- Ketika Jepang menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia dan membentuk BPUPKI, Kartosoewirjo melalui wakil-wakil Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo dan Kiai Ahmad Sanusi mengusulkan ide-ide tentang pembentukan negara Indonesia merdeka yang memberlakukan syariat.
- Atas ide Kartosoewirjo inilah maka pada Piagam Jakarta (Jakarta Charter) pada bagian pertama memuat tentang “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”, meskipun akhirnya kalimat tersebut dihilangkan karena tekanan wakil Indonesia Timur.
ZONA PERANG (zonaperang.com) – Gerakan Darul Islam (DI) merupakan gerakan politik yang terjadi pada awal tahun 1948. Gerakan ini mempunyai pasukan yang disebut Tentara Islam Indonesia (TII), sehingga pemberontakan ini sering disebut dengan DI/TII.
Dikutip dari laman resmi Kemdikbud, gerakan DI/TII memiliki tujuan mendirikan Negara Islam Indonesia yang tujuannya adalah untuk mengamalkan Al-Qur’an dan berdasarkan hukum syariah. Pemberontakan DI/TII merupakan salah satu pemberontakan tersulit yang pernah dihadapi Indonesia.
Sebab, pemberontakan ini menyebar di berbagai wilayah Indonesia dari Jawa, Sumatra, Sulawesi maupun Kalimantan.
Kartosuwiryo saat bekerja di koran sebagai Pemimpin Redaksi harian Fadjar Asia banyak menuliskan pemikiran-pemikirannya yang menentang kerjasama masyarakat Jawa dengan Belanda. Ia termasuk sosok yang keras dan pemikirannya sering bertolak belakang dengan pemerintah, termasuk mengenai perjanjian-perjanjian yang dibuat antara Belanda dan pemerintah Indonesia.
Baginya perjanjian itu dibuat hanya untuk menguntungkan Belanda dan menyengsarakan rakyat Indonesia. juga menolak posisi menteri yang ditawarkan Amir Sjarifuddin yang saat itu menjabat Perdana Menteri.
Baca juga : Pemimpin Hamas – Yahya Sinwar : Pria dengan banyak wajah
Baca juga : Bagaimana Eropa Memandang Kekuatan Umat Islam di Masa Jayanya?
Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat
Pemberontakan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo (S.M. Kartosuwiryo) yang lulus sekolah Perguruan Tinggi Kedokteran Nederlands Indische Artsen School. Pada masa pergerakan nasional, Kartosuwiryo merupakan tokoh pergerakan Islam Indonesia yang cukup disegani.
Selama pendudukan Jepang, Kartosuwiryo menjadi anggota Masyumi. Bahkan, ia terpilih sebagai Komisaris Jawa Barat merangkap Sekretaris I. Dalam kehidupannya, Kartosuwiryo mempunyai cita-cita untuk mendirikan Negara Islam Indonesia.
Untuk mewujudkan cita-citanya, Kartosuwiryo mendirikan sebuah pesantren di Malangbong, Garut, yaitu Pesantren Sufah. Pesantren Sufah selain menjadi tempat menimba ilmu keagamaan juga dijadikan sebagai tempat latihan kemiliteran Hizbullah dan Sabilillah.
Dengan pengaruhnya, Kartosuwiryo berhasil mengumpulkan banyak pengikut yang kemudian dijadikan sebagai bagian dari pasukan Tentara Islam Indonesia (TII). Dengan demikian, kedudukan Kartosuwiryo semakin kuat.
Sejalan dengan hal itu, pada 1948 Pemerintah RI menandatangani Perjanjian Renville yang mengharuskan pengikut RI mengosongkan wilayah Jawa Barat dan pindah ke Jawa Tengah.
Hal ini kemudian dianggap Kartosuwiryo sebagai bentuk pengkhianatan Pemerintah RI terhadap perjuangan rakyat Jawa Barat. Bersama kurang lebih 2000 pengikutnya yang terdiri atas laskar Hizbullah dan Sabilillah, Kartosuwiryo menolak hijrah dan mulai merintis gerakan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII).
Atas gerakan itu, pemerintah RI berusaha menyelesaikan persoalan ini dengan cara damai dengan cara membentuk sebuah komite yang dipimpin oleh Natsir (Ketua Masyumi).
Namun, komite ini tidak berhasil merangkul kembali Kartosuwiryo ke pangkuan RI. Oleh karena itu, pada 27 Agustus 1949, pemerintah secara resmi melakukan operasi penumpasan gerombolan DI/ TII yang disebut dengan Operasi Baratayudha.
“Pada 7 Agustus 1949, melalui pertimbangan yang panjang, akhirnya SMK memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) di desa Cisampah, kecamatan Ciawiligar, kabupaten Tasikmalaya.”
Pemberontakan DI/TII menyebar ke Jawa Tengah
Di Jawa Tengah, pemberontakan DI/TII dipimpin oleh Amir Fatah dan Mahfu’dz Abdurachman (Kyai Somalangu). Amir Fatah ialah seorang komandan laskar Hizbullah di Tulangan, Sidoarjo, dan Mojokerto.
Pada 23 Agustus 1949, setelah mendapatkan pengikut, Amir Fatah kemudian memproklamasikan diri untuk bergabung dengan DI/TII di Desa Pengarasan, Tegal. Amir Fatah kemudian diangkat sebagai Komandan Pertempuran Jawa Tengah dengan pangkat Mayor Jenderal Tentara Islam Indonesia.
Selain itu, di Kebumen muncul pemberontakan DI/TII yang dilancarkan oleh Angkatan Umat Islam (AUI) yang dipimpin oleh Kyai Somalangu.
Kedua gerakan ini bergabung dengan DI/TII Jawa Barat pimpinan Kartosoewirjo. Pemberontakan di Jawa Tengah ini menjadi semakin kuat setelah Batalion 624 pada Desember 1951 membelot dan menggabungkan diri dengan DI/TII di daerah Kudus dan Magelang.
Untuk mengatasi pemberontakan-pemberontakan tersebut, Pemerintah RI membentuk pasukan khusus yang disebut dengan Banteng Raiders.
Pasukan Raiders ini melakukan serangkaian operasi kilat penumpasan DI/TII, yaitu Operasi Gerakan Banteng Negara (OGBN) di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sarbini, kemudian diganti oleh Letnan Kolonel M. Bachrun, dan selanjutnya dipegang oleh Letnan Kolonel A. Yani.
Berkat operasi tersebut, pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah dapat ditumpas pada 1954. Adapun untuk mengatasi pembelotan Batalyon 624, pemerintah melancarkan Operasi Merdeka Timur yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto.
Tertangkapnya Sang imam
Pada 1962, Presiden Sukarno menandatangi surat keputusan hukuman mati terhadap pemimpin DI/TII Kartosuwiryo yang melakukan pemberontakan di Jawa Barat. Ada kisah mengharukan sebelum Bung Karno meneken surat hukuman mati untuk sahabatnya tersebut.
Eksekusi itu bahkan sempat tertunda selama tiga bulan karena Bung Karno enggan menandatangani surat tersebut. Sebab, tanpa tanda tangan Sukarno, hukuman mati terhadap Kartosuwiryo takkan pernah dilakukan.
Penulis Solichin Salam dalam bukunya, Soekarno-Hatta, pernah bertanya kepada Bung Karno, “Apakah Bapak pernah menjatuhkan hukuman mati terhadap seseorang?” Bung Karno menjawab, “Pernah. Itu pun hanya sekali dan dengan hati yang berat.”
Yang dimaksudkan adalah ketika ia menandatangani surat keputusan mati untuk Kartosuwiryo, saudara seperguruannya.
Sukarno dan Kartosuwiryo adalah sahabat karib yang sama-sama pernah menimba ilmu kepada HOS Tjokroaminoto di kawasan Peneleh, Surabaya, Jawa Timur. Mereka juga pernah tinggal satu atap di rumah Tjokroaminoto dan saat tinggal di Bandung.
Baca juga : Golani Brigade : Runtuh dan Hancurnya Mitos Tidak Terkalahkan Tentara Terbaik Zionis Israel
Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, 5 September 1962
Kisah eksekusi ini dimulai pada suatu pagi pada 1962. Saat itu, Mayjen S Parman, asisten I menteri/ panglima Angkatan Darat (men/pangad), menghadap Presiden Sukarno di Istana. Mayjen S Parman –yang kemudian pada 30 September 1965 dibunuh saat pemberontakan G30S PKI– datang dengan membawa berkas dan surat keputusan (SK) hukuman mati Kartosuwiryo untuk ditandatangani Bung Karno.
Namun, Bung Karno meminta Mayjen S Parman kembali lagi setelah Maghrib. Sesudah shalat dan berdoa, barulah Bung Karno menandatanganinya.
Eksekusi kemudian dipercaya dilaksanakan di Pulau Onrust, salah satu pulau di kawasan Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. Namun, lokasi eksekusi Kartosuwiryo yang selama 50 tahun dipercaya di Pulau Onrust ternyata keliru.
Kartosuwiryo ternyata dieksekusi dan dimakamkan di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, pada 5 September 1962. Adalah sejarawan dan budayawan Fadli Zon yang membuka misteri yang tersimpan rapi selama lima dekade tersebut.
Lewat buku Hari terakhir Kartosoewiryo: 81 Foto Eksekusi mati Imam DI/TII, terungkap Kartosuwiryo dieksekusi mati dan dikuburkan di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu.
Buku foto ini merangkai perjalanan akhir sang imam. Mulai makanan terakhir yang dimakan Kartosuwiryo, perjalanannya ke pulau, hingga ditembak mati tentara, dan dishalatkan serta dimakamkan.
Ada yang menarik dari cerita eksekusi mati Kartosuwiryo di Pulau Onrust. Di pulau tersebut, ada dua “makam keramat” yang dikelilingi pagar bambu dan ubin keramik.
Di makam itu juga tertera tulisan, “Salah satu dari makam itu adalah tokoh DI/TII yang dihukum mati oleh pemerintah.”