Sjafruddin Prawiranegara Presiden RI ke-2 yang Kerap Dilupakan
“Belanda menyerang pada hari Minggu, hari yang biasa dipergunakan oleh kaum Nasrani untuk memuja Tuhan.”
Mr. Syafruddin Prawiranegara berpidato pada 23 Desember 1948, sehari setelah pembentukan pemerintahan darurat. Dia menggambarkan betapa “licik, curang dan kejam” pasukan Belanda ketika menduduki Ibukota Republik di Yogyakarta justru pada saat menjelang perayaan hari Natal, “hari suci dan perdamaian bagi umat Nasrani.”
Dan, “Karena itu semua,” kecam Syafruddin, “lebih-lebih perbuatan Belanda yang mengakui dirinya beragama Kristen, menunjukkan lebih jelas dan nyata sifat dan tabiat bangsa Belanda.” Orang-orang sipil sangat mungkin kaget atas serangan yang disebut Agresi Militer II itu.
Namun, perwira-perwira militer dan elite pemerintahan sipil mestinya sudah berhitung. Terlebih serangan tiba-tiba itu, kata Syafruddin, “telah berhasil menawan Presiden, Wakil Presiden, Perdana Menteri, dan beberapa pembesar lain.”
Sebelum ditawan, Sukarno mengadakan rapat di Istana. Kepada pejabat yang hadir ketika itu, termasuk Wakil Presiden Hatta, Menteri Johannes Leimena, Laksmana Soerjadi Soerjadarma, Sukarno berkata: “Sebagaimana rencana kita dalam keadaan darurat seperti ini, maka pemerintahan sementara Republik dipindahkan ke Sumatera(Bukittinggi.)”
Pesan Tidak Diterima
Maka, seketika, sebuah telegram dikirim. Isinya, jika keadaan pemerintah gagal menjalan perannya, pemimpin Republik di Yogyakarta menguasakan kepada Syafruddin untuk membentuk pemerintah darurat di Sumatera. Selain kepada Syafruddin di Bukittinggi, kota kelahiran Hatta di Sumatera Barat, kawat kedua dikirim ke Mr. A.A Maramis di New Delhi.
Strateginya, bila Syafruddin gagal, pemerintahan pengasingan di luar negeri harus dibentuk. Telegram kepada Syafrudin itu nyatanya tak pernah sampai ke Bukittinggi. Tetapi gagasan membangun pemerintah darurat sudah ada dalam pikiran para kabinet Republik. Kondisi menguntungkan lain dalam situasi kekacauan: tak semua menteri berada di Yogyakarta termasuk Syafruddin yang sudah di Sumatera.
Baca Juga : Tiga Pesan Soeharto kepada Presiden Soekarno Pasca Pemberontakan G30S/PKI
“Kebetulan sejak November 1948 Mr. Syafruddin Prawiranegara selaku Menteri Kemakmuran RI telah berada di Bukittinggi untuk meninjau Sumatera,” tulis Rasyid. “(Untung saja) pemimpin-pemimpin pemerintahan tidak hilang kepala; segera setelah pemboman agak reda, diadakan rapat bersama antara Teuku Mohammad Hasan, Mr. Syafruddin dan Gubernur Sumatera Tengah Mr. M Nasroen pada kira-kira jam sembilan pagi di Gedung Tamu Agung, tempat bekas kediaman Wakil Presiden Hatta, masing-masing dengan staf,” tulis Rasyid.
Inisiatif
Menurut Teuku Mohammad Hasan, sekitar pukul 6 sore, Syafruddin dan Kolonel Hidayat yang menjadi Panglima Tentara dan Teritorial Sumatra menemuinya. Mereka belum tahu kabar para pemimpin di Yogyakarta.
Syafruddin lantas punya gagasan merintis pemerintahan darurat. Menurut Hidayat, Kapten Islam Salim adalah orang yang mendesak Syafruddin. Islam Salim, ajudan Hidayat, adalah putra Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim yang ikut ditawan Belanda.
Pada 22 Desember 1948, sejumlah tokoh Republik di Sumatera Barat berkumpul di Halaban, sebuah nagari yang berjarak sekitar 56 kilometer dari Bukittinggi. Hari itu juga konsep pemerintahan darurat disiapkan. Rapat digelar dan tercetuslah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.
Kabinet pun disusun. Syafruddin, sebagai Predien PDRI, merangkap jabatan Menteri Pertahanan, Menteri Penerangan, sekaligus Menteri Luar Negeri. Banyak pejabat PDR merangkap beberapa jabatan. Pemerintahan itu sering berpindah kantor di sekitar Bukittinggi-Payakumbuh demi menghindari sergapan dan serangan Belanda.
Gerilya
Para pejabat sementara itu harus berjalan kaki berhari-hari, menyusuri hutan pedalaman laiknya tentara gerilyawan. Perangkat komunikasi radio untuk mengirim pesan selalu dibawa guna menjalin kontak dengan kolega di New Delhi dan Yogyakarta.
