Pada akhir November 1966, Brigjen Suparjo menyelundupkan sepucuk surat ke dalam penjara tempat Laksamana Omar Dhani ditahan, seminggu sebelum Omar Dhani diadili
Pada akhir November 1966, Brigadir Jenderal Mustafa Sjarief Soepardjo atau Soepardjo menyelundupkan sepucuk surat ke dalam penjara tempat Laksamana Udara Omar Dhani mantan co-pilot DC-3 Dakota ditahan, seminggu sebelum Omar Dhani diadili pada tanggal 5 Desember 1966.
Ketika Gerakan 30 September pecah, Brigjen Suparjo menjabat sebagai Komandan Divisi Kalimantan Barat/Pangkopur-II dalam operasi Dwikora (konfrontasi melawan Malaysia berkedudukan di Bengkayang, Kalimantan Barat), Sementara Laksamana Omar Dhani menjabat sebagai Menteri Panglima Angkatan Udara.
Penyelundupan surat rahasia digagalkan
Surat tersebut berisi analisa militer tentang faktor-faktor yang menjadi penyebab gagalnya operasi Militer G30S PKI pada dini hari, tanggal 1 Oktober 1965 tersebut. Namun upaya penyelundupan surat rahasia tersebut digagalkan oleh petugas penjara.
Surat rahasia Suparjo yang diberi judul “Beberapa Pendapat yang Mempengaruhi Gagalnya G-30-S Dipandang dari Sudut Militer” diperoleh dari Letkol D. Soegondo selama wawancara di kantor TEPERPU, Jakarta, 29 April 1971, oleh peneliti asal Amerika Serikat kelahiran Ceko, Victor M. Fic dalam bukunya “Kudeta 1 Oktober 1965, Sebuah Studi Tentang Konspirasi”.
“Kawan Pimpinan, Kami berada di Gerakan 30 September selama satu hari sebelum peristiwa, pada waktu peristiwa berlangsung dan satu hari setelah peristiwa berlangsung,” tulis Suparjo yang merupakan perwira dengan pangkat tertinggi dalam gerakan itu memulai suratnya.
Baca juga : Pertempuran Johnson South Reef : Invasi dan penguasaan kepulauan Spratly oleh Komunis Cina
Baca juga : Semaun, Ketua pertama PKI dan Pimpinan Badan Perancang Negara pilihan Stalin
Kurang tidur dan tidak sesuai kenyataan
Operasi G30S PKI dimulai oleh para “Perwira Berpikiran Maju” tersebut dalam kondisi yang sangat letih. Bahkan Letkol Untung disebut Suparjo kurang tidur selama tiga hari saat operasi itu dimulai. “Kami jumpai kawan-kawan kelompok pimpinan militer pada malam sebelum aksi dimulai, dalam keadaan sangat letih disebabkan kurang tidur.
Misalnya kawan Untung harus 3 hari berturut-turut mengikuti rapat-rapat Soekarno di Senayan dalam tugas pengamanan.” ungkap Suparjo. Fakta lainnya sebelum operasi penting itu dimulai, banyak lini pasukan yang ternyata belum siap. Tapi justru dilaporkan oleh bawahan bahwa “sudah beres” agar tidak dicecar oleh pimpinan operasi, misalnya laporan tentang kesiapan personil militer di Bandung untuk mendukung operasi G30S PKI.
Tidak ada rincian
Persiapan jelang operasi menurut Suparjo dalam surat tersebut terbilang tidak jelas mengenai bagaimana rencana aksi akan dijalankan. Bahkan akibatnya salah seorang dari perwira Angkatan Darat yang sedianya masuk dalam jajaran pimpinan operasi, pada jam-jam terakhir mengundurkan diri.
“Waktu diteliti kembali ternjata kekuatan yang positif di pihak kita hanya satu kompi dari resimen Tjakrabirawa / Cakrabirawa. Pada waktu itu telah timbul keragu-raguan, tetapi ditutup dengan semboyan: apa boleh buat, kita tidak bisa mundur lagi.” tulis Suparjo.
Baca juga : Henk Sneevliet, Tokoh Pembawa “Dosa” Komunisme ke Indonesia
Baca juga : Alimin : Ketua, Tokoh berpengaruh dan Penggerak pemberontakan PKI 1926
Gugup untuk melakukan tindakan selanjutnya
Suparjo menjelaskan, berita pertama yang mereka terima bahwa Jendral Nasution telah disergap, tetapi berhasil meloloskan diri. Kemudian tim pimpinan kelihatan agak bingung dan tidak memberikan perintah-perintah selanjutnya.
