Amir Syarifudin dikenal sejarah sebagai tokoh komunis yang terlibat langsung dalam pemberontakan PKI di Madiun pada 1948
ZONA PERANG(zonaperang.com) Amir Sjarifuddin Harahap adalah seorang politikus dan jurnalis Indonesia yang menjabat sebagai perdana menteri kedua Indonesia dari tahun 1947 hingga 1948. Seorang pemimpin utama sayap kiri selama Revolusi Nasional Indonesia, ia sebelumnya menjabat sebagai Menteri Penerangan dari tahun 1945 hingga 1946 dan Menteri Pertahanan ( ia diangkat menjadi Menteri Pertahanan setelah Supriyadi berhalangan tetap) dari tahun 1945 hingga 1948.
Amir dilahirkan dalam keluarga bangsawan Sumatera yang seorang jaksa, dan mengenyam pendidikan di Universitas Leiden Belanda. Setelah lulus, ia aktif di dunia sastra dan jurnalistik, terlibat dalam politik sayap kiri, dan memimpin sekelompok Marxis muda dalam pendirian Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).
Pada tahun 1933, karena aktivitas politik kiri dan tulisannya, Amir dipenjara oleh pemerintah kolonial Belanda, dan hampir diasingkan ke kamp konsentrasi Boven-Digoel Papua, jika saja bukan karena upaya sepupu (Todung Sutan Gunung Mulia, pendiri Partai Kristen Indonesia) dan gurunya yang menyelamatkannya.
Baca juga : (Kekejaman PKI) Desa Cigrok, Madiun 1948 : Mengubur hidup-hidup Kiai dan guru Agama
Amir dan keputusanya
Semasa menjabat Perdana Menteri, Amir disibukkan dengan pelbagai polemik. Satu di antaranya terkait dengan ambisi Belanda yang masih ingin kembali menguasai Indonesia. Peristiwa penting ketika itu adalah Perjanjian Renville (APA-227 USS Renville yang berlabuh di Jakarta) pada 17 Januari 1948 yang menjadi latar belakang kejatuhan Amir.
Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda akibat sengketa kedaulatan Indonesia. Perjanjian dianggap merugikan bangsa Indonesia karena berdampak pada penarikan pasukan tentara di sejumlah wilayah yang tak mau dilepas Belanda sebelum terbentuk Republik Indonesia Serikat.
Belanda menguasai wilayah-wilayah penghasil pangan dan sumber daya alam. Wilayah Indonesia terkungkung wilayah sengketa yang dikuasai Belanda, sekaligus mencegah masuknya pangan, sandang, dan senjata ke wilayah Indonesia. Indonesia mengalami blokade ekonomi yang diterapkan Belanda.
Kesepakatan dalam perjanjian tersebut dianggap merugikan kedudukan Indonesia. Banyak pihak termasuk partai-partai pendukung seperti Masyumi dan PNI mengutuk keras Amir selaku ketua delegasi. Sukarno pun meminta Amir meletakkan jabatan.
Mati sebagai Komunis
Amir sejak itu memilih jadi oposisi di masa Kabinet Hatta. Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang berdiri dengan Amir menjadi salah satu menentang keras kabinet Hatta.
Mereka menuntut agar kesepakatan Renville dibatalkan hingga menghentikan perbagai perundingan dengan pemerintah Belanda, sesuatu yang sangat bertolak belakang dengan yang diputuskannya selama masih menjabat.
FDR merupakan gabungan dari Partai Sosialis, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Partai Buruh, PKI, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), dan Barisan Tani Indonesia (BTI). Hampir seluruhnya adalah organ berpaham kiri.
Aksi FDR semakin berkembang seiring kembalinya tokoh PKI, Musso / Muso Manowar, dari Moskow, Uni Soviet, pada Agustus 1948. Satu bulan berikutnya, Musso membentuk politbiro PKI di mana Amir ditempatkan pada bagian pertahanan.
Baca juga : (Kekejaman PKI) Membunuh Gubernur Jawa Timur dan merebut paksa pemerintahan daerah
Melancarkan pemberontakan
FDR diubah menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia). Lalu melancarkan pemberontakan dan berhasil menguasai sejumlah wilayah seperti Madiun, Kediri, Purwodadi, Ponorogo, Blitar, dan Nganjuk. Di Madiun, mereka memproklamasikan ‘Soviet Republik Indonesia’ pada 18 September 1948.
Sebagai perdana menteri, Mohammad Hatta begitu sensitif terhadap tanda bahaya yang bisa memberi celah bagi Belanda menusuk Republik. Begitu mendengar kabar dari Madiun, Hatta berujar, “Het is nu een zaak van leven of dood. Er op of er onder (Sekarang adalah soal hidup atau mati. Menang atau kalah),” kutip T.B. Simatupang dalam Laporan dari Banaran. Sidang kabinet memutuskan: pengacau Madiun harus ditindak.
