ZONA PERANG(zonaperang.com) Operasi Kraai atau Operasi Gagak adalah serangan militer Belanda terhadap Republik Indonesia yang telah berdiri secara de facto tanggal 17 Agustus 1945 di bulan Desember 1948 setelah perundingan yang gagal. Dengan keuntungan kejutan, Belanda berhasil merebut ibukota sementara Republik Indonesia, Yogyakarta, dan menangkap para pemimpin Indonesia seperti Presiden Republik Indonesia de facto Sukarno dan Mohammad Hatta.
Namun, keberhasilan militer ini (19 Desember 1948 – 5 January 1949) diikuti oleh perang gerilya oleh rakyat jajahannya, sementara pelanggaran gencatan senjata Perjanjian Renville secara diplomatis mengisolasi pemerintah Belanda, yang mengarah ke Konferensi Meja Bundar Belanda-Indonesia dan pengakuan adidaya baru pemenang perang, Amerika Serikat terhadap Indonesia yang baru merdeka.
Disebut sebagai Politionele acties kedua oleh Belanda, hal ini lebih dikenal dalam buku-buku sejarah dan catatan militer di Indonesia sebagai Agresi Militer Belanda II (Agresi Militer Belanda II).
Baca juga : 30 Januari 1648, Perang Delapan Puluh Tahun berakhir : Perang kemerdekaan Belanda dari Spanyol
Latar Belakang
Politionele actie yang kedua bertujuan memaksa republik untuk bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda dalam pelaksanaan kebijakan federalis sebagaimana diatur dalam Perjanjian Linggadjati. Tujuannya adalah untuk mengorganisir Indonesia baru sebagai negara federal yang akan tetap berhubungan erat dengan Belanda seperti persemakmuran Inggris.
Pihak Indonesia telah melanggar banyak gencatan senjata yang ditandatangani setelah Operasi Produk yang dilakukan tanggal 21 Juli 1947. Gencatan senjata itu, Perjanjian Renville, menetapkan penarikan pasukan Indonesia dari wilayah yang diduduki Belanda sebagai imbalan untuk mengakhiri blokade angkatan laut Belanda. Militer Indonesia awalnya mematuhi perjanjian tersebut, tetapi diam-diam kembali beberapa waktu kemudian dan memulai operasi gerilya melawan Belanda.
Memecahkan kode rahasia
Pada bulan September 1948, komando militer Belanda telah berhasil memecahkan kode rahasia republik yang terenkripsi, mendapatkan informasi intelijen penting tentang strategi dan rencana militer dan diplomatik Indonesia. Hal ini memungkinkan Jenderal Simon Hendrik Spoor – Kepala Staf Tentara Kerajaan Hindia Belanda dan Tentara Kerajaan Belanda di Hindia Belanda untuk menangkal aksi-aksi republik di medan perang dan panggung diplomatik.
Belanda sangat yakin akan keuntungan ini sehingga mereka mulai mengatur konferensi pers di Jakarta yang menjelaskan tindakan mereka tiga hari sebelum serangan itu benar-benar diluncurkan. Belanda juga mengatur waktu serangan mereka untuk berkoordinasi dengan rencana Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru untuk mengirim pesawat pribadi untuk menerbangkan Sukarno dan Mohammad Hatta ke Bukittinggi di Sumatra Barat di mana mereka akan memimpin pemerintahan darurat/PDRI(kemudian pemerintahan sementara dipimpin presiden sementara Mr. Syafruddin Prawiranegara).
Pada tanggal 18 Desember, siaran radio di Batavia melaporkan bahwa Komisaris Tinggi Belanda, Louis Beel, akan memberikan pidato penting keesokan harinya. Berita ini tidak sampai ke Yogyakarta karena Belanda telah memutuskan jalur komunikasi. Sementara itu, Spoor memberikan instruksi untuk memulai serangan mendadak skala penuh terhadap Republik.
