ZONA PERANG(zonaperang.com) Darah dan Doa dirilis secara internasional dengan judul The Long March[of Siliwangi] adalah sebuah film perang Indonesia tahun 1950 yang disutradarai dan diproduseri oleh Usmar Ismail, mengisahkan tentang Pasukan Divisi Siliwangi dan pemimpinnya pejuang revolusi Indonesia Kapten Sudarto dalam sebuah perjalanan kembali ke Jawa Barat, jatuh cinta kepada salah seorang Gadis Jerman yang bertemu dengannya di tempat pengungsian.
Mengikuti film Tjitra (1949) yang diproduksi oleh Ismail, Darah dan Doa sering disebut-sebut sebagai film ‘Indonesia’ pertama sebagai sebuah negara (setelah berakhirnya Perang Kemerdekaan Indonesia dan penyerahan kedaulatan oleh Belanda 1949). Film ini ialah produksi pertama Pusat Film Nasional Indonesia (Perfini), dan hari pertama pengambilan gambar film ini – 30 Maret – dirayakan di Indonesia sebagai Hari Film Nasional.
Baca juga : Film The Raid : Redemption (2011)
Anggaran yang besar masa itu
“Darah dan Doa sering dianggap sebagai film Indonesia “nasional” pertama, meskipun film pertama yang diproduksi di Hindia Belanda, Loetoeng Kasaroeng karya L. Heuveldorp, telah dirilis 24 tahun sebelumnya.”
Diproduksi dengan anggaran 350.000 rupiah* (Rp 26.419.318.270 nilai 2023 berdasarkan harga emas) dan dimaksudkan untuk diputar di Festival Film Cannes, kesulitan keuangan membuat produksi Darah dan Doa hampir terhenti sebelum sang sutradara mendapatkan dukungan finansial.
Setelah menimbulkan kontroversi karena materi yang diangkat, film ini menjalani sensor dan akhirnya dirilis dan gagal secara komersial. Namun, analisis retrospektif lebih positif, dan Ismail dijuluki sebagai “bapak film Indonesia.”
Baca juga : AS Tekan Belanda Agar Akui Kemerdekaan dan Kedaulatan RI
Skenario
Film ini mengisahkan perjalanan panjang (long March) prajurit Divisi Siliwangi RI, yang diperintahkan kembali ke pangkalan semula, dari Yogyakarta ke Jawa Barat setelah Yogyakarta diserang dan diduduki pasukan Kerajaan Belanda lewat Aksi Polisionil/Agresi Militer Belanda II .
Pasukan yang awalnya bermarkas di Jawa Barat dan untuk sementara waktu bermarkas di Jawa Tengah karena Perjanjian Renville ini sempat memadamkan pemberontakan komunis ke-2 di Madiun, menewaskan banyak anggota Partai Komunis Indonesia dalam prosesnya.
Film ini lebih difokuskan pada Kapten Sudarto (Del Juzar) yang dilukiskan bukan sebagai pahlawan tetapi sebagai manusia biasa. Meski sudah beristri di tempat tinggalnya, selama di Yogyakarta dan dalam perjalanannya ia terlibat cinta dengan dua gadis. Ia sering tampak seperti peragu.
Pada waktu keadaan damai datang karena pengakuan kedaulatan oleh Belanda, ia malah harus menjalani penyelidikan, karena adanya laporan dari anak buahnya yang tidak menguntungkan dirinya sepanjang perjalanan(kepemimpinannya yang buruk). Sudarto sendiri akhirnya ditembak mati.oleh seorang pria yang kerabatnya terbunuh di Madiun.
Baca juga : Amir Sjarifoeddin, Tokoh komunis peristiwa Pemberontakan Madiun 1948
Baca juga : 1279 Saka/1357 M, Perang Bubat : Akhir Karir Mahapatih Terbesar Majapahit