Teori Militer dan catatan Brigadir Jenderal TNI Mustafa Sjarief Soepardjo tentang kegagalan operasi malam terkutuk
ZONA PERANG(zonaperang.com) Operasi malam tragis tidak hanya penuh dengan tanda tanya, tapi juga berbagai cerita menyelimuti kronologinya. Tentu membuat banyak yang bertanya kegagalan operasi yang dianggap telah disusun rapih dan terstruktur ini.
Bahkan, tanpa kita sadari terdapat sosok yang sebenarnya memiliki pangkat, pengalaman dan kedudukan tinggi, tapi justru dalam gerakan tersebut hanya menjadi seorang wakil ketua dari struktur komando G30S/PKI. Sosok tersebut adalah Brigadir Jenderal Mustafa Sjarif Soepardjo atau Brigjen Soepardjo (ejaan lama).
Baca juga : Film Pengkhianatan G30S/PKI : Waktu terkelam bagi bangsa Indonesia
Baca juga : Lukman Njoto, Wakil ketua PKI : Dalang dibalik hasutan dan Propaganda kontroversial Partai Komunis Indonesia
Memiliki bakat militer alami serta ahli dalam hal strategi pertempuran
“Ideologi sampah yang ditanamkan oleh DN Aidit kepada Suparjo, membuat naluri dan skill militernya menjadi tumpul.”
Bahkan jauh sebelum pelaksanaan operasi tersebut dia sudah punya firasat G30S/PKI akan gagal. Meski demikian, Brigjen Soepardjo tetap ikut serta dengan segala risikonya.
Secara resmi, Soepardjo adalah Panglima Komando Tempur II dalam Komando Mandala Siaga “Ganyang Malaysia” (Kolaga). Dalam kurun tahun 1965, aktivitas sang komandan berada di perbatasan Kalimantan Barat-Malaysia.
Dipanggil oleh DN Aidit
Hanya 3 hari menjelang meletusnya G30S/PKI, Suparjo dipanggil oleh Dipa Nusantara Aidit guna melakukan koordinasi persiapan gerakan untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno. Sebuah gerakan yg menurut kalangan Komunis sebagai aksi Revolusi dan puncak dari cita-cita PKI(Partai Komunis Indonesia).
Menurut catatan John Roosa dalam buku Dalih Pembunuhan Massal (2008), Soepardjo secara mendadak kembali ke Jakarta. Dirinya mendapat pesan “resmi” radiogram dari istrinya bahwa anak bungsunya sakit keras dan kritis.
Setelah di Jakarta, Soepardjo melaporkan diri Marsekal Omar Dhani (Kepala Staf AURI ke-2) selaku komandannya. Menurut John Roosa, Soepardjo melapor bahwa dia akan kembali ke Kalimantan sebelum 1 Oktober 1965. Tetapi, Omar Dhani minta Soepardjo bertahan di Jakarta hingga 3 Oktober 1965.
Selain bertemu Omar Dani, Soepardjo langsung menuju rumah Sjam Kamaruzaman(kepala Biro Khusus PKI) hanya beberapa jam setelah mendarat. Sjam dianggap sebagai orang lingkaran dalam PKI dan intel tentara.
Baca juga : Profil 10 Pahlawan Revolusi yang gugur akibat G30S/PKI di Lubang Buaya Jakarta dan Yogyakarta
Baca juga : Mengapa Chiang Kai-shek yang nasionalis kehilangan Cina? dan kemenangan berada di partai komunis?
Wakil seorang letkol
Fakta menariknya adalah ternyata Soepardjo jadi satu-satunya jenderal dari Angkatan Darat yang duduk dalam pimpinan Gerakan 30 September 1965 itu. Meskipun pangkatnya adalah jenderal, tidak serta merta dirinya yang menjadi pemimpin G30S/PKI.
Ternyata seorang Letnan Kolonel Untung Syamsuri, Komandan Batalyon I Tjakrabirawa (penerima Bintang Sakti atas aksinya di Irian Barat) yang hanya dipandang sebagai jago tempur yang secara ilmu kemiliteran di bawahnya didaulat sebagai pimpinan operasi tersebut.