Dia mengatur waktu serangan sebelum bertepatan dengan latihan militer Tentara Nasional Indonesia pada 19 Desember, memberikan gerakan Belanda beberapa kamuflase sementara dan memungkinkan mereka untuk mengejutkan musuh. Serangan itu juga diluncurkan tanpa sepengetahuan Komite Jasa Baik PBB sebelumnya.
https://www.youtube.com/watch?v=1G_Q4qG83Tw
Baca juga : 18 Desember 1771, Puputan Bayu : Perang habis-habisan rakyat Blambangan Banyuwangi vs Kolonial Belanda
Serangan Fajar Belanda
Serangan pertama dimulai pada dini hari tanggal 19 Desember. Pada pukul 04:30, pesawat-pesawat Belanda lepas landas dari Pangkalan udara Andir Bandung (sekarang Bandara Husein Sastranegara Bandung).; menuju Yogyakarta melalui Samudera Hindia. Sementara itu, Komisaris Tinggi Belanda Beel mengumumkan bahwa Belanda tidak lagi terikat oleh Perjanjian Renville melalui radio.
Serangan Belanda mengadopsi gaya Blitzkrieg (serangan kilat) pasukan Nazi Jerman, Werchmacht saat menyerbu Soviet pada tahun 1941 / Operation Fritz atau Barbarossa . “Bedanya, ketika itu Werchmacht menggunakan pasukan resimen tank, sedangkan Spoor menggantinya dengan pasukan khusus lintas udara,” tulis Pratama D Persadha dalam buku Kode Untuk Republik, Peran Sandi Negara di Perang Kemerdekaan.
Operasi dimulai ketika Belanda menyerang pusat-pusat utama Indonesia di Jawa dan Sumatra. Pada pukul 05:30, lapangan terbang Maguwo dan stasiun radio di pesawat militer termasuk Yogyakarta dibom oleh Angkatan Udara Kerajaan Hindia Belanda. Republik hanya memiliki tiga Mitsubishi Zero buatan Jepang hasil rampasan sedangkan ML-KNIL/ Militaire Luchtvaart van het Koninklijk Nederlands-Indisch Leger atau Angkatan Udara Tentara Kerajaan Hindia Belanda (NEIAF) memiliki beberapa pesawat tempur Curtiss P-40E/N Kittyhawk dan North American Aviation P-51D/K Mustang, pesawat pembom North American B-25 C/D/J Mitchell, dan 23 Douglas DC-3 yang semuannya buatan Amerika untuk mengangkut sekitar 900 tentara.
Pasukan penerjun payung Belanda menyerang Maguwo
Pasukan penerjun payung Belanda mendarat di lapangan udara Maguwo (sekarang Adisutjipto), yang dipertahankan oleh 47 kadet Angkatan Udara Indonesia yang bersenjata ringan yang tidak memiliki senapan mesin anti-pesawat. Sebelumnya, boneka-boneka didaratkan oleh Belanda untuk menarik tembakan musuh yang memungkinkan pesawat-pesawat tempur Belanda untuk memberondong unit pertahanan bandara.
Pertempuran yang berlangsung selama 25 menit ini berakhir dengan Belanda mengambil alih total Maguwo; menewaskan 128 republiken tanpa korban jiwa. [Setelah mengamankan perimeter lapangan udara pada pukul 06:45, Belanda dapat mendaratkan pasukan udara dalam dua gelombang berturut-turut dan menggunakan Maguwo sebagai airhead/pangkalan aju untuk bala bantuan dari pangkalan utama mereka di Semarang].
Jenderal Spoor yang memimpin serangan dari atas pesawat B-25 Mitchell langsung melanjutkan perjalanan ke pangkalan Kalibanteng Semarang. Ia ingin mengecek kesiapan pasukan Grup Tempur A yang ditugasi merebut Yogya dari darat sekaligus menangkap para pemimpin republik hidup atau mati.
