ZONA PERANG(zonaperang.com) Pertempuran Laut Bismarck yang terjadi di Wilayah Pasifik Barat Daya tanggal 2-4 Maret 1943 selama Perang Dunia II berawal ketika pesawat Angkatan Udara Kelima A.S. yang pernah berbasis di Malang Jawa Timur dan Angkatan Udara Australia (RAAF/ Royal Australian Air Force) menyerang konvoi Jepang yang membawa pasukan ke kota Lae yang merupakan pangkalan utama Kekaisaran di Papua Nugini. Sebagian besar gugus tugas Jepang dihancurkan, dan kerugian pasukan Jepang sangat besar.
“Daerah ini dinamai untuk menghormati Kanselir Otto von Bismarck karena dianeksasi sebagai bagian dari protektorat Jerman di Nugini Jerman pada tahun 1884.”
Jepang ingin pangkalan itu tetap beroperasi dan menggelar pasukan utama mereka dari Rabaul di pesisir Laut Bismarck di lepas pantai Britania Baru, 500 mil (804km) utara dari Port Moresby.
Untuk memperkuat pertahanan walaupun beresiko
Konvoi Jepang merupakan hasil dari keputusan Markas Besar Umum Kekaisaran Jepang pada bulan Desember 1942 untuk memperkuat posisi mereka di Pasifik Barat Daya. Sebuah rencana disusun untuk memindahkan sekitar 6.900 tentara dari Rabaul yang bekas koloni Jerman langsung ke Lae.
Rencana tersebut dipahami berisiko, karena kekuatan udara Sekutu di daerah tersebut sangat kuat, tetapi diputuskan untuk dilanjutkan karena jika tidak, pasukan harus mendarat cukup jauh dan berbaris melalui medan rawa, gunung, dan hutan yang tidak bersahabat tanpa jalan raya sebelum mencapai tujuan.
Pada tanggal 28 Februari 1943, konvoi – yang terdiri dari delapan kapal perusak dan delapan kapal pengangkut pasukan dengan kawalan sekitar 150 pesawat tempur – berangkat dari Pelabuhan Simpson di Rabaul.
“Jepang berusaha untuk tidak kehilangan pulau dan garnisun mereka di Lae dengan mengirimkan prajurit bala bantuan serta bahan bakar dan pasokan pesawat.”
Baca juga : 26 Februari 1945, Battle of Corregidor : Pertempuran Terakhir sebelum jatuhnya Filipina dari tangan Jepang
Baca juga : 20 Desember 1942, Perang Dunia II : Pasukan udara Jepang mengebom Kalkuta India
Pemecah kode
Sekutu telah mendeteksi persiapan konvoi tersebut, dan pemecah kode angkatan laut di Melbourne (FRUMEL/Fleet Radio Unit, Melbourne) dan Washington, D.C., telah memecahkan dan menerjemahkan pesan yang mengindikasikan tujuan dan tanggal kedatangan konvoi tersebut.
“Pada tanggal 1 Maret, pesawat pengintai AS melihat 16 kapal Jepang dalam perjalanan menuju Lae dan Salamaua di Papua Nugini.”
Angkatan Udara Sekutu telah mengembangkan teknik-teknik baru, seperti pengeboman lompatan, yang mereka harapkan dapat meningkatkan peluang keberhasilan serangan udara terhadap kapal-kapal. Mereka mendeteksi dan membayangi konvoi tersebut, yang kemudian mendapat serangan udara pada tanggal 2-3 Maret 1943.
Sekutu menerjunkan pembom Douglas A-20 Havoc/DB-7Boston, North American B-25 Mitchell, B-17 Flying Fortress, Consolidated B-24 Liberator, Bristol Beaufort dengan perlindungan Lockheed P-38 Lightning, Curtiss P-40 Warhawk/Kittyhawk, Bell P-39 Airacobra dan Bristol Type 156 Beaufighter.
Pada tanggal 2 Maret 1943 tersebut, enam B-17 dari Skuadron ke-64 yang terbang di ketinggian 10.000 kaki (3.000 m) menyerang kapal konvoi pasukan Jepang Kyokusei Maru, yang mengangkut 1.200 tentara, dan merusak dua kapal angkut lainnya, Teiyo Maru dan Nojima.
Pada tanggal 3 Maret 1943, 13 pesawat B-17 yang terbang di ketinggian 7.000 kaki (2.000 m) mengebom konvoi tersebut, memaksa konvoi tersebut bubar dan mengurangi konsentrasi pertahanan anti-pesawat. B-17 menarik sejumlah pesawat tempur Mitsubishi A6M Zero, yang pada gilirannya diserang oleh pengawal P-38 Lightning.
Baca juga : 26 November 1941, Gugus tugas Jepang berangkat ke Pearl Harbor Hawaii
Baca juga : Bagaimana AS dan Jepang Beralih dari Musuh Menjadi Sekutu?
Serangan bertubi-tubi Sekutu
Serangan lanjutan oleh kapal dan kapal cepat torpedo PT boats dilakukan pada tanggal 4 Maret terhadap sekoci dan rakit. Kedelapan kapal pengangkut dan empat kapal perusak (Asashio, Arashio, Tokitsukaze, dan Shirayuki) yang mengawal ditenggelamkan.
“Dari 150 pesawat tempur Jepang yang mencoba melawan pesawat pengebom Amerika, 102 di antaranya ditembak jatuh. Ini merupakan bencana besar bagi Jepang. Angkatan Udara ke-5 AS dan Angkatan Udara Australia menjatuhkan total 213 ton bom ke konvoi Jepang.”
Dari 6.900 tentara yang sangat dibutuhkan di Nugini, hanya sekitar 1.200 yang berhasil mencapai Lae. Sebanyak 2.700 lainnya diselamatkan oleh kapal perusak dan kapal selam dan dikembalikan ke Rabaul. Jepang tidak melakukan upaya lebih lanjut untuk memperkuat Lae dengan kapal, yang pada akhirnya sangat menghambat upaya mereka untuk menghentikan serangan Sekutu di New Guinea.
Perdana Menteri Inggris Winston Churchill memilih tanggal 4 Maret, sebagai akhir resmi pertempuran, untuk mengucapkan selamat kepada Presiden Franklin D. Roosevelt, karena hari itu juga merupakan ulang tahun ke-10 pelantikan pertama presiden. “Terimalah ucapan selamat dari saya atas kemenangan brilian Anda di Pasifik, yang sesuai dengan akhir dari 10 tahun pertama Anda.”
Baca juga : Rudal udara-ke-udara Mitsubishi AAM-3 / Type 90 (1990), Jepang