“Ketika masuk berita bahwa Abdoel Haris Nasution sebagai menteri pertahanan dan keamanan tidak kena dan melarikan diri, kelompok pimpinan menjadi terperanjat, kehilangan akal dan tidak berbuat apa-apa. Meskipun ada advis untuk segera melakukan offensif lagi, hanya dijawab: Ya, tetapi tidak ada pelaksanannya.” jelas Suparjo.
Tak lama setelah itu menyusul berita bahwa Jendral Nasution bergabung dengan Mayor Jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) dan Jendral Umar Wirahadikusumah sebagai Panglima Kodam V/Djayakarta di Kostrad. Setelah menerima berita ini pun, pimpinan operasi tidak menarik kesimpulan apa-apa.
Tidak ada makanan dan bersembunyi
“Masuk berita lagi bahwa pasukan sendiri dari Batalyon Jateng dan Jatim tidak mendapat makanan, kemudian menyusul berita bahwa Batalyon Jatim minta makan ke KOSTRAD. Pendjagaan RRI (Radio Republik Indinesia) ditinggalkan tanpa adanya instruksi” beber Suparjo.
Padahal menurut rencaana, kota Jakarta dibagi dalam tiga sektor: Selatan, Tengah dan Sektor Utara. Tetapi waktu sektor-sektor itu dihubungi semua tidak ada ditempat dan bersembunyi. Pada malam kedua, 1 Oktober 1965, pukul 19.00. Jendral Nasution, Soeharto dan Umar membentuk suatu Komando, dan memperlihatkan tanda-tanda bertindak untuk esok harinya.
“Mendengar berita ini Laksamana Udara Omar Dhani mengusulkan kepada Kawan Untung, agar AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) dan pasukan “G-30-S” diintegrasikan untuk menghadapi tegen-aanval (Serangan balik) NATO cs (Nasution-Harto). Tetapi tidak didjawab secara kongkrit.
Baca juga : Tan Malaka, Guru yang Memilih Jalan Revolusi Komunis
Baca juga : Penggunaan identitas agama oleh PKI : Meletusnya Pemberontakan Kaoem Merah 1926
3 Komando
Dalam team pimpinan G-30-S ternyata tidak memiliki offensief-geest lagi.” ungkap Suparjo. Ia berpendapat, bahwa sebab dari semua kesalahan ini karena staf pimpinan dibagi 3, yaitu, Kelompok Ketua D.N. Aidit / Achmad Aidit, Kelompok Sjam Kamaruzaman CS, dan Kelompok Untung CS.
Menurut Suparjo, seharusnya operasi berada di satu tangan. “Karena yang menonjol pada ketika itu adalah gerakan militer, maka sebaiknya komando pertempuran diserahkan saja kepada kawan Untung dan kawan Syam bertindak sebagai komisaris politik. Atau sebaliknya, kawan Syam memegang komando tunggal sepenuhnya.” jelasnya.
Terlalu banyak diskusi dan dangkal
Sistem komando dibagi bersaf-saf, ternyata pula terlalu banyak diskusi-diskusi yang memakan waktu sangat lama, sedangkan pada moment tersebut dibutuhkan pengambilan keputusan yang cepat, karena persoalan setiap menit berganti-ganti, susul-menyusul dan tiap-tiap taraf persoalan harus satu persatu secepat mungkin ditanggulangi.
Rencana operasi G30S PKI dalam analisa militer Suparjo ternyata tidak jelas, terlalu dangkal, karena titik berat operasi hanya pada pengambilan 7 jendral Angkatan Darat saja.
Tidak ada rencana yang jelas bagaimana bila operasi berhasil, atau bagaimana kalau gagal. Termasuk rencana bila kemudian terjadi serangan balik. “Tidak jelas dan apa rencananya bila ada tegenaanval (serangan balik), misalnya dari Bandung bahkan cukup dengan jawaban “sudah, jangan pikir-pikir mundur!”, menurut lazimnya dalam operasi-operasi militer, maka kita sudah memikirkan pengunduran waktu maju dan menang dan sudah memikirkan gerakan maju menyerang ketika dipukul mundur.
Hal yang demikian, ungkap Suparjo, persoalan mundur dalam peperangan bukanlah persoalan yang hina, tetapi adalah prosedur biasa pada setiap peperangan atau kampanye. “Mundur bukan berarti kalah, adalah suatu bentuk dalam peperangan juga dapat berubah menjadi penjerangan dari kemenangan, membubarkan pasukan adalah menjerah dan kalah.” ungkap Suparjo.
Baca juga : Amir Sjarifoeddin, Tokoh komunis peristiwa Pemberontakan Madiun 1948