baik sejarah Barat maupun Islam bersepakat setuju bahwa ketika berusaha menghentikan laju Kaum Muslimin yang ramai-ramai ingin menyelamatkan harta bendanya, ‘Abdurrahman Al Ghafiqi dikepung, yang menyebabkan kesyahidannya. Pasukan muslimin kemudian mundur secara serampangan. Hal ini menyebabkan banyak yang terbunuh selama lari menuju Andalusia.
Catatan-catatan sejarah Eropa mengklaim telah membunuh 375 ribu pasukan Muslimin. Angka yang berlebih-lebihan, karena jumlah Pasukan Muslim hanya 50 ribu. Hingga kini, nama Charles Martel diabadikan dalam buku sejarah dan pertemuan-pertemuan kenegaraan. Bahkan ada minuman keras bermerk “732, Charles Martel” untuk mengenang kemenangan pasukan Kristen di Poitiers, lengkap dengan tahunnya.
Pertempuran ini menyelamatkan nenek moyang bangsa Inggris, Prancis, dan kemegahan Roma dari api Al Qur’an
Kekalahan Kaum Muslimin di Tours ini diabadikan menjadi nyanyian dan puisi oleh banyak penyair Eropa selama ratusan tahun. Lagu-lagu tentang Charles Martel didendangkan untuk mengingat bahwa dia berhasil menyingkirkan dakwah Islam di Prancis. Sejarawan Inggris Edward Gibbon menulis, “pertempuran ini menyelamatkan nenek moyang bangsa Inggris, Prancis, dan kemegahan Roma dari api Al Qur’an secara agama dan peradabannya.”
“Selalu, jika sejarah umat ini telah berlumur megah harta dan cinta rampasan perang (ghanimah), maka akan berakhirlah ia dengan kekalahan. Kekalahan di Uhud karena ghanimah. Kekalahan di Hunain karena ghanimah. Kekalahan di Poitiers karena ghanimah!” —Dr Abdul Halim Uwais
Apa yang ditakdirkan-Nya pasti punya hikmah buat kita. Ketika menang, ada hikmahnya. Ketika kalah, juga ada hikmahnya. Salah satu hal paling mencolok yang membuat Kaum Muslimin kalah adalah kecintaan mereka saat itu pada harta rampasan perang. Padahal Allah berfirman, “Wahai manusia! Sungguh, janji Allah itu benar, maka janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan janganlah (setan) yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah. (Fatir, Ayat 5)
Menurut kamu, apa hikmah lainnya?
Generasi Shalahuddin : Ketika dunia lupa, kita memilih untuk ingat
Referensi:
1. Ayyamun Laa Tunsa
2. Situs Sejarah Islam islamstory.com
3. Al Hurub Ash Shalibiyah lama Ra’aha Al Arab
Baca juga : Muhammad Al Fatih/Mehmed II : Mengapa Beliau disebut sebaik-baiknya pemimpin?