Pemerintah Indonesia lewat Kolonel Abdul Haris Nasution sebagai Wakil Panglima TKR (Panglima Sudirman sedang sakit keras) menggelar operasi militer dengan sasaran utama yakni Madiun, Purwodadi, dan Pacitan. Operasi militer membuat posisi PKI di Madiun semakin terdesak. Kondisi semakin sulit ketika Musso ditembak mati pada Oktober 1948.
Ketika para pemberontak mundur, mereka membunuh para pemimpin dan pejabat Masyumi dan PNI, dan di desa-desa pembunuhan terjadi di sepanjang garis santri-abangan. Pemimpin PKI lainnya seperti DN Aidit pergi ke pengasingan di Cina.
Kelompok Amir hanya dapat bertahan sampai 29 November 1948. Mereka sempat mengembara mengitari Gunung Wilis dan Gunung Lawu. Persembunyian Amir dan beberapa orang lainnya di Desa Klambu, Grobogan, terendus dan pada akhirnya mereka menyerah kepada Pasukan Kala Hitam yang dipimpin Mayor Kemal Idris dari divisi Siliwangi.
“Senjata yang mereka miliki dapat dikategorikan masih baru, sehingga dapat digunakan untuk melengkapi persenjataan pasukan Kala Hitam yang sedang mengadakan operasi pembersihan,” ujar Kemal.
Penakut
Amir sudah susah payah, kurus, dan pincang. Ia menderita disentri.
Menurut keterangan tentara yang menangkap Amir, “Ia (Amir) menderita penyakit itu (disentri), ialah karena takutnya, hingga ia dalam menahan ketakutan melarikan diri sampai ‘buang-buang air,” dikutip koresponden khusus Sin Po, 5 Februari 1949
Harry Poeze, dalam bukunya berjudul Madiun 1945, menggambarkan mantan perdana menteri itu hanya memakai piyama, sarung, dan tak bersepatu saat tertangkap. Pipa cangklong yang biasa tak terpisahkan darinya, absen.
Dia dibawa ke Kudus untuk kemudian berlanjut ke Yogyakarta dengan kereta khusus. Amir sempat diberikan buku Romeo and Juliet karya William Shakespeare oleh Kolonel Soeharto yang bertugas sebagai negosiator dan menjaganya.
“Ketika digiring di antara kerumunan massa, rakyat di sepanjang jalan mencacimaki bahkan hampir jadi korban main hakim sendiri.”
Baca juga : Peran Suharto dan Sultan HB IX dalam Serangan Umum 1 Maret 1949
Baca juga : Aidit, Mao Zedong dan Pidato di Sumur Tua
Gatot Subroto
Sesampainya di Yogyakarta, Amir, Soeripno, dan Hardjono ditahan di penjara Benteng lalu dibawa ke Solo.
Tiba di Solo, Amir dan kawan-kawan dihadapkan kepada Kolonel Gatot Subroto. Gatot Subroto masih sempat menjamu dengan kopi sembari melayangkan kata-kata peringatan. “Gatot Subroto telah memutuskan bahwa sebelas orang tersebut lebih baik dihabiskan saja,” tulis Poeze.
Lantas pada tengah malam pada 19 Desember 1948 tepatnya di Desa Ngalihan, Karanganyar, Solo, 20 orang penduduk Desa Karangmojo menggali lubang 1,7 meter atas perintah tentara.
Lubang itu disiapkan untuk Amir, Maruto Darusman, Suripno, Oey Gee Hwat, Sardjono, Harjono, Sukarno, Djokosujono, Katamhadi, Ronomarsono, dan D. Mangku.
Bernyanyi dan Mati
Buku Madiun 1948 PKI Bergerak gubahan Harry A. Poeze menuturkan kejadian singkat menjelang Amir dkk dieksekusi.
“beri kami waktu untuk bernyanyi sebentar”.
Letnan memenuhi permintaan tersebut. Sebelum bernyanyi, mereka menulis surat atas usul yang dilontarkan kali pertama oleh Suripno.
Kemudian, Amir dkk mengumandangkan lagu Indonesia Raya dan Internasionale, lagu kaum buruh sedunia. Setelah selesai bernyanyi, Amir berseru: Bersatulah kaum buruh seluruh dunia! Aku mati untukmu!
Kemudian, mereka ditembak satu per satu. Dimulai dari Amir.
Baca juga : AS Tekan Belanda Agar Akui Kemerdekaan dan Kedaulatan RI
Baca juga : Pengkhianatan PKI (Partai Komunis Indonesia) : Sejarah yang tidak boleh dilupakan oleh kita semua