ZONA PERANG(zonaperang.com) Málaga atau Mālaqah merupakan salah satu kota di Semenanjung Iberia, di mana pemerintahan Muslim bertahan lama dan menjadi wilayah kekuasaan Dinasti Nashriyyah/Bani Nashri di Granada.
Kota ini adalah kota terbesar kedua Dinasti Nashriyyah di Granada, dan juga pelabuhan perdagangan utama yang makmur dengan perbentengan yang kuat di pesisir Laut Mediterania. Kejatuhan Málaga berawal dari konflik di antara keluarga inti Bani Nashri di Granada setelah wafatnya Sultan Abu Al-Hasan Ali/Muley Hacén pada 1485.
Hal ini berujung pada terpecahnya wilayah Dinasti Nashriyyah menjadi dua kekuasaan pada 1487. Pertama adalah Kota Granada dan sekitarnya yang dikuasai oleh Sultan Muhammad XII/Abu Abdillah Muhammad Ash-Shaghir (Boabdil “el chico”), putra Sultan Abu Al-Hasan Ali.
Konflik di antara keponakan dan paman
Kemudian sisanya ialah Kota Malaga, Almería, Baza dan Guadix yang dikuasai Sultan Muhammad XIII/Abu Abdillah Muhammad Az-Zaghal (el Zagal), adik sultan sebelumnya. Konflik di antara keponakan dan paman tersebut semakin memburuk, hingga akhirnya hal ini dimanfaatkan oleh Ratu Isabella I dari Castile serta Raja Ferdinand II dari Aragon untuk segera menyelesaikan “Reconquista” di Andalusia Selatan. Málaga menjadi tujuan utama dari kampanye militer pada 1487 oleh Kerajaan Castile dan Aragon melawan Dinasti Nashriyyah.
Penyerangan terhadap Málaga awalnya dilakukan oleh Raja Ferdinand II yang meninggalkan Córdoba dengan pasukan yang terdiri dari 20.000 penunggang kuda, 50.000 pekerja, dan 8.000 pasukan pendukung. Mereka akhirnya berhasil menaklukkan Kota Vélez-Málaga (Ballish), sebuah kota kecil di dekat Málaga pada 27 April 1487, setelah penduduknya menyerah secara damai.
Penduduk desa-desa di sepanjang perjalanan
Penduduk desa-desa di sepanjang perjalanan menuju Málaga pun juga melakukan hal yang sama. Hingga akhirnya, pengepungan terhadap Málaga dilancarkan oleh Kerajaan Castile dan Aragon. Pengepungan dilaksanakan sejak 7 Mei 1487. Sebelumnya, Raja Ferdinand II berusaha menegosiasikan penyerahan Málaga dengan baik, tetapi tawarannya itu ditolak dengan keras oleh Hamid Al-Tsaghri (Hamet el Zegrí), pimpinan Korps Ghomara/Gomeres (tentara bayaran Berber asal Afrika Utara) dan juga komandan kota Málaga. Beliau adalah mantan komandan kota (arráez) Ronda, yang meninggalkan kota tersebut setelah direbut oleh Kerajaan Castile dan Aragon pada 22 Mei 1485.
Komandan kota sekaligus kepala suku Berber di Ronda itu sebelumnya juga telah menolak tawaran damai dari Raja Ferdinand II dan Ratu Isabella I untuk menjadi bawahan mereka, dan memilih berpindah ke Málaga, di mana dia tetap memimpin perlawanan Muslim terhadap serangan militer pasukan Katholik.
Pertempuran
Pertempuran terjadi di sepanjang pantai menuju Bezmiliana, sekitar enam mil dari Málaga, di mana jalur tersebut dipertahankan oleh kaum Muslim hingga akhirnya mereka mundur ke Benteng Gibralfaro. Pengepungan terhadap kota semakin diperketat, dimana armada kapal bersenjata yang ditempatkan di sekitar pelabuhan, kemudian memutuskan semua akses ke kota dari arah laut.
Pasukan Muslim yang terdiri dari pasukan Nashriyyah pro Sultan Muhammad XIII Az-Zaghal dan pasukan Ghomara/Gomeres lalu bertahan kembali di dalam kota. Sementara itu, pasukan Castile dan Aragon mulai menggunakan “nafth” (pelontar batu api) untuk melontarkan batu-batu besar yang dibakar ke arah Málaga.
Ratu Isabella I ikut serta dan saling membunuh antara tentara muslim
Pasukan Castile dan Aragon juga semakin gencar mengarahkan serangannya ke menara-menara kota. Ratu Isabella I yang saat itu berada di Córdoba kemudian ikut serta terlibat dalam pertempuran langsung bersama dengan para pemuka agama Katholik di Castile, sebagai langkah yang sangat membantu bagi meningkatkan semangat perang Raja Ferdinand II dalam menaklukkan Málaga dari kaum Muslim.
