ZONA PERANG(zonaperang.com) Perang Bayu atau Perang Puputan Bayu yang berlangsung tahun 1771-1772 adalah perang yang diakibatkan oleh penyerahan sepihak Java’s Oosthoek atau daerah Pasuruan hingga Blambangan kepada kongsi dagang VOC yang dilakukan oleh Sri Susuhunan Pakubuwana II pada tahun 1743.
Bukan hanya Perang Jawa/Perang Diponegoro 1825-1830 atau Perang Aceh 1873-1913 yang paling meninggalkan trauma mendalam bagi penjajah Belanda selama menduduki wilayah Nusantara. Ada satu pertempuran besar lain disebut-sebut membuat penjajah Belanda sangat kewalahan. Namanya Puputan Bayu, terjadi di Blambangan atau yang kini dikenal dengan nama Banyuwangi.
Baca juga : Sultan Agung Hanyokrokusumo : Penguasa Pertama yang berani melawan VOC
Baca juga : 31 Desember 1799, VOC yang Super Kaya Bubar Karena Korupsi(Hari ini dalam Sejarah)
Peperangan paling menegangkan, paling kejam, dan paling banyak memakan korban
Cornelis Lekkerkerker (1923) dalam Balambangan, Indische Gids II, mengakui hal itu. Ia menyebut Puputan Bayu di Banyuwangi adalah peperangan paling menegangkan, paling kejam, dan paling banyak memakan korban dari semua peperangan yang pernah dilakukan VOC/Vereenigde Oostindische Compagnie atau Perusahaan Hindia Timur Belanda di Indonesia (hlm. 1056).
Perang yang terjadi di ujung timur Pulau Jawa dan berpuncak pada tahun 1772 ini memang memakan korban jiwa yang sangat banyak. Dari 65 ribu total jumlah penduduk Blambangan saat itu, yang tersisa hanya 5 ribu orang saja.
Indonesianis Benedict Anderson, melalui tulisannya berjudul “Sembah Sumpah, Politik Bahasa dan Kebudayaan Jawa” dalam Prisma (1982: 75-76), menampilkan komentar miris dari seorang pejabat Belanda di Bondowoso bernama J.C. Bosch terkait banyaknya korban jiwa dalam Puputan Bayu itu. Bosch menulis: ”[…] daerah inilah (Blambangan) barangkali satu-satunya di seluruh Jawa yang satu ketika pernah berpenduduk padat yang telah dibinasakan sama sekali.”
Baca juga : 18 September 1811, Perang Napoleon di Jawa : Penyerbuan Inggris ke tanah Jawa
Baca juga : (SUNAN GRESIK)Maulana Malik Ibrahim, Wali Pertama yang Menyebarkan Islam di Jawa
Latar Belakang Puputan Bayu
Puputan Bayu 1771 merupakan dampak dari ulah penguasa Mataram jauh-jauh hari sebelumnya. Pada 1743, Pakubuwana (PB) II terpaksa meneken perjanjian dengan Gubernur Jenderal Baron van Imhoff. PB II adalah pewaris Wangsa Mataram, raja terakhir Kasultanan Kartasura yang kemudian mendirikan Kasunanan Surakarta Hadiningrat dua tahun setelah perjanjian tersebut.
Area Sengketa
Sebelum masuknya Islam ke Jawa, Blambangan merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Mengwi karena lokasinya yang memang tidak terlalu jauh dari Bali. Blambangan dan Mengwi hanya dipisahkan selat. Ketika wilayah ini diklaim Mataram, Mengwi tidak berani menentang frontal meskipun Mataram sebenarnya tidak pernah benar-benar mampu menguasai Blambangan.
Memberikan izin kepada Inggris
Dengan lepasnya Blambangan dari Mataram, Mengwi kembali melakukan manuver agar bisa mengklaim wilayah itu lagi. Penguasa Mengwi memberikan izin kepada Inggris untuk mendirikan kantor dagang di Ulu Pampang, kota pelabuhan yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Blambangan sebelum runtuh pada 1580.
“Pada awalnya, VOC tidak ingin ikut campur dalam perselisihan antara Blambangan dan Mataram. Namun kemudian VOC melirik kongsi dagang Inggris yang sejak lama telah bekerja sama dengan Mengwi. Kerajaan Mengwi memberikan konsesi (pemberian izin) kepada kongsi dagang Inggris untuk mendirikan kantor dagang di Ulupampang”
Mengwi menilai Blambangan sangat strategis dan menguntungkan. Selain dari sisi ekonomi dan perdagangan, Blambangan bagi Mengwi juga menjadi benteng terakhir untuk membendung masuknya pengaruh Islam ke Pulau Bali (Hadi Moh. Sundoro, Pangeran Rempeg Jagapati: Pahlawan Perjuangan di Tanah Blambangan, 2008: 23).