Pada pukul 08:30, Jenderal Spoor memberikan siaran radio yang memerintahkan pasukannya untuk menyeberangi garis Van Mook dan merebut Yogyakarta untuk “membersihkan” republik dari “elemen-elemen yang tidak dapat diandalkan”, sesuai Tujuan utama Operasi Kraai.
https://www.youtube.com/watch?v=NXktYVAUjOo&t=38s
Baca juga : Bekasi Lautan Api, Pertempuran Heroik para Pejuang Indonesia dari Kota Patriot
Baca juga : Puputan Margarana : pertempuran sampai mati Kolonel I Gusti Ngurah Rai
Pergerakan pasukan Belanda
Jenderal Spoor sudah tidak sabar ingin segera memenangkan perangnya. Pasukan dikerahkan untuk mengepung dan menyerang dari arah barat laut dan tenggara. Dari Salatiga, Pasukan Grup Tempur B yang dipimpin Kolonel de Vries bergerak menuju Solo.
Dalam dua hari Solo ditarget bisa dikuasai, dan pasukan langsung melanjutkan gerak ke Yogya. Secara bersamaan, satu batalyon Grup Tempur C dari Demak bergerak ke Rembang, dengan tujuan menguasai Cepu (Kabupaten Blora). Begitu juga Brigade Tempur Marinir yang melakukan pendaratan amfibi di Tuban juga bergerak menuju Cepu.
Malang, Kediri dan Madiun
Setelah Cepu dikuasai, Pasukan Tempur Marinir Belanda ini membawa misi melanjutkan serangan ke wilayah Kediri. Target utamanya menguasai wilayah Jawa Timur. “Terutama di daerah terkonsentrasinya pasukan TKR seperti Malang, Kediri dan Madiun,” demikian dikutip dari Kode Untuk Republik, Peran Sandi Negara di Perang Kemerdekaan.
Pada wilayah ujung barat Pulau Jawa, yakni Banten, dua batalyon pasukan Divisi C di bawah komando Kolonel D. Blanken berusaha menduduki Labuhan dan Padeglang. Pasukan Grup Tempur D bergerak dari Purwokerto ke Gombong, Purworejo, dan menguasai Magelang melalui jalur Sleman.
Sedangkan wilayah Banjarnegara dan Wonosobo dikuasai pasukan Belanda Grup Tempur E yang bergerak dari Purbalingga. Sementara hingga pukul 11.00 Wib siang, pasukan di bawah komando Van Langen masih bertahan di lapangan Maguwo, Yogya.
Untuk masuk ke Kota Yogya, mereka menunggu datangnya bantuan pasukan Kavaleri dan Zeni dari utara Boyolali, namun tidak kunjung muncul. Kedua pasukan itu tengah mendapat perlawanan sengit dari pasukan TNI di bawah komando Letnan Kolonel Slamet Rijadi.
Pernah bertempat tinggal di Yogyakarta
Van Langen pun mengambil inisiatif melanjutkan serangan ke Kota Yogya. Pasukannya dibagi dengan menggunakan rel kereta api sebagai acuan. Pergerakan pasukan Belanda melalui jalur alternatif sepanjang selatan rel yang dipimpin Kolonel Van Beek, dengan mudah melakukan penyisiran.
Van Beek pernah bertempat tinggal di Yogyakarta, yakni saat ayahnya bekerja di pabrik gula Madukismo. Dalam operasi militer gagak hitam ini Kolonel Van Beek ditugasi menangkap Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Panglima Besar Jenderal Soedirman.
https://www.youtube.com/watch?v=p-W2COp8nfY&t=36s
Baca juga : Palagan Ambarawa dan taktik supit urang : Pertempuran yang Menginspirasi TNI-AD
Baca juga : 10 Juni 1947, Mesir menjadi negara pertama yang mengakui secara resmi negara Indonesia
Membentuk Pemerintah Darurat di Sumatera
Pada pukul 15.00 WIB, Van Beek berhasil melaksanakan tugasnya. Bung Karno, Bung Hatta, Agus Salim Ali Sastroamidjojo, Soesanto dan Koesnan, berhasil ditawan. Sementara Panglima Besar Jenderal Soedirman berhasil lolos. Tepat pukul 17.30 WIB, Yogyakarta sepenuhnya jatuh ke tangan Belanda.