Persediaan makanan penduduk Málaga yang mulai menipis, membuat sekelompok pedagang besar Muslim mengirimkan beberapa utusan ke Raja Ferdinand II untuk bernegosiasi. Sultan Muhammad XIII Az-Zaghal mengirimkan pasukan kavaleri dari Guadix, namun pasukan yang lebih kuat kiriman Sultan Muhammad XII Ash-Shaghir mencegat dan mengalahkannya. Hal ini dilakukannya karena khawatir posisi pamannya itu semakin kuat, sehingga dapat membahayakan tahtanya di Granada.
Kaisar Maximilian I dari Kekaisaran Romawi Suci
Sultan Muhammad XII lalu mengirimkan sejumlah hadiah mewah khas Arab Andalusia kepada Ratu Isabella I dan Raja Ferdinand II untuk meyakinkan mereka tentang sikap ramahnya tersebut. Sebagai imbalannya, mereka berdua setuju untuk tidak menyerang rakyatnya di Granada dan mengizinkan perdagangan non-militer antara masing-masing pihak. Keadaan semakin menguntungkan pasukan Castile dan Aragon, setelah Kaisar Maximilian I dari Kekaisaran Romawi Suci mengirimkan bantuan perlengkapan militer.
Keadaan semakin mencekam, setelah salah seorang pasukan Ghuzzat (sukarelawan) dari Guadix, yaitu Ibrahim Al-Santu sukses mengelabui pasukan Castile dan membunuh istri seorang bangsawan Castile yang dikiranya adalah Ratu Isabella I di perkemahan pasukan Castile. Pasukan Castile berhasil membunuh Ibrahim Al-Santu, dimana Ratu Isabella meminta agar jenazahnya dimutilasi lalu di lempar ke Málaga. Sejak saat itu, sang ratu selalu dijaga oleh 200 orang pasukan.
Memaksa penduduk kota untuk memakan anjing dan kucing
Di Malaga, jenazah Ibrahim Al-Santu dijahit kembali lalu dimakamkan sebagai syahid. Setelah kejadian itu, Raja Ferdinand II telah bersumpah untuk tidak akan memberikan persyaratan damai lagi kepada penduduk Málaga dan mereka semua harus menerima hukumannya.
Pengepungan semakin diperketat dari arah darat dan laut hingga sekitar tiga bulan, di mana jembatan yang menjadi jalan utama ke kota dihancurkan dan kota pun semakin dihujani oleh lontaran batu-batu berapi. Pada saat puncak pengepungan, persiapan makanan telah habis, sehingga memaksa penduduk kota untuk memakan anjing dan kucing serta daun tanaman merambat dan kulit palem.
Melihat hal miris tersebut, maka Ali Darduq (Ali Dordux), panglima pasukan Alcazaba/Al-Qasbah (Benteng Kota) sekaligus saudagar besar di Málaga, menegosiasikan penyerahan diri dan kelompoknya pada 13 Agustus 1487. Ia meminta kepada Raja Ferdinand II agar kelompoknya yang terdiri dari dua puluh lima keluarga untuk tetap diizinkan tinggal sebagai Muslim dengan status Mudéjar.
Baca juga : 4 Juli 1187, Kemenangan Shalahuddin Al Ayyubi di Pertempuran Hittin. Apa yang bisa dipelajari dari beliau?
Baca juga : 21 Juni 1319, Battle of the Vega of Granada : Pertempuran yang menghancurkan bagi kerajaan Castile Spanyol
Menolaknya
Para negosiator juga telah mengirim utusan kepada Hamid Al-Tsaghri untuk menawarkannya penyerahan dengan imbalan 4.000 dinar. Namun, ia menolaknya dan mengatakan, “Sungguh, saya telah menerima kota ini untuk saya lindungi, bukan untuk saya serahkan.” Hamid Al-Tsaghri dan pasukan Ghomara-nya bertahan di Benteng Gibralfaro, sedangkan penduduk Muslim Málaga di bawah instruksinya dengan gigih berhasil memukul mundur pasukan musuh yang sudah hampir memasuki gerbang kota dan terus mengejarnya.
Pasukan Castile dan Aragon mundur, penduduk Muslim Málaga menghentikan pengejarannya dan kembali ke kota. Mereka mengira semuanya telah berakhir, namun tiba-tiba pasukan musuh dengan kekuatan yang lebih besar melancarkan serangan lebih hebat hingga berhasil memasuki kota. Akhirnya, penduduk Málaga pun menyerah dan mengajukan tawaran damai. Namun, Raja Ferdinand II menolak dan bersikeras bahwa penyerahan kota harus dilakukan dengan tanpa syarat apapun.
Dikuasai sepenuhnya
Sementara itu, karena semakin terdesak di salah satu menara Benteng Gibralfaro, dengan terpaksa Hamid Al-Tsaghri menyerah, setelah ia mengetahui sisa pasukan yang bersamanya pun telah menyerah sebelumnya. Ia berhasil ditangkap dan dijadikan tawanan oleh Raja Ferdinand II. Akhirnya, pada 18 Agustus 1487, Málaga telah berhasil dikuasai sepenuhnya oleh Kerajaan Castile dan Aragon.