Operasi penyelamatan terhadap Presiden Soekarno
Syam menjelaskan skenario G30S/PKI yang dibuat seolah-olah sebagai operasi penyelamatan terhadap Presiden Soekarno yang dilakukan oleh Cakrabirawa. Dengan tema gerakan seperti itu, dibutuhkan figur pimpinan operasi yang berasal dari Cakrabirawa sehingga membuat letkol tersebut berada di pucuk pempinan.
Suparjo mendapat pengarahan dari Syam bahwa tugasnya sebagai Brigjen hanya untuk dijadikan boneka. Usai penculikan para Jendral, Suparjo harus menghadap Sukarno/Koesno Sosrodihardjo untuk melaporkan jalannya G30S.
Harapannya, Soekarno akan menunjuk Suparjo sebagai Menpangad menggantikan Jenderal Ahmad Yani. Setelah menjabat sebagai Menpangad/KASAD, maka Suparjo bisa mengendalikan jajaran TNI AD untuk tunduk kepada Dewan Revolusi yang dibentuk oleh G30S/PKI.
Baca juga : G30S/PKI, Bung Karno dan ajudan kepercayaanya
Baca juga : 7 November 1917, Pemberontakan kaum Bolshevik di Rusia : Revolusi komunis yang melahirkan negara Uni Soviet
Menyingkirkan logika ilmu kemiliteran
Untuk urusan teknis operasi militer murni dirancang oleh Aidit dan Syam, sesuai prinsip Marxisme yang mewajibkan kontrol sipil atas militer. Jiwa Komunis Suparjo membuatnya menerima konsep Aidit selaku ketum PKI, sekaligus menyingkirkan logika ilmu kemiliteran yg dimilikinya.
Ditambah lagi keterangan yg disampaikan oleh Untung dan Kol Latief tentang kesiapan pasukan dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan AURI. Membuat Suparjo cukup percaya diri untuk meneruskan operasi kudeta militer G30S/PKI.
Beda data dan kenyataan
Suparjo bersama Syam dan Untung melakukan inspeksi pasukan di Lubang Buaya sebelum gerakan. Dia sempat terkejut saat melihat kenyataan jumlah pasukan dan logistik tidak sebanyak data yang diterima. Naluri Suparjo mulai menyadari adanya unsur yang tidak lengkap dalam rencana operasi G30S. Dia mulai menghitung jumlah pasukan yang terlibat kudeta dan jumlah pasukan yang kemungkinan akan menjadi lawan. Disitu muncul kejanggalan yang bisa menyebabkan kegagalan operasi G30S.
Info awal yg diterima Suparjo bahwa pasukan G30S berkekuatan lengkap, yaitu : 1 batalyon pengawal presiden Cakrabirawa, 1 batalyon dari Brigif I Kodam Jaya, 1 batalyon Pasukan Gerak Tjepat (PGT) dan Pasukan Pertahanan Pangkalan (PPP) dari AURI. Lalu ditambah Batalyon 530/Para Brigade III Brawijaya dan Batalyon 454//Banteng Raiders Diponegoro.
Lalu ada 2.000 sukarelawan yang berasal dari ormas underbouw PKI yg dilatih di Lubang Buaya. Dengan asumsi 1 batalyon umumnya berkekuatan 500-700 orang. Kekuatan itu nantinya akan didukung oleh aksi massa PKI yang secara spontan akan bergerak ketika pengumuman G30S tersiar dari RRI(Radio Republik Indonesia)
Namun faktanya pasukan G30S yang tersedia jumlahnya jauh lebih sedikit, bahkan untuk melakukan penculikan harus diambil 1 peleton(30-50 orang) pasukan sukarelawan dengan skill minim. Hal ini diperburuk oleh logistik hanya tersedia di dapur umum Lubang Buaya, sementara ploting pasukan inti berada di dekat istana Negara.