Wakil Agoeng Mahkota Beel dari Batavia mengumumkan Republik Indonesia adalah organisasi kenegaraan yang telah dihapus dari muka bumi. Sebab para pemimpin Republik telah ditangkap dan TNI berhasil dihancurkan.
Sebelum ditawan, Presiden Soekarno telah mengambil langkah dengan menulis surat kepada Menteri Kemakmuran RI Sjafruddin Prawiranegara yang intinya untuk membentuk Pemerintah Darurat di Sumatera.
Surat terkait pemerintahan darurat juga dikirim kepada dr Soedarsono, Duta Besar RI di India serta staf Kedutaan RI L.N. Palar dan Menteri Keuangan Mr. A.A Maramis yang sedang melakukan kunjungan kerja ke New Delhi.
Sementara dari luar Yogya, Panglima Besar Jenderal Soedirman yang lolos dari penangkapan terus mengobarkan perlawanan dengan gerilya. Soedirman yang terus diburu Belanda sempat bersembunyi di wilayah Kediri dan Pacitan. Pada 1 Maret 1949, pasukan TKR bersama rakyat berhasil merebut kembali Ibu Kota Indonesia, Yogyakarta selama 6 jam.
Baca juga : 9 Desember 1947, Tragedi Pembantaian Rawagede : Saat penduduk sipil Karawang dibantai pasukan KNIL Belanda
Tujuan utama Operasi Kraai
Tujuan utama Operasi Kraai adalah untuk menghancurkan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan cepat yang menurut Spoor akan mati-matian mempertahankan ibukota mereka. Dengan demikian, dengan keunggulan Belanda baik di udara maupun di darat, tentara Belanda akan dengan mudah melaksanakan kemenangan akhir dan menentukan atas tentara Indonesia.
Namun, sebagian besar TKR telah meninggalkan Yogyakarta, mempertahankan perbatasan barat Yogyakarta dari kampanye militer Belanda lainnya. Wakil Panglima Abdul Haris Nasution sendiri sedang dalam tur inspeksi di Jawa Timur.
Serangan udara menemukan orang Indonesia tidak siap dan dalam beberapa jam, tentara Belanda yang maju dengan cepat merebut lapangan terbang, jalan utama, jembatan, dan lokasi-lokasi strategis. Strategi Jenderal Sudirman adalah untuk menghindari kontak besar dengan tentara utama Belanda, sehingga menyelamatkan orang Indonesia dari kekalahan total. Dia lebih memilih untuk kehilangan wilayah tetapi mendapatkan waktu tambahan untuk mengkonsolidasikan pasukannya.
Baca juga : Gaji prajurit KNIL dan PNS Kompeni zaman penjajahan Hindia Belanda
Penguasaan Yogyakarta
Setelah mendengar serangan mendadak itu, panglima militer Indonesia Jenderal Sudirman menyiarkan Perintah kilat (perintah cepat) melalui radio. Dia juga meminta Sukarno dan para pemimpin lainnya untuk mengungsi dan bergabung dengan tentara gerilya. Setelah rapat kabinet, mereka menolak dan memutuskan untuk tetap tinggal di Yogyakarta, dan tetap berkomunikasi dengan utusan PBB dan Komisi Tiga Negara (Komisi Trilateral). Sukarno juga mengumumkan rencana untuk “pemerintahan darurat” di Sumatra, jika terjadi sesuatu pada kepemimpinan Indonesia di Yogyakarta.
Sementara itu, 2.600 pasukan Belanda bersenjata lengkap (infanteri dan penerjun payung) yang dipimpin oleh Kolonel Dirk Reinhard Adelbert van Langen telah berkumpul di Maguwo, siap untuk merebut Yogyakarta. Pada hari yang sama sebagian besar Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda, dengan target-target utama seperti property angkatan udara dan markas besar kepala staf dihancurkan oleh taktik “bumi hangus” Indonesia dan pemboman Belanda.
