ZONA PERANG(zonaperang.com) Tepatnya tanggal 13 Februari 1755, Perjanjian Giyanti (juga dikenal sebagai Perjanjian Gianti Jawa atau Perjanjian Gianti) ditandatangani. Penandatanganan Perjanjian Giyanti merupakan cikal bakal terpecahnya Kerajaan Mataram Islam menjadi dua: Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta. Perusahaan dagang Belanda, VOC, berada di belakangnya. Semua karena VOC memainkan kata-kata populernya: Divide at Impera (politik pecah belah).
Nama “Giyanti” diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian tersebut, yaitu di Desa Giyanti (ejaan Belanda) yang sekarang terletak di Dusun Kerten, Desa Jantiharjo, sebelah tenggara Karanganyar, Jawa Tengah.
Perusahaan dagang Belanda, VOC / Vereenigde Oostindische Compagnie, pernah berseteru hebat dengan kerajaan Mataram Islam. Keduanya bahkan sempat berperang pada tahun 1628-1629 di Batavia. Saat itu, kekuatan Mataram yang terkenal sebagai penguasa Jawa berhasil dijinakkan oleh VOC.
“Pada kurun waktu 1613 sampai 1645 wilayah kekuasaan Mataram Islam meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian Jawa Barat saat masa Sultan Agung, seorang Raja yang berprinsip untuk tidak penah bersedia berkompromi dengan VOC maupun penjajah lainnya. Namun serangan Mataram Islam terhadap VOC yang berkedudukan di Batavia mengalami kegagalan disebabkan tentara VOC membakar lumbung persediaan makanan pasukan kerajaan Mataram Islam pada saat itu.”
Baca juga : 20 Maret 1602, VOC(Vereenigde Oostindische Compagnie) didirikan
Baca juga : Kisah Nyimas Utari, Mata-mata Mataram yang membunuh gubernur jenderal Belanda Jan Pieterszoon Coen
VOC sadar
Namun, perang tersebut justru menyadarkan VOC akan berbagai hal. Termasuk perang membuat mereka sadar bahwa biaya perang terlalu besar. VOC melakukan brainstorming/metode untuk menginspirasi pemecahan suatu masalah. Strategi Devide at Impera sekali lagi menjadi pilihan ketimbang opsi perang. Keputusan itu terbukti ampuh karena VOC bisa berkembang pesat karenanya. Termasuk dalam menjinakkan Mataram.
VOC bahkan berani menjadi penengah dalam konflik antara tiga calon pewaris takhta Kerajaan Mataram. Pangeran Pakubuwono III, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa. Di dalamnya, VOC berusaha membujuk Pangeran Pakubuwono III agar mau membagi wilayah kekuasaannya dengan Pangeran Mangkubumi.
Pembagian tersebut dilegitimasi dengan sebuah perjanjian. Namanya Perjanjian Giyanti. Sebuah perjanjian yang tidak hanya membuat Mataram terpecah menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta, tapi juga memperkecil peluang Mataram untuk berkembang sebesar sebelumnya. Perjanjian ini disaksikan oleh kedua belah pihak. Pihak VOC diwakili oleh Nicolas Hartingh, Pangeran Sri Susuhunan Pakubuwana III, dan Pangeran Mangkubumi.
Silsilah Mataram dan dukungan Belanda
Berdasarkan silsilahnya, Pakubuwana II (raja pendiri dari Kasunanan Surakarta) dan Pangeran Mangkubumi adalah kakak beradik, yang merupakan sama-sama putra dari Amangkurat IV (1719-1726). Sedangkan Raden Mas Said merupakan salah sati cucu Amangkurat IV, atau lebih tepatnya ialah keponakan dari Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi.
Raden Said sendiri meminta haknya sebagai pewaris takhta Mataram yang diduduki oleh pamannnya yakni, Pakubuwana II. Alasan utamanya ialah bahwa ayah Raden Mas Said, Pangeran Arya Mangkunegara merupakan putra sulung dari Amangkurat IV. Oleh karenanya, Arya Mangkunegara lah yang seharusnya menjadi raja Mataram meneruskan Amangkurat IV.
Namun, karena Arya Mangkunegara sering menentang kebijakan VOC akhirnya berimbas harus diasingkan ke Srilanka hingga meninggal dunia. VOC pun kemudian menaikkan putra Amangkurat IV lainnya, yakni Pangeran Prabusuyasa, sebagai penguasa Mataram selanjutnya dan bergelar Paku Buwana II.
Baca juga : Raden Mas Hadji Oemar Said Tjokroaminoto : Raja Jawa Tanpa Mahkota
Latar Belakang
Perjanjian ini merupakan hasil utama dari Perang Suksesi Jawa Ketiga pada tahun 1749-57. Pakubuwono II, Raja Mataram, telah mendukung pemberontakan Cina melawan Belanda. Pada tahun 1743, sebagai imbalan atas restorasi kekuasaannya(berbalik melawan Cina dan mendapat dukungan Belanda), Raja menyerahkan pantai utara Jawa dan Madura kepada VOC. Kemudian, sebelum wafat pada 1749, ia menyerahkan sisa wilayah kerajaannya. Mataram kini menjadi negara bawahan kompeni.
Ketika Pakubuwana II memangku tampuk kepemimpinan Mataram Islam, ia memindahkan ibu kota kerajaan tersebut dari Kartasura ke Surakarta pada 17 Febuari 1745 (bersama orang yang setia dan petugas VOC). Perpindahan tersebut terjadi setelah Keraton Kartasura hancur akibat adanya pemberontakan yang dipimpin Mas Garendi atau Sunan Kuning pada 1742 itu dan mengakibatkan istana Mataram Islam di Kartasura rusak.
“Pada 20 Desember 1749 Pakubuwono II wafat. Kekosongan pemerintahan ini kemudian dimanfaatkan oleh Pangeran Mangkubumi untuk mengangkat dirinya sebagai raja baru Mataram Islam.”
Hal ini semakin memperkuat Raden Mas Said(yang telah menduduki wilayah bernama Sukowati) ingin merebut tahta Mataram Islam dari pamannya Pakubuwana II. Karena memiliki tujuan yang sama, akhirnya Raden Mas Said bekerjasama dengan Pangeran Mangkubumi untuk merebut tahta Mataram Islam dari Pakubuwana II yang dibantu oleh VOC.
Mengetahui hal tersebut maka VOC tidak mengakui Pangeran Mangkubumi sebagai penguasa dari Mataram Islam karena sebelum Pakubuwana II wafat ia memberikan wewenang pengangkatan raja baru kepada penjajah VOC.
Situasi memanas ketika VOC mengangkat putra Pakubuwana II, Raden Mas Soerjadi menjadi raja Mataram Islam dengan gelar Pakubuwana III. Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi, adik mendiang Pakubuwono II kembali melancarkan serangan pada VOC dan Pakubuwana III.
“Cakraningrat IV dari Bangkalan bersama pasukannya berhasil mengusir Mas Garendi dari Kartasura.”
Baca juga : 18 Desember 1771, Puputan Bayu : Perang habis-habisan rakyat Blambangan Banyuwangi vs Kolonial Belanda
Baca juga : 18 Februari 2001, Tragedi Sampit : Kekerasan antar-etnis Dayak dan Madura pecah di Sampit, Kalimantan Tengah
Perang
Kompeni mengirim pasukan untuk membantu raja bawahannya, tetapi pemberontakan terus berlanjut. Baru pada tahun 1755, Mangkubumi melepaskan diri dari Raden Mas Said dan menerima tawaran perdamaian di Gianti, di mana Mataram dibagi menjadi dua bagian. Mataram Timur dipimpin oleh Pakubuwono III, dengan Surakarta sebagai ibu kotanya, sementara Mataram Barat dipimpin oleh Mangkubumi, yang kemudian dikenal sebagai Sultan Amangku Buwono I, yang membangun istananya di Yogyakarta.
“Pada 22-23 September 1754 VOC mengadakan perundingan dengan mengudang Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi untuk membahas pembagian wilayah kekuasaan Mataram, gelar yang akan digunakan, kerja sama VOC dengan kesultanan.”
Politik Adu domba
Untuk mengatasi serangan dari Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi seperti dijelaskan sebelumnya, VOC selain membantu dengan persenjataan dan pasukan mereka kemudian menyusun siasat adu domba kedua tokoh tersebut. VOC mengirimkan utusan khusus untuk menghasut Raden Mas Said agar berhati-hati terhadap Pangeran Mangkubumi yang bisa mengkhianatinya.
Politik adu domba yang dilancarkan VOC membuahkan hasil, pada 1752 terjadi perselisihan antara Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh VOC untuk berunding dengan Mangkubumi. VOC membujuk Mangkubumi dengan menjanjikan setengah wilayah kekuasaan Mataram yang dipegang Pakubuwan III.
Perundingan inilah akhirnya mencapai kesepakatan dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang membagi kerajaan Mataram Islam menjadi dua bagian yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta. Setelah Perjanjian Giyanti ditandatangani, maka Pangeran Mangkubumi pun mendapat setengah wilayah Mataram Islam yang kemudian memunculkan kerajaan baru bernama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Perjanjian ini tidak mengikutsertakan Raden Mas Said.
Pangeran Mangkubumi lalu mendeklarasikan sebagai raja dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwana I. dengan demikian, maka Riwayat Kerajaan Mataram Islam telah berakhir baik secara de facto maupun de jure.
Baca juga : 9 Desember 1947, Tragedi Pembantaian Rawagede : Saat penduduk sipil Karawang dibantai pasukan KNIL Belanda
Baca juga : 1279 Saka/1357 M, Perang Bubat : Akhir Karir Mahapatih Terbesar Majapahit
Raden Mas Said dan Mangkunegara
“Akan tetapi, perjanjian ini tidak mengakhiri permusuhan di wilayah tersebut karena Pangeran Sambernyawa (atau Raden Mas Said) terus berperang melawan Pakubuwono III.”
Raden Mas Said menandatangani sebuah perjanjian dengan kompeni pada tahun 1757, yang memberinya hak untuk mendapatkan sebagian wilayah Mataram bagian timur pecahan daerah Mangkubuni. Ia kemudian dikenal sebagai Mangkunegara I.
Catatan tentang teori legitimasi Jawa
“Pada tahun 1755, Hamengku Buwono I (Pangeran Mangkubumi) pindah ke Yogya. Dia membangun istana di sana pada tahun 1756, dan memberi nama baru untuk kota itu, Yogyakarta. Namun, sultan baru ini menghadapi rintangan berat. Masih ada raja lain di Surakarta, Pakubuwono III. Masalah yang timbul dari adanya dua raja, karena teori legitimasi Jawa didasarkan pada kekuasaan hanya satu raja dengan kekuatan supranatural, tidak dapat diselesaikan selama beberapa dekade.”
“Agaknya, Hamengku Buwono I mengira Pakubuwono II tidak akan bertahan lama, karena pada tahun 1755 hampir tidak ada seorang pun dari para penguasa Surakarta yang mendukungnya. Namun, setelah Perjanjian Giyanti, banyak pejabat kerajaan yang sebelumnya melarikan diri dari istana, kembali ke Surakarta. Untuk pertama kalinya, Pakubuwono III menjadi saingan berat dalam mencari dukungan dari kalangan elit. Hal ini mengawali suasana permanen pemisahan kedua keraton,” pungkas sejarawan MC Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2005).
Baca juga : 31 Desember 1799, VOC yang Super Kaya Bubar Karena Korupsi(Hari ini dalam Sejarah)
Baca juga : 22 Oktober 1945, Hari Santri : Fatwa Resolusi Jihad Ulama untuk Kemerdekaan Indonesia