Membuat kebijakan untuk rakyat bukan hal mudah. Tak hanya butuh kecerdasan, namun juga rasa keadilan.
Salah satu kisah tragis tentang kebijakan yang salah pernah dilakukan Khalifah Al-Musta’shim Billah , penguasa terakhir Bani Abasiyyah di Baghdad (1243-1258).
“Khilafah Islam Abbasiyah, yang diturunkan dari paman Muhammad Al-Abbas ibn Abd al-Muttalib dan didirikan pada tahun 750, adalah Khilafah Islam ketiga sejak zaman Nabi Muhammad SAW.”
Tidak kurang dari 36 perpustakaan umum dibangun di samping perpustakaan besar, ‘rumah Kebijaksanaan’. Bagdad menjadi pusat pembelajaran di dunia abad pertengahan, yang tidak biasa pada masa itu, sebagian besar warganya melek huruf.
Selama 200 tahun berikutnya, konflik lokal mengurangi kendali Abbasiyah atas sebagian besar kerajaan Islam yang luas, menjadi sebagian besar peran agama dan seremonial. Namun bagi Bagdad sendiri, yang terus berkembang menjadi pusat ilmu pengetahuan, budaya dan filsafat yang kemudian disebut oleh para penulis barat, Zaman Keemasan Islam.
Baca juga : Ada sebuah idiom terkenal dari banyak sejarawan, “Andalusia tidak jatuh dalam semalam.”
Para pejabat di istana justru mempertontonkan gaya hidup bermegah-megah
Menjelang runtuhnya Baghdad, kemunduran terjadi di semua sisi akibat kebijakan yang carut-marut. Ekonomi mundur menyebabkan harga-harga melambung. Di saat yang sama, para pejabat di istana justru mempertontonkan gaya hidup bermegah-megah.
Rakyat gerah sehingga muncul pemberontakan di mana-mana. Situasi keamanan dan politik tidak stabil. Pada kondisi seperti itu, Khalifah justru mengangkat para pejabat yang akhirnya menjadi para pengkhianat yang menjual negara.
Salah satu pengkhianat yang dicatat sejarah adalah wazir bernama Ibnu al-Alqami. Ia yang secara diam-diam berhubungan dengan pasukan Mongol dan memuluskan langkah pasukan penghancur itu hingga ke ibukota Baghdad.
Puncaknya pada 12 Muharram 656 H, 200.000 pasukan Mongol yang dipimpin Hulagu Khan mengepung istana. Pada situasi seperti itu Khalifah bukannya segera bertindak, namun malah menggelar pesta!
Di antara hujan panah pasukan Mongol, sebuah anak panah datang dari arah jendela menembus tubuh selirnya yang bernama Arafah yang sedang menari di hadapan Khalifah.
Anak panah itu disertai selembar surat, “Jika Tuhan hendak melaksanakan ketentuan-Nya, maka Dia akan melenyapkan akal waras orang yang berakal.”
Hanya memerintahkan untuk mengamankan istana
Dalam situasi kritis, Khalifah Al Musta’shim hanya memerintahkan untuk mengamankan istana tanpa mempedulikan bagaimana nasib rakyatnya.
Akhirnya sejarah mencatatnya sebagai pecundang. Bahgdad yang dibangun nenek moyangnya sebagai simbol kegemilangan Islam, luluh lantak dibakar 40 hari 40 malam tanpa bisa dipadamkan apinya.
Dua juta rakyatnya dibantai tanpa ampun oleh pasukan Mongol. Termasuk Khalifah yang lemah dan keluarganya.
Berawal dari Khalifah yang lemah, kebijakan yang salah, akhirnya Baghdad tinggal menjadi sejarah. Harusnya kita bisa mengambil pelajaran.
Generasi Shalahuddin : Ketika dunia lupa, kita memilih untuk ingat
Baca juga : 10 Februari 1258, Pasukan Mongol menduduki Bagdad : Saat warna sungai Tigris Irak berubah menjadi hitam