Tindakan Sukarno yang dianggap pengecut
Presiden Sukarno serta pejabat lainya ditangkap oleh Belanda dan kemudian diasingkan ke pulau Bangka. Mereka membiarkan diri mereka ditangkap dengan harapan itu akan membuat marah dukungan internasional. Namun, tindakan ini kemudian dikritik di kalangan militer Indonesia yang menganggapnya sebagai tindakan pengecut oleh kepemimpinan politik.
Sultan Hamengkubuwono IX tetap tinggal di istananya di Yogyakarta dan tidak pergi selama masa pendudukan. Sultan sendiri menolak untuk bekerja sama dengan pemerintahan Belanda dan menolak upaya mediasi oleh Sultan Pontianak Hamid II Belanda.
Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Nation in Arms)
Pada tanggal 20 Desember, semua pasukan republik yang tersisa di Yogyakarta telah ditarik. Seluruh wilayah Indonesia kecuali Aceh dan beberapa kantong di Sumatra telah jatuh di bawah kendali Belanda. Soedirman, yang menderita TBC/Tuberkulosis, memimpin gerilyawan dari tempat tidurnya. Jenderal Nasution, panglima militer wilayah Jawa, mendeklarasikan pemerintahan militer di Jawa dan memulai taktik gerilya baru yang disebut Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Nation in Arms), mengubah pedesaan Jawa menjadi front gerilya dengan dukungan sipil.
Sebuah pemerintahan darurat yang direncanakan sebelumnya dideklarasikan pada tanggal 19 Desember, Pemerintah Darurat Republik Indonesia, yang berbasis di Bukittinggi, Sumatra Barat, dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara(De fakto Presiden ke-2 RI). Soedirman menyampaikan dukungan langsungnya kepada pemerintah ini melalui radio.
Baca juga : (Buku Karya Julius Pour) Soekarno Memarahi Brigjen Soepardjo Ketika PKI Kalah pada Tahun 1965
Baca juga : Saudagar Keturunan Arab dan Rumah Proklamasi untuk Indonesia
Akibat serangan
Serangan ini dipublikasikan dengan baik secara internasional dengan banyak surat kabar, termasuk di Amerika Serikat, mengutuk serangan Belanda dalam editorial mereka. Amerika Serikat mengancam akan menangguhkan bantuan Marshall Plan kepada Belanda.
Ini dana yang sangat penting untuk pembangunan kembali Belanda pasca-Perang Dunia II yang sejauh ini berjumlah $US 1 miliar(saat itu emas masih berharga 1,8 USD per gramnya). Pemerintah Belanda telah menghabiskan jumlah yang setara dengan hampir setengah dari jumlah tersebut untuk mendanai kampanye mereka di Indonesia.
Persepsi bahwa bantuan Amerika digunakan untuk mendanai “imperialisme yang pikun dan tidak efektif” mendorong banyak suara-suara kunci di Amerika Serikat – termasuk di kalangan Partai Republik AS – dan dari dalam gereja-gereja dan LSM-LSM Amerika untuk berbicara untuk mendukung kemerdekaan Indonesia.
Pada tanggal 24 Desember, Dewan Keamanan PBB menyerukan diakhirinya permusuhan. Pada bulan Januari 1949, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang menuntut pemulihan kembali pemerintahan republik. Belanda telah mencapai sebagian besar tujuan mereka dan mengumumkan gencatan senjata di Jawa pada tanggal 31 Desember dan pada tanggal 5 Januari di Sumatra. Perang gerilya tetap berlanjut. Permusuhan akhirnya berakhir pada tanggal 7 Mei dengan ditandatanganinya Perjanjian Roem-Van Roijen.
Baca juga : Krisis sandera kerata api Belanda 1977 : Pembajakan 19 hari oleh simpatisan Republik Maluku Selatan(RMS)
Baca juga : Pembantaian Etnis Melayu 1946: Kekejaman PKI (Partai Komunis Indonesia) di Sumatera Timur