- Di Bawah Bayang-bayang Australia: Papua Nugini dan Perjuangan Penduduk Asli
- Papua Nugini: Kekayaan yang Dikuasai Barat, Kemiskinan yang Ditanggung Penduduknya
- Papua Nugini, sebuah negara yang kaya akan sumber daya alam, telah menjadi sasaran eksploitasi oleh negara-negara Barat, terutama Australia. Meskipun kaya akan sumber daya, penduduk Papua Nugini tetap hidup dalam kemiskinan, sementara harga-harga di negara tersebut seperti di negara maju. Penduduk asli Papua Nugini juga mengalami diskriminasi dan terpinggirkan oleh pendatang, mirip dengan apa yang dialami oleh penduduk asli Amerika dan Palestina di bawah kontrol penjajah zionis Israel.
ZONA PERANG(zonaperang.com) Papua Nugini adalah sebuah negara yang terletak di Pasifik Selatan, kaya akan sumber daya alam namun menghadapi kesenjangan ekonomi dan sosial yang besar. Kekayaan alam yang melimpah, termasuk emas, tembaga, minyak, dan gas, tidak memberikan kesejahteraan bagi mayoritas penduduknya. Ironisnya, negara ini masih berada di bawah bayang-bayang pengaruh asing, khususnya Australia, yang mendominasi banyak aspek ekonomi dan politiknya.
“Papua Nugini adalah sebuah negara yang terletak di bagian timur Pulau Papua, yang merupakan pulau terbesar kedua di dunia. Negara ini memiliki sumber daya alam yang melimpah, termasuk emas, tembaga, dan minyak bumi. Namun, kekayaan alam ini tidak selalu membawa kesejahteraan bagi penduduk setempat.”
Penduduk asli Papua Nugini(PNG), meski menjadi pemilik sah tanah mereka, merasa tersisihkan oleh para pendatang dan investasi asing. Fenomena ini mengingatkan kita pada sejarah penindasan yang dialami oleh penduduk asli Amerika(Indian) di masa lampau, serta perlakuan penjajah Israel terhadap Palestina di masa kini.
Kekayaan Papua Nugini yang Dikendalikan Barat
Papua Nugini memiliki potensi kekayaan alam yang sangat besar. Negara ini kaya akan sumber daya mineral seperti emas, tembaga, dan perak, serta memiliki ladang gas alam dan minyak yang strategis. Selain itu, hutan hujan tropis Papua Nugini adalah salah satu yang terbesar di dunia, menyediakan kayu dan produk hasil hutan yang sangat bernilai.
Namun, meski semua kekayaan ini ada, masyarakat lokal tidak merasakan dampak positif dari kemakmuran tersebut. Sebaliknya, kekayaan tersebut cenderung dikendalikan oleh perusahaan multinasional, yang sebagian besar berasal dari negara-negara Barat.
Sebagai contoh, perusahaan pertambangan besar seperti Barrick Gold dari Kanada dan Oil Search dari Australia memiliki peran dominan dalam eksploitasi sumber daya alam di Papua Nugini. Sementara keuntungan dari sumber daya ini mengalir keluar negeri, penduduk asli tetap hidup dalam kemiskinan. Infrastruktur dasar seperti layanan kesehatan, pendidikan, dan akses air bersih sering kali minim di daerah-daerah pedesaan, tempat mayoritas penduduk tinggal.
Baca juga : Suku-suku Kanibal yang masih ada di zaman modern
Baca juga : The 1928 Red Line Agreement, The Secret of the Seven Sisters: Kartel minyak pencipta perang
Australia: Pengaruh di Balik Layar Papua Nugini
Meskipun Papua Nugini merdeka dari Australia pada tahun 1975, pengaruh Australia masih sangat kuat di negara ini. Australia tetap menjadi mitra dagang terbesar dan penyedia bantuan terbesar bagi Papua Nugini. Selain itu, Australia juga memainkan peran penting dalam sektor keamanan dan politik Papua Nugini, dengan sering kali ikut campur dalam urusan internal negara tersebut.