Supaya tak disadap, pemerintahan Republik memakai telik sandi yang dikerjakan oleh para pegawai Dinas Code, yang dirintis sejak 1946, cikal bakal lembaga sandi negara. Prakarsa Syafruddin terbukti jitu.
Jangan Bergantung dari satu sosok
Dia berkata sehari usai pemerintahan itu terbentuk, bahwa negara Republik tidak cuma bergantung kepada Sukarno-Hatta, bahwa sekalipun kedua pemimpin itu sangat berharga, tetapi—demikian peribahasa yang dipakainya sebagai penyemangat—“patah tumbuh hilang berganti.”
Menurut sejarawan Sumatera Barat Mustika Zed, dalam Somewhere in the Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia (1997), setelah Yogyakarta bahkan Bukitinggi diduduki, “Belanda mengumumkan bahwa Republik sudah tidak ada lagi.” Tetapi untunglah, berkat PDRI, “ada perkembangan baru yang tak terduga oleh Belanda: membuat keadaan krisis kepemimpinan Republik segera dapat dipulihkan kembali.”
Peran pemerintah darurat ketika pemimpin sentral Republik ditawan ini minim dibahas dalam buku-buku pelajaran sejarah di sekolah.
Sjafruddin Prawiranegara/Syafruddin Prawiranegara(28 February 1911 – 15 February 1989)
Mengutip dari Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah SWT, ayahanda Sjafruddin merupakan keturunan Sultan Banten seorang bangsawan yang berpengaruh di Banten tahun 1890an. Buyut dari ibunya yaitu Sutan Alam Intan adalah keturunan Raja Pagaruyung di Sumatera Barat merupakan keturunan priyayi yang taat beragama dan leluhurnya berasal dari Minangkabau.
Sjafruddin Prawiranegara beserta keluarga pindah mengikuti ayahnya ke Ngawi, Jawa Timur pada tahun 1924. Saat itu Sjafruddin Prawiranegara masih menempuh pendidikan di ELS. Namun di sana ia masuk kembali di ELS “eorpeesche lagere school” melanjutkan sekolahnya di tingkat SMP. Setelah lulus dari ELS Syafruddin Prawiranegara melanjutkan pendidikan di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Madiun.
Baca Juga : Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo, Pemimpin DI/TII yang dihukum mati sahabat karibnya
Ia lalu melanjutkan pendidikannya di Algemeene Middelbare School (AMS) di Bandung pada 1931 serta Rechtshoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta (sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia) pada tahun 1939, dan berhasil meraih gelar Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Magister Hukum).
Selama hidupnya, ia pernah menjabat sebagai redaktur siaran radio PPRK di swasta pada tahun 1939 hingga tahun 1940, Menteri Kemakmuran pada tahun 1948, ketua Korp Mubaligh Indonesia pada tahun 1948. Tak hanya itu, Syafruddin juga memegang jabatan vital yaitu dimana ia menjadi Pemimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia pada 1948 sampai dengan 1949.
Baca Juga : Pahlawan Nasional Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka): Sejarah, Latar Pendidikan & Pemikirannya
Sjafruddin yang ahli dalam bidang keuangan juga pernah menjabat menjadi Gubernur Bank Indonesia de javasche bank pada tahun 1951, Anggota Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan dan Pembangunan Manajemen PPM pada tahun 1958, Pimpinan partai Masyumi pada tahun 1960, dan anggota pengurus yayasan Al-Azhar yayasan pesantren Islam pada tahun 1978.
Gubernur Bank Indonesia
Sjafruddin Prawiranegara merupakan orang Indonesia pertama serta satu-satunya orang yang menjadi Presiden De Javasche Bank (DJB) di masa-masa akhir (1951-1953). Ia juga memegang jabatan Gubernur Bank Indonesia (BI) pertama (1953-1958) sebagai hasil dari nasionalisasi DJB.
Sebelumnya, posisi nomor satu di DJB (1828 – 1951) selalu dipegang oleh orang Belanda. Ia sangat menonjol sebab saat masa kepemimpinannya ia sangat teguh dalam menjalankan fungsi utama bank sentral sebagai penjaga stabilitas nilai rupiah dan pengelolaan moneter.
Menteri Keuangan, Kemakmuran dan wakil perdana Menteri
Tak hanya itu, ia juga orang pertama yang mengusulkan agar pemerintah RI untuk menerbitkan mata uang sendiri untuk mengganti beberapa mata uang asing yang masih beredar. Mengutip dari BI.go.id, di lingkup pemerintahan, Sjafruddin pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan pada 1946 dan Menteri Kemakmuran pada 1948.
Pasca menyerahkan kekuasaan PDRI, Sjafruddin menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri RI pada 1949 yang lalu diangkat lagi menjadi Menteri Keuangan pada 1949-1950. Saat menjabat sebagai Menteri Keuangan, ia membuat terobosan ‘Gunting Syafruddin’ dan ‘Sertifikat Devisa’ untuk mengatasi krisis.
Sjafruddin Prawiranegara wafat pada 15 Februari 1989 dan dimakamkan di Tanah Kusir Jakarta Selatan.