Penaklukan Málaga merupakan pukulan telak bagi Dinasti Nashriyyah di Granada, yang harus kehilangan pelabuhan utamanya yang menghubungkan Granada dengan Dunia Islam lainnya, terutama dengan para penguasa Muslim di Afrika Utara dan Timur Tengah. Raja Ferdinand II telah mencoba menegosiasikan penyerahan kota itu beberapa kali selama masa pengepungan, namun pasukan Nashriyyah terus menolaknya, bahkan melawan lebih keras lagi. Akibatnya, “hukuman” pun dijatuhkan kepada penduduk Muslim Málaga setelah pengepungan selama 3 bulan 11 hari.
Dijadikan sebagai budak
Hampir seluruh penduduk Muslim di Málaga lalu dijadikan sebagai budak, selain sekelompok pedagang pimpinan Ali Dordux yang terdiri dari 25 keluarga Muslim yang tetap diizinkan tinggal sebagai Mudéjar, di wilayah perkampungan Morería. Sekitar 11.000-15.000 orang, termasuk tentara bayaran Muslim, diperbudak dan harta benda mereka disita. Mereka hanya diperbolehkan menebus kebebasan dirinya sendiri sebesar 30 doblas emas serta wajib dibaptis sebagai penganut Katholik yang baru. Penduduk Muslim Málaga sebagian lalu dikirim kepada sekutu Muslim Kerajaan Castile dan Aragon, yakni Dinasti Wattasiyyah di Afrika Utara (Maroko) untuk ditukar dengan tawanan Castile dan Aragon di sana.
Beberapa dijual dalam perdagangan budak untuk membayar biaya ganti rugi kampanye militer, sedangkan selebihnya dikirim ke Kepausan Roma dan Kerajaan Naples/Napoli di Italia sebagai “hadiah” bagi para pembesar gereja dan bangsawan Katholik lainnya. Pada 1488, Paus Innocent VIII telah menerima hadiah sebanyak 100 orang budak Moor/Muslim dari Raja Ferdinand II selama masa kampanye militer “Reconquista” di Iberia Selatan (Málaga) dan membagikan budak-budak tersebut kepada para kardinal dan bangsawan Romawi Suci yang disukainya.
Hamid Al-Tsaghri menjadi tawanan di penjara Carmona (Sevilla), di mana dia akan menghabiskan sisa hari-harinya. Terdapat beberapa pendapat mengenai akhir hidup dari pejuang tua Muslim Berber ini. Pertama menyatakan bahwa setelah penangkapan dan penyiksaannya, dia dibunuh dan dimakamkan di sebuah gua di dekat Carmona. Sedangkan sumber lain menyebutkan bahwa setelah ditahan, ia bersama dengan sisa pasukan Ghomara-nya lalu dijadikan budak dan dikirimkan sebagai “hadiah” kepada Paus Innocent VIII di Roma. Di sana, mereka dijadikan sebagai penganut Katholik baru sekaligus pasukan pengawal Paus.
Dihukum mati dengan menjadi sasaran hidup untuk permainan lempar tombak
Sementara itu, nasib buruk menimpa pasukan Renegadoz Nashriyyah (para eks. ksatria Castile yang menjadi mualaf) di Málaga, dimana mereka dihukum mati dengan menjadi sasaran hidup untuk permainan lempar tombak pasukan Castile dan Aragon.
Sedangkan untuk penduduk Muslim Málaga dari kalangan mualaf serta Converso Yahudi, mereka tidak dijual sebagai budak, melainkan dihukum mati dengan cara dibakar hidup-hidup dalam upacara Auto da Fe, sebagai isyarat bagi mereka yang berani menentang kekuasaan Ratu Isabella I dan Raja Ferdinand II serta Gereja Katholik Roma. Setelah itu, Masjid Raya Málaga dan masjid-masjid lainnya di kota tersebut dirubah menjadi kathedral.
Sekitar 5.000-6.000 pendatang baru dari wilayah Extremadura, León, Castile, dan Galicia telah didatangkan untuk menghuni kembali Málaga dan sekitarnya yang hampir kosong ditinggalkan penduduknya yang telah diperbudak. Semuanya terjadi lima tahun sebelum jatuhnya Granada (1492).
Generasi Shalahuddin : Ketika dunia lupa, kita memilih untuk ingat
Sumber:
Rodney Stark. 2003. “For the glory of God.” Princeton University Press. P. 330.
Tariq Suwaidan. 2015. Dari Puncak Andalusia. Jakarta: Zaman.
William Hickling Prescott. 1854. History of the reign of Ferdinand and Isabella the Catholic of Spain.
https://www.daaruttauhiid.org/helaan-nafas-terakhir-sang-moor-runtuhnya-islam-di-bumi-spanyol/.
Baca juga : Daftar Nama Besar Para Pejuang Islam Sepanjang Masa