Beberapa analis berpendapat bahwa hubungan ini lebih mirip kontrol pasca-kolonial, di mana Australia terus mempengaruhi kebijakan Papua Nugini demi kepentingannya sendiri, terutama dalam hal keamanan wilayah Pasifik dan kepentingan sumber daya alam.
Australia juga memiliki kebijakan khusus terhadap imigran, yang semakin memperburuk situasi penduduk asli Papua Nugini. Para pendatang, baik yang legal maupun ilegal, sering kali mendapatkan akses lebih mudah terhadap pekerjaan dan sumber daya dibandingkan penduduk asli. Hal ini memperburuk ketidakadilan sosial dan ekonomi di negara ini.
Harga-harga Melambung Seperti di Negara Maju, Penduduk Tetap Miskin
Salah satu keanehan yang mencolok di Papua Nugini adalah tingginya biaya hidup yang mirip dengan negara maju, sementara penduduknya hidup dalam kemiskinan. Kota-kota seperti Port Moresby sering kali menempati peringkat sebagai salah satu kota termahal di dunia.
Biaya barang-barang kebutuhan pokok sangat tinggi, sebagian besar disebabkan oleh ketergantungan negara ini pada impor dan kurangnya infrastruktur yang memadai untuk mendukung perdagangan domestik. Akibatnya, ketidakmampuan penduduk lokal untuk mengimbangi kenaikan harga membuat kesenjangan antara kaya dan miskin semakin lebar.
Ancaman Peminggiran Penduduk Asli Papua Nugini
Peningkatan aktivitas pendatang dan kepentingan asing di Papua Nugini berpotensi menciptakan situasi di mana penduduk asli akan tersingkirkan. Fenomena ini mengingatkan kita pada pengalaman sejarah penduduk asli Amerika yang kehilangan tanah mereka akibat kolonialisasi Eropa. Bahkan, bisa dibilang ada kesamaan dengan apa yang terjadi di Palestina, di mana penduduk asli dipinggirkan oleh pendatang yang didukung oleh kekuatan luar.
“Sama seperti pengalaman penduduk asli Amerika dan rakyat Palestina, penduduk Papua Nugini juga mengalami marginalisasi. Pendatang dari negara lain sering kali mendapatkan akses lebih baik terhadap sumber daya dan peluang ekonomi dibandingkan dengan penduduk lokal. Hal ini menimbulkan ketegangan sosial dan konflik antara penduduk asli dan pendatang.”
Seiring dengan masuknya investasi asing dan penguasaan tanah oleh perusahaan-perusahaan besar, masyarakat adat Papua Nugini kerap kali diabaikan. Mereka tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan terkait penggunaan tanah mereka, meski tanah adat merupakan salah satu unsur penting dalam budaya dan kehidupan mereka. Tanah tidak hanya dianggap sebagai sumber daya ekonomi, tetapi juga sebagai identitas budaya dan spiritual.
Baca juga : 10 Kali Amerika Menggulingkan Pemerintahan Asing
Baca juga : Hizbullah vs Zionis Israel: Mengapa Pemerintah Lebanon Tetap Diam?
Sejarah Penjajahan Asing di Papua Nugini: Dari Masa Lalu hingga Sekarang
Sejarah penjajahan asing di Papua Nugini dimulai pada abad ke-16, ketika penjelajah Eropa mulai menjelajahi wilayah Pasifik. Penjelajah Portugis dan Spanyol adalah yang pertama kali mencapai pulau-pulau di wilayah ini. Mereka menamakan pulau utama sebagai “Nueva Guinea” (Guinea Baru) karena kemiripannya dengan penduduk Afrika.
