Pengembangan senjata nuklir di Indonesia pada tahun 1960-an adalah salah satu babak penting dalam sejarah politik dan militer negara ini. Di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno, Indonesia memiliki ambisi untuk menjadi kekuatan nuklir, sebagai bagian dari visi nasionalisme dan kemandirian. Namun, perkembangan ini berakhir dengan perjanjian untuk tidak mengembangkan senjata pemusnah massal, yang menandai perubahan besar dalam kebijakan luar negeri Indonesia.
ZONA PERANG(zonaperang.com) Pengembangan senjata nuklir di Indonesia, khususnya pada era Presiden Sukarno di tahun 1960-an, merupakan babak penting dalam sejarah politik dan teknologi negara ini. Meskipun pada awalnya pengembangan nuklir ditujukan untuk tujuan damai, ambisi untuk memiliki senjata pemusnah massal semakin menguat seiring dengan dinamika politik global dan regional.
Awal Pengembangan Nuklir
Pengembangan teknologi nuklir di Indonesia dimulai pada tahun 1954 dengan pembentukan Panitia Negara untuk Penyelidikan Radioaktivitet. Tujuan awalnya adalah untuk menyelidiki kemungkinan dampak dari uji coba senjata nuklir yang dilakukan oleh negara-negara besar di Pasifik. Pada tahun 1958, Sukarno menyatakan pentingnya penguasaan teknologi nuklir untuk kepentingan nasional, dan membentuk Dewan Tenaga Atom serta Lