- Nyoto pandai memainkan alat musik saksofon dan gemar berpesta lenso, seperti Sukarno
- Nyoto: Intelektual PKI yang Harmonis dengan Sukarno
- Sukarno dan Nyoto memiliki visi dan misi yang serupa dalam membangun Indonesia. Mereka berdua percaya bahwa untuk membangun negara yang adil dan makmur, diperlukan kerja sama antara berbagai elemen masyarakat, termasuk nasionalis, agamawan, dan komunis. Konsep “Nasakom” yang dicanangkan oleh Sukarno menjadi dasar kerja sama antara Sukarno dan Nyoto.
ZONA PERANG (zonaperang.com) — Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional atau Unas Jakarta, Selamat Ginting mengungkapkan, Presiden Sukarno lebih menyukai anak muda daripada tokoh tua untuk membantunya berkuasa. Baik di dalam Partai Nasional Indonesia / PNI maupun pemerintahan.
“Ia (Sukarno) tidak puas dengan kerja pembantu utamanya Ruslan Abdulgani dan Subandrio (Menteri Luar Negeri, Kepala Intelejen, Deputi Perdana Menteri) dalam membuat teks pidatonya. Keduanya kemudian tidak dipakai lagi. Digantikan Nyoto, seorang anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) tulen,” kata kandidat doktor ilmu politik Unas tersebut di Jakarta, Jumat (1/10).
Ginting mengemukakan, setelahPresiden Sukarno sempat pingsan saat beristirahat di Istana Tampaksiring, Bali pada 4 Agustus 1965, ia gelisah. Hal itu karena Sukarno menjelang Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1965, belum menyiapkan pidato untuk hari besar nasional tersebut.
Kemudian, lanjut Ginting, Sukarno meminta Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Mangil Martowidjojo (Komandan Detasemen Kawal Pribadi) untuk mencari Nyoto. Sukarno tidak lagi membutuhkan Subandrio maupun Ruslan Abdulgani untuk membuat konsep pidato hari kemerdekaan 17 Agustus 1965.
Baca Juga : Presiden-presiden Amerika yang pernah menjadi target percobaan pembunuhan
Baca juga : Apakah Sukarno juga bertanggung jawab untuk tragedi Romusha?
Latar Belakang Nyoto
Nyoto, yang memiliki nama asli Koesoemo Digdojo, adalah seorang kader PKI sejak muda. Ia dikenal sebagai Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda PKI, yang bertanggung jawab untuk menyusun pidato-pidato yang mampu membakar semangat massa. Nyoto juga dikenal sebagai seorang yang pandai memainkan alat musik saksofon dan gemar berpesta lenso, kesamaan yang ia miliki dengan Sukarno.
“Njoto atau Iramani, lelaki yang juga dikenal sebagai pemain musik dan pengarang lagu ini dikenal sebagai Pemimpin Redaksi Harian Rakjat, koran politik terbesar dengan oplah 23.000 eksemplar yang pernah terbit di Indonesia pada kurun waktu 1950-1965.”
Njoto juga dikenal sebagai pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI), tepatnya menjabat sebagai Wakil Ketua II di Politbiro PKI. Ia juga menjabat sebagai Menteri Negara yang diperbantukan pada Presidium Kabinet Dwikora di bawah kepemimpinan Soekarno.
Sebagai Menteri Negara di Kabinet Dwikora, Nyoto memiliki peran penting dalam pemerintahan Sukarno. Ia tidak hanya berperan dalam menyusun pidato, tetapi juga dalam berbagai kebijakan strategis.
Mendirikan Lekra
Dalam buku Prahara Budaya yang disusun D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail (1995), Njoto memang menjadi salah satu penggagas berdirinya Lekra(Lembaga Kebudajaan Rakjat dibawah PKI). Bersama D.N. Aidit, M.S. Ashar, dan A.S. Dharta (Klara Akustia), ia berinisiatif mendirikan Lekra pada 17 Agustus 1950.
Dalam buku Lekra Tak Membakar Buku yang disusun Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan (2008), organisasi Lekra mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam satu dasawarsa sejak awal kelahirannya. Hal ini dapat dilihat dari hasil Kongres Nasional di Solo, Jawa Tengah pada 24-29 Januari 1959, yang menempatkan sastrawan dan seniman terkemuka Indonesia sebagai anggota pimpinan Lekra Pusat saat itu.
Sebagai gambaran, mereka yang duduk sebagai Anggota Pimpinan Pusat Lekra hasil kongres nasional itu antara lain Affandi, Boejoeng Saleh, Hendra Gunawan, Henk Ngantung, H.R. Bandaharo, Joebaar Ajoeb, Pramoedya Ananta Toer, Rivai Apin, Sudharnoto, S. Rukiah Kertapati, dan Njoto.