Pada abad ke-17, Belanda mulai menunjukkan minat pada wilayah ini. Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) mengirimkan ekspedisi untuk menjelajahi dan mengklaim wilayah-wilayah di Pasifik. Belanda berhasil menguasai bagian barat Pulau Papua, yang kemudian dikenal sebagai Papua Barat atau Irian Jaya. Wilayah ini tetap di bawah kontrol Belanda hingga abad ke-20.
Pada akhir abad ke-19, Jerman juga mulai menunjukkan minat pada wilayah ini. Mereka mendirikan koloni di bagian timur laut Pulau Papua, yang dikenal sebagai Kaiser-Wilhelmsland. Jerman juga menguasai beberapa pulau kecil di wilayah ini, termasuk Kepulauan Bismarck.
Pada tahun 1884, Britania Raya mendirikan protektorat di bagian tenggara Pulau Papua, yang dikenal sebagai Papua Britania. Pada tahun 1906, Britania Raya menyerahkan kontrol atas wilayah ini kepada Australia. Australia kemudian menggabungkan wilayah ini dengan Papua Nugini, yang pada saat itu dikenal sebagai Teritori Papua.
Selama Perang Dunia II, wilayah Papua Nugini menjadi medan pertempuran yang penting. Jepang menduduki bagian utara Papua Nugini, termasuk pulau-pulau kecil seperti Kepulauan Solomon dan Kepulauan Bismarck. Pendudukan Jepang berakhir setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II.
Setelah Perang Dunia II, Australia kembali menguasai Papua Nugini. Wilayah ini dikenal sebagai Teritori Papua dan Nugini hingga tahun 1975.
Perlawanan yang Diperlukan: Belajar dari Afrika Selatan
Sejarah menunjukkan bahwa perlawanan terhadap kekuasaan asing dapat membawa perubahan. Afrika Selatan adalah contoh negara di mana upaya Barat untuk mempertahankan kendali atas mayoritas pribumi gagal. Gerakan perlawanan yang gigih dan penuh semangat berhasil menggulingkan sistem apartheid yang menindas. Situasi di Papua Nugini mungkin berbeda, tetapi pelajaran dari Afrika Selatan menunjukkan bahwa masyarakat asli dapat bersatu dan berjuang untuk mempertahankan hak-hak mereka.
“Seperti di Afrika Selatan, di mana perjuangan melawan apartheid berhasil menggulingkan rezim rasialis, Papua Nugini juga perlu memiliki perlawanan yang kuat. Perjuangan ini harus melibatkan penduduk setempat, organisasi-organisasi hak asasi manusia, dan dukungan internasional.”
Penting bagi masyarakat Papua Nugini untuk mulai menyadari pentingnya persatuan dalam menghadapi tantangan ini. Dengan melibatkan organisasi masyarakat sipil, tokoh adat, dan intelektual muda, perlawanan terhadap pengaruh asing dan pendatang dapat diorganisir secara lebih efektif. Papua Nugini tidak boleh membiarkan dirinya terjebak dalam pola yang sama seperti yang dialami oleh penduduk asli di Amerika atau Palestina.
Masa Depan Papua Nugini
Perjuangan Papua Nugini untuk mendapatkan kedaulatan penuh atas kekayaan alamnya dan memperbaiki kesejahteraan rakyatnya tidaklah mudah. Namun, dengan kesadaran yang meningkat di kalangan penduduk asli serta dukungan dari komunitas internasional yang peduli pada keadilan sosial, Papua Nugini bisa menjadi contoh negara yang berhasil mengusir pengaruh asing yang menindas.
Langkah-langkah seperti reformasi agraria, transparansi dalam pengelolaan sumber daya, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal harus menjadi prioritas dalam upaya memulihkan kendali atas negara mereka.
Baca juga : Mengapa Barat Ingin Membunuh Gaddafi: Mata Uang Emas dan Kemandirian
Baca juga : Mengungkap Rahasia Keruntuhan Kesultanan Ottoman: Hutang, Inflasi, dan Penguasaan Ekonomi oleh Asing