ZONA PERANG(zonaperang.com) Pembantaian Rawagede adalah pembunuhan massal penduduk di Kampung Rawagede saat ini Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang, Jawa Barat oleh tentara KNIL Belanda yang menewaskan 431 orang pada tanggal 9 Desember 1947. Peristiwa terjadi agresi militer pertama Belanda/Operation Product .
“Pasca-proklamasi kemerdekaan Indonesia, pemerintah dan tentara Belanda yang masih berkuasa menurut hukum masih terus berusaha menguasai kembali wilayah Hindia Belanda dengan melancarkan Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli-5 Agustus 1947.”
Awalnya, tentara Kolonial menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah Karawang. Pertempuran kemudian berkobar di daerah antara Karawang dan Bekasi, mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa dari kalangan sipil.
Baca juga : Gaji prajurit KNIL dan PNS Kompeni zaman penjajahan Hindia Belanda
Baca juga : Krisis sandera kerata api Belanda 1977 : Pembajakan 19 hari oleh simpatisan Republik Maluku Selatan(RMS)
Awal
Pada tanggal 4 Oktober 1948, tentara Belanda dari divisi Eerste Divisie “7 December”, Detasemen 3-9 RI, pasukan para (1e para compagnie) dan 12 Genie veld compagnie melancarkan operasi pembersihan. Dalam peristiwa ini 35 orang penduduk Rawagede dibunuh tanpa alasan jelas.
“Mereka kemudian memaksa seluruh penduduk keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat yang lapang. Penduduk laki-laki diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian mereka ditanya tentang keberadaan para pejuang Republik. Namun tidak satu pun rakyat yang mengatakan tempat persembunyian para pejuang tersebut”
Desa Rawagede saat ini sudah tidak ada lagi dan berganti dengan nama Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang. Tragedi ini sempat mencuat pada tahun 1991, saat Sukarman anak dari salah satu korban pembantian yang bernama Sukardi, seorang pejuang yang lolos dari tragedi pembantaian Rawagede, menulis buku yang berjudul ‘Riwayat Singkat Makam Pahlawan Rawagede’.
“Tanpa ada pengadilan, tuntutan ataupun pembelaan. Seperti di Sulawesi Selatan, tentara Belanda di Rawagede juga melakukan eksekusi di tempat (standrechtelijke excecuties), sebuah tindakan yang jelas merupakan kejahatan perang.”
Baca juga : 30 Mei 1619, Jan Pieterszoon Coen taklukkan Jayakarta dan dirikan Batavia
Kurang mendapatkan apresiasi serius
Tapi sayangnya buku ini kurang mendapatkan apresiasi serius dikalangan masyarakat maupun pemerintah Indonesia, dan hanya menarik perhatian para veteran termasuk Pangdam Siliwangi saat itu, Mayjen TNI Tayo Tarmadi. Beliau kemudian memprakarsai pendirian Yayasan Rawagede dan mengumpulkan kuburan para korban dalam satu lokasi dan mendirikan monumen Rawagede.
“Semua lelaki ditembak mati. Semua perempuan ditembak mati, padahal Belanda negara demokratis. Semua anak ditembak mati.”
Ironisnya, di Belanda buku itu cukup menyedot perhatian akademisi, politisi dan wartawan hingga kemudian dicetak ulang. Masyarakat Belanda begitu terhenyak membaca kisah pembantaian yang ditulis di buku itu, karena yang mereka tahu Indonesia pada waktu itu adalah bagian dari Kerajaan Hindia Belanda sehingga tidak ada penjajahan apalagi pembantaian.
Mengajukan gugatan kepada pengadilan Belanda
Hingga pada akhirnya, isu Tragedi Rawagede ini kembali mencuat dan menarik perhatian, hingga kemudian keluarga korban pembantaian Rawagede mengajukan gugatan kepada pengadilan Belanda.
Akhirnya perjuangan keluarga korban Tragedi Rawagede membuahkan hasil, pada 14 September 2011, Pengadilan Den Haag memenangkan gugatan para keluaraga korban tragedi rawagede, dan menyatakan pemerintah Belanda harus bertanggung jawab dan membayar kompensasi bagi para korban dan keluarga tragedi Rawagede.
Baca juga : Marsose, KNIL dan Londo Ireng