Hanya sekitar satu kompi Cakrabirawa berkekuatan 60 orang yang ikut. Dari Brigif I juga hanya 60 personel. Dari PPP ada 700 pasukan, sementara PGT tak ada. Yang cukup banyak adalah Batalyon 530 dan 454. Dua pasukan elite ini berkekuatan masing-masing 500 orang.
Baca juga : Tiga Pesan Soeharto kepada Presiden Soekarno Pasca Pemberontakan G30S/PKI
Baca juga : 18 September 1948, Madiun Affair (Pemberontakan PKI 1948)
Kekhawatiran yang menjadi kenyataan
Yang dikhawatirkan Suparjo akhirnya terbukti, pasukan penculik tidak berhasil menangkap seluruh target, Jend Abdul Haris Nasution selaku menteri pertahanan dan keamanan yang merupakan target utama justru berhasil lolos. Posisi Soekarno yang seharusnya berada di Istana ternyata berada di tempat lain. Plotting pasukan di sekitar istana jadi sia-sia.
Melihat situasi itu, Syam dan Aidit selaku pimpinan tidak bisa mengambil langkah. Untung dan Suparjo dibuat tidak berkutik, karena sejak awal tidak ada rencana cadangan untuk menghadapi perubahan situasi diluar skenario G30S. Mereka memaksakan diri untuk meneruskan skenario awal tanpa masukan pihak yang terbiasa dalam operasi militer.
Suparjo menghadap Presiden Soekarno yang belakangan diketahui berada di Lanud Halim Perdana Kusuma, setelah malamnya bermalam di Wisma Yaso tempat Ratna Sari Dewi. Diluar dugaan, Soekarno tak mengangkat Suparjo sebagai Menpangad/KASAD menggantikan Ahmad Yani.
Soekarno juga tidak merestui G30S seraya meminta agar seluruh pihak berhenti di posnya masing-masing. Sementara itu Mayjen Soeharto bersama Brigjen Umar Wirahadikusumah sedang mengkonsolidasikan pasukan untuk melakukan serangan balik terhadap G30S/PKI.
Pasukan yang kelaparan
Kondisi G30S/PKI menjadi semakin mengenaskan, karena logistik makanan tidak mencukupi untuk mendukung seluruh pasukan yang ada. Logistik di dapur umum Lubang Buaya dikooptasi seluruhnya oleh pasukan Sukarelawan/ti disana. Pasukan Bima Sakti yang berada di dekat istana tidak mendapat perhatian.
Pasukan Bima Sakti yg terdiri dari Yon 454 dan Yon 530 yang kelaparan juga mendapat ancaman dari Pangkostrad Mayjen Soeharto yang akan menghancurkan pasukan Bima Sakti jika tidak kembali ke Kostrad.
Akhirnya Yon 530 memutuskan kembali ke Kostrad, sementara Yon 454 memilih mundur ke Lanud Halim PK, sebab Yon 454 mendapat informasi bahwa logistik didrop di Halim. Diluar dugaan, ternyata dukungan makanan di Halim sudah dihabiskan oleh pasukan Pasopati (Regu Penculikan).
Kecewa dengan pasukan Pasopati, maka Wadanyon 454 mengarahkan pasukannya ke Lubang Buaya, berharap masih ada sisa perbekalan. Namun sekali lagi Yon 454 harus menelan kekecewaan, pasalnya dapur umum sudah tutup.
Wilayah silang monas sudah steril dari pasukan G30S, hanya tersisa beberapa pasukan sukarelawan yang ditinggalkan akhirnya ditangkap oleh RPKAD(Resimen Para Komando Angkatan Darat) dalam tugas merebut kembali RRI dan Kantor Pusat Telkom.
Baca juga : Pengkhianatan PKI (Partai Komunis Indonesia) : Sejarah yang tidak boleh dilupakan oleh kita semua
Baca juga : Percakapan 3 Jenderal Penumpas PKI di Kostrad dalam rangka penyerbuan Halim
Kesempatan yang hilang
Ditengah rasa kantuk, para pemimpin G30S/PKI mulai gusar dan menyadari bahwa gerakannya mulai gagal secara militer. Semua momen kesempatan untuk merubah situasi sudah terlewat, padahal saat Suparjo ke Halim, dia bertemu dengan KSAU Umar Dhani yang menawarkan integrasi pasukan G30S dengan AURI.
Bahkan siang itu KSAU sudah memerintahkan jajaran skuadron pesawat tempur untuk melengkapi armadanya dengan roket dan bom untuk menggempur kekuatan pasukan Soeharto. Dan saat itu juga ada kesempatan bagi Yon 454 menyerbu Makostrad untuk melumpuhkan potensi ancaman.
Tapi semua itu tidak dilakukan, karena buruknya garis Komando G30S/PKI yg dipimpin oleh Achmad Aidit . Dan dalam situasi genting, tak ada perintah apapun dari Aidit. Sehingga Komandan operasi lapangan hanya menyiarkan pengumuman-pengumuman melalui corong RRI.
Meski demikian pada Dewan Revolusi yang diumumkan pada 1 Oktober 1965, Soepardjo menjadi perwira yang banyak mengamati bagaimana pergerakan pasukan penculik.
Akhirnya Pasukan RPKAD merebut pangkalan Halim dan hanya tersisa pasukan Yon 454 yang masih menunggu kiriman makanan via air drop. Namun hal itu tidak kunjung datang, belakangan posisinya telah terkepung oleh pasukan RPKAD. Baku tembak pun tidak terhindarkan.
Melihat kontak senjata tersebut, mayor udara komandan pangkalan Halim meminta kedua belah pihak menghentikan tembak menembak. Sehingga akhirnya terjadi gencatan senjata sambil menunggu Komando dari atasan masing-masing.
Mendengar tembak menembak di dekat markas komando G30S/PKI, Suparjo CS malah membubarkan diri, kabur menyelamatkan diri masing-masing. Menyisakan pasukan Yon 454 yg masih berharap ada komando dari Suparjo atau Untung.
Aidit kabur ke Jateng dengan dibantu Syam, Kol Sarwo Edhie menemui Presiden dan meminta nota perintah agar Yon 454 mau berhenti melakukan perlawanan di Halim dan menyerah kepada RPKAD.
Baca juga : (Buku Karya Julius Pour) Soekarno Memarahi Brigjen Soepardjo Ketika PKI Kalah pada Tahun 1965
Baca juga : Pembantaian Etnis Melayu 1946: Kekejaman PKI (Partai Komunis Indonesia) di Sumatera Timur
Pelarian
Usai G30S/PKI berhasil ditumpas di Jakarta, kehidupan Suparjo jadi nomaden. Pindah-pindah tempat menginap, menyamar jadi pedagang asongan hingga jadi tukang servis radio keliling. Berbekal KTP palsu, pakaian lusuh, sandal jepit hingga topi anyaman untuk menyempurnakan penyamaran.
Berulang kali tempat persembunyian Suparjo digrebek tentara, namun Suparjo bisa meloloskan diri elama 2 tahun. Pelariannya berakhir ketika Tim Kalong ABRI berhasil mengidentifikasi tempat pelarian terakhir Suparjo yang berada di Kompleks Halim, rumah dinas seorang kopral AURI bernama Soetarjo.
Suparjo ditangkap ketika bersembunyi di loteng rumah, Tim Kalong menggrebek rumah tersebut dan menjumpai 2 gelas kopi yg masih panjang dan jejak kaki di dinding toilet. Tim Kalong mengancam agar orang di loteng menyerah atau akan ditembak. Suparjo pun menyerah, turun dari plafon.