VOC enggan membuang-buang waktu dan tenaga jika nantinya terjadi perlawanan
Sebaliknya, VOC pada mulanya menganggap wilayah ini tidak begitu penting (I Made Sudjana, Nagari Tawon Madu: Sejarah Politik Blambangan Abad XVIII, 2001: 24). Karena itu, VOC tidak turun langsung ke Blambangan. Wilayah ini baru akan dikelola saat dibutuhkan nanti.
Selain itu, VOC juga tahu bahwa PB II bukan pemilik Blambangan yang sebenarnya, karena rakyat dan penguasa wilayah ini selalu menolak tunduk kepada Mataram. VOC tampaknya enggan membuang-buang waktu dan tenaga jika nantinya terjadi perlawanan dari rakyat Blambangan.
Namun, anggapan VOC tersebut kemudian berubah setelah Inggris ikut campur di wilayah Blambangan atas izin Kerajaan Mengwi pada 1766.
Baca juga : Legiun Mangkunegaran : Tentara Jawa dengan pendidikan Eropa
Baca juga : 17 Maret 1757, Perjanjian Salatiga : Musnahnya Cita-Cita Menyatukan Tanah Jawa
Serbuan Belanda ke Blambangan
Pergerakan Inggris di Blambangan ternyata mengusik VOC yang merasa belum ingin menyentuh kawasan itu. Apalagi Ulu Pangpang menjadi kota dagang yang ramai setelah Inggris mendirikan kantor di situ.
Tidak ingin posisi Inggris semakin kuat di Blambangan, VOC lantas melakukan patroli laut di Selat Bali dan sekitarnya sejak Agustus 1766. Hasan Ali (2002) dalam Perang Puputan Bayu Sebagai Tonggak Sejarah Hari Jadi Banyuwangi menyebutkan, armada patroli VOC ini bertugas menangkap kapal-kapal milik Inggris (hlm. 21).
Ternyata, situasi justru bertambah kacau yang memaksa VOC mengirimkan ekspedisi militer ke Blambangan. Pasukan terdiri dari ratusan serdadu Eropa yang diberangkatkan dari Semarang atas perintah Johanes Voss selaku Gubernur VOC di kota tersebut, ditambah bantuan 3.000 prajurit asal Madura dan Pasuruan. Tak hanya itu, Belanda juga mengirimkan 25 kapal besar dan kapal-kapal lainnya yang berukuran lebih kecil (Sudjana, 2001: 63).
Ekpedisi militer Belanda di Blambangan resmi dimulai pada 27 Februari 1767 dengan mendirikan benteng pertahanan di Panarukan. Dari situ, pasukan VOC bergerak melalui jalur darat di bawah pimpinan Letnan Erdwijn Blanke dari Semarang. Dalam 22 hari, mereka tiba di Banyualit yang sudah termasuk wilayah Blambangan.
Kedatangan orang-orang VOC beserta para sekutunya ternyata membuat rakyat Blambangan marah. Terlebih, orang-orang asing itu bersikap kasar dan semena-mena, yang memicu bentrokan fisik di sejumlah tempat termasuk mengakibatkan gugurnya pimpinan pejuang Gusti Kuta Beda.
Baca juga : Raden Mas Hadji Oemar Said Tjokroaminoto : Raja Jawa Tanpa Mahkota
Baca juga : Kalahnya Pasukan Mongol(Dinasti Yuan) di Tanah Jawa
Perlawanan Wong Agung Wilis
Pasukan VOC mampu merebut satu demi satu wilayah di Blambangan. Selat Bali mulai dari Banyu Meneng sampai Grajagan di selatan Malang diblokir. Sementara rakyat Blambangan terus berusaha menghambat pergerakan musuh meski sering mengalami kegagalan, termasuk perlawanan yang dipimpin Pangeran Puger.
Pangeran Puger adalah putra Wong Agung Wilis, penguasa Blambangan saat itu. Wilis sebenarnya orang yang ditunjuk VOC memimpin Blambangan, namun rupanya itu siasat belaka (Samsubur, Kerajaan Blambangan Banyuwangi, 2006). Ia memanfaatkan posisinya sebagai penguasa untuk menghimpun kekuatan yang nantinya digunakan menyerang VOC.
Wilis merupakan anak pemimpin Blambangan sebelumnya, yakni Pangeran Danureja, dengan seorang putri dari Kerajaan Mengwi di Bali. Selain bisa menyatukan kekuatan Blambangan dan Mengwi, Wilis juga dibantu orang-orang Madura, Bugis, dan kaum pedagang Cina, berkat relasinya yang sangat luas.
Tak hanya itu, Wilis didukung pula oleh Bupati Malayakusuma dari Malang. Bupati ini adalah cucu dari Untung Surapati yang juga memiliki hubungan kekerabatan dengan Wilis. Dengan segenap kekuatan yang ada padanya, Wilis memimpin perlawanan terhadap VOC. Ia dibantu Mas Rempeg alias Pangeran Jagapati/Rempeg Jagapati yang masih keturunan Raja Blambangan, Prabu Susuhunan Tawangalun.
Pada Oktober 1767, Wilis bersiap menyerang. Di Ulu Pampang, ia membagi wilayah pertempuran menjadi dua bagian. Sebagian dipimpin Pangeran Jagapati dan sebagian lagi dipimpin langsung oleh dirinya (Hasan Basri, ed., Pangeran Jagapati, Wong Agung Wilis, dan Sayu Wiwit: 3 Pejuang dari Blambangan, 2006).
VOC sempat memecah wilayah Blambangan menjadi dua dan menunjuk masing-masing pemimpinnya yakni Mas Anom dan Mas Weka. Namun, keduanya kelak justru bergabung dengan Wong Agung Wilis dan Pangeran Jagapati.
Aksi Berani Mati Pasukan Jagapati
Kendati telah menghimpun kekuatan, namun pasukan Blambangan di bawah pimpinan Wong Agung Wilis tetap belum mampu mengungguli Belanda yang dipersenjatai alat-alat mutakhir. Wilis dan pengikutnya akhirnya tertangkap dan diasingkan ke Banda, Kepulauan Maluku, pada 1768 (Ainur Rofiq Sayyid Ahmad, Tiga Kiai Khos, 2008: 17).
Sepeninggal Wilis, kesewenang-wenangan VOC terhadap rakyat Blambangan semakin menjadi-jadi. Bahan pangan milik penduduk dirampas, petani dipaksa menanam padi yang hasilnya harus diserahkan kepada Belanda, kaum muda dipekerjakan paksa tanpa upah, dan seterusnya.
Kondisi ini membuat banyak warga pergi dari kampungnya untuk menyelamatkan diri (Lekkerkerker, 1923: 1054). Yang menjadi tempat tujuan adalah suatu daerah bernama Bayu (sekarang termasuk wilayah Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi) yang terletak di lereng Gunung Raung. Pangeran Jagapati juga datang ke tempat ini bersama para pengikutnya yang masih tersisa.
Mendengar Pangeran Jagapati berada di Bayu, semakin banyak rakyat Blambangan yang berdatangan ke tempat itu. Mereka yakin, Pangeran Jagapati mampu melanjutkan perjuangan Wong Agung Wilis untuk menghentikan kekejian Belanda.
Perang puputan atau pertempuran habis-habisan
Di bawah komando Pangeran Jagapati, rakyat Blambangan sepakat untuk melakukan perang puputan, atau pertempuran habis-habisan. Mereka memilih gugur di medan laga ketimbang harus menyerah kepada VOC.
Pada 18 Desember 1771, seperti dituliskan Lekkerkerker dalam catatannya yang menjadi rujukan utama dalam penulisan sejarah tentang Puputan Bayu, ribuan prajurit Blambangan bergerak menuju arena pertempuran. Mereka berseru-seru dengan semangat, membawa apa saja yang bisa digunakan sebagai senjata. Pangeran Jagapati berada di barisan terdepan sebagai pemimpin pasukan.
Dan terjadilah Puputan Bayu, perang besar-besaran di tanah Banyuwangi. Lebih dari 60 ribu orang Blambangan menjadi korban, baik tewas, melarikan diri, atau hilang tanpa jejak.
The History of Java
Sedangkan Thomas Stamford Raffles punya perhitungan berbeda. Dalam The History of Java, ia menyebut, pada 1750, sebelum Puputan Bayu, Blambangan dihuni lebih dari 80.000 orang. Gara-gara peperangan itu, penduduknya menyusut tinggal 8.000 jiwa pada 1881 (Sri Margana, The Puputan Bayu: War, Disease, and Demographic Catastrophe in Blambangan 1771-1773, 2003).
Perlawanan rakyat dalam bentuk pemberontakan-pemberontakan lokal masih terjadi di berbagai daerah di Blambangan sampai sepuluh tahun kemudian. Pemberontakan-pemberontakan itu antara lain: Pemberontakan yang terjadi di Gendoh yang dipimpin oleh Hanggapati. Pemberontakan yang dipimpin oleh Ki Mus Aceh. Pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Singo pada tahun 1781 dan sisa-sisa laskar Bayu yang hidupnya masih berpindah-pindah. Pemberontakan yang dipimpin oleh Mas Sekar pada tahun 1797 yang bermaskud membunuh semua orang Belanda yang ada di Blambangan.
Di sisi lain, VOC mengerahkan 10 ribu personil, dilengkapi senjata canggih termasuk alat-alat berat. Mereka juga menghabiskan 8 ton emas untuk biaya perang. VOC dalam hal ini sebenarnya merugi, karena apa yang dikeluarkan ternyata tak sepadan dengan apa yang didapat. Blambangan tidak memberikan keuntungan yang signifikan bagi Belanda selama berkuasa di Indonesia.
Baca juga : Sejarah Perkembangan Kerajaan Kesultanan Mataram Islam