Yang pasti, selain bergerak di bidang politik, Njoto juga aktif menulis esai budaya dan puisi di Harian Rakjat yang dipimpinnya. Karena tulisan-tulisannya itulah Njoto menjadi sosok yang sangat disegani saat itu. Baik oleh pihak kawan maupun lawan politiknya.
Baca juga : Henk Sneevliet, Tokoh Pembawa “Dosa” Komunisme ke Indonesia
Baca juga : PKI: Dalang Kejahatan yang Menuduh Dirinya Korban
Lebih cocok dengan gaya pidato yang disusun oleh Nyoto
“Jadi, Bung Karno merasa lebih cocok dengan gaya pidato yang disusun oleh Nyoto daripada Ruslan Abdulgani maupun Subandrio,” ungkap dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas itu.
Ginting menjelaskan, dalam riwayat hidupnya, Nyoto adalah kader PKI asli sejak awal terjun ke politik dan menjadi Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda PKI. Nyoto memang pandai memilih diksi yang dapat membakar massa. Lelaki dengan nama asli Koesoemo Digdojo, kemudian mengganti namanya menjadi lebih singkat agar mudah dihapal: Nyoto.
“Sejak remaja Nyoto sudah menjadi aktivis PKI. Usai pemberontakan PKI di Madiun pada 1948, Nyoto bersama DN Aidit, dan MH Lukman, berhasil membangun dan membesarkan PKI,” ungkap Ginting yang lama menjadi wartawan politik di sejumlah media massa.
Menurut dia, Sukarno menyukai tipikal Nyoto, komunis yang ‘liberalis’, tidak dogmatis, dan pragmatis. Bahkan Nyoto pandai memainkan alat musik saksofon dan gemar berpesta lenso, seperti Sukarno. Sebagai Menteri Negara dan Wakil Ketua CC PKI, Nyoto juga kerap menyanyi di Istana untuk menghibur tamu-tamu paduka yang mulia, bersama penyanyi top Ibu kota, seperti Titiek Puspa maupun Rima Melati.
‘Marhaenis sejati’ & ‘Sukarnoisme’
Bung Karno, lanjut Ginting, pernah menjuluki Nyoto ‘Marhaenis sejati’, sebuah ideologi kerakyatan yang dicetuskan Sukarno untuk PNI. Nyoto tak mau kalah, sambung dia, ia adalah orang pertama yang mengeluarkan istilah ‘Sukarnoisme’. Sehingga, keduanya saling mengagumi.
“Bagi Nyoto, Marxisme terlalu asing bagi petani dan borjuis kecil, garapan PKI. Sedangkan Sukarnoisme itu lebih jelas, dan orangnya juga masih hidup,” ucap Ginting.
Sikap Nyoto ini, kata Ginting, membuat para pemimpin PKI kehilangan respek. Konflik antara Aidit dan Nyoto akhirnya tak terhindarkan. Aidit pun memberikan skorsing terhadap Nyoto, dengan membuat alasan pribadi. Nyoto dituding terlibat hubungan gelap dengan seorang perempuan Uni Soviet.
“Aidit minta Nyoto memutuskan hubungan tersebut. Aidit sangat antipoligami. Padahal Sukarno melakukan poligami dengan memiliki sejumlah istrinya(9 istri resmi),” kata Ginting.
Dia menyebut, buntut dari konflik antara Aidit dan Nyoto, membuat Sukarno harus turun tangan. Bung Karno menyarankan Nyoto membuat partai baru dengan ideologi Sukarnoisme. Usulan nama partainya adalah Partai Rakyat Indonesia.
“Bung Karno menganggap Sukarnoisme adalah penyempurnaan Marhaenisme. Tapi ide itu tak pernah kesampaian, karena situasi politik begitu cepat berubah usai pecahnya peristiwa G30S/PKI tahun 1965,” tutup Ginting.
Akhir petualangan sang militan
Dalam buku Yang Saya Alami Peristiwa G30S yang ditulis Soebandrio (2006), setelah terjadi peristiwa G30S 1965 dan sebelum PKI resmi dibubarkan, Njoto bersama dua pimpinan PKI lainnya, yakni Dipa Nusantara Aidit (Ketua CC PKI sekaligus Menko/Wakil Ketua MPRS) dan Mohammad H. Lukman (Wakil Ketua PKI sekaligus Menteri/Wakil Ketua DPR GR) ditangkap hidup-hidup dan kemudian mereka dibunuh tanpa proses pengadilan, atau dalam bahasa Soebandrio, mereka “dieliminasi dengan cara tersendiri” (hlm. 124).
Republika.co.id
Baca Juga : Aidit, Mao Zedong dan Pidato di Sumur Tua
Baca juga : 5 Oktober 1965: Peringatan HUT ABRI Berselimut Duka karena Pengkhianatan G30S/PKI