Bertepatan dengan hari raya idul fitri, Suparjo ditangkap tim Kalong dan dibawa ke Mahmilub/Mahkamah Militer Luar Biasa. Dalam pemeriksaan, Suparjo sangat kooperatif, menyebutkan nama-nama tokoh PKI yang menjadi pimpinannya. Juga keanggotaannya di PKI hingga latar belakang G30S/PKI diungkapkan oleh Suparjo. Karena pangkatnya yg tinggi serta kooperatif, maka petugas jaga RTM(Rumah Tahanan Militer) memberinya sedikit kelonggaran.
Baca juga : Aidit, Mao Zedong dan Pidato di Sumur Tua
Catatan Suparjo dan doktrin yang mengerikan
Dalam pelariannya, Suparjo juga sempat menulis catatan evaluasi kegagalan G30S/PKI. Di catatan tersebut terlihat jelas pribadinya sebagai seorang Komunis tulen dengan pemahaman Marxisme sangat tinggi, tulisannya mengutip strategi Revolusi komunis.
-Mungkin letaknya pada kelemahan pandangan ideologi, kelemahan dalam pandangan kelas. Ajaran Marxisme-Leninisme bahwa “Kalau tidak mereka yang kita basmi, maka merekalah yang akan membasmi kita.” Belum meresap, dan belum menjadi keyakinan kawan-kawan di ABRI pada umumnya Tulis Suparjo.-
Sebuah doktrin yang mengerikan, dimana kaum Komunis seharusnya membasmi lawan politiknya dengan alasan bahwa jika tidak dilakukan pembasmian maka Komunis yang akan dibasmi. Doktrin inilah yang menyebabkan terjadinya pembantaian oleh PKI di setiap aksinya.
Pada tulisan itu Soepardjo juga dapat melihat sejumlah kekurangan dalam gerakan itu. Mulai dari terlihat lelahnya tokoh-tokoh penting gerakan seperti Untung.
“Kawan Untung tiga hari berturut-turut mengikuti rapat-rapat Sukarno di Senayan dalam tugas pengamanan,” tulis Soepardjo dalam dokumen yang dijuduli Beberapa Pendapat Jang Mempengaruhi Gagalnya G30S/PKI Dipandang Dari Sudut Militernya (1966).
Tiada pembagian kerja
Selain itu, beberapa pasukan mengaku siap bergerak tapi nyatanya tidak serta ketika Hari-H pelaksanaan aksi, Soepardjo menemukan masalah yang tidak diatasi oleh pemimpin gerakan dan jajarannya.
“Semua kemacetan gerakan pasukan disebabkan di antaranya tidak makan. Mereka tidak makan semenjak pagi, siang dan malam,” tulis Soepardjo. Sudah pasti hal itu penyebabnya, menurut Soepardjo, tiada pembagian kerja.
G30S/PKI ini jadi pengalaman militer terburuk dalam hidupnya. Menurut John Roosa, Soepardjo menuliskan juga pernyataan seperti ini:
“Dokumen itu dimaksudkan untuk dibaca orang-orang yang mempunyai hubungan dengan G30S/PKI agar mereka dapat belajar dari kesalahan yang mereka lakukan,” tulis Soepardjo.
Harapan itu mustahil terealisasi. Pertama, karena Letnan Kolonel Untung sudah dieksekusi. Kedua, tokoh-tokoh gerakan lain banyak yang sudah ditahan di tempat berbeda-beda.
Loyalitas yang membuat bodoh
“Sebagai Komunis sejati yg menghamba pada PKI, Suparjo mengekor penuh pada Aidit hingga menjadi musuh negara.”
Dalam acara makan malam bersama sebelum eksekusi, dia sempat menyampaikan sesuatu:
”Kalau saya malam nanti menemui ajal saya, ajal Saudara-Saudara tak diketahui kapan. Itu perbedaan saya dengan kalian,” kata Soepardjo, perkataan sombong dan bodoh khas komunis.
Baca juga : 12 Januari 1966, TRITURA(Tri Tuntutan Rakyat) : Tuntutan Mahasiswa kepada Pemerintah(Hari ini dalam Sejarah)
Baca juga : Operasi Trisula, saat rakyat dan TNI menumpas kekuatan PKI di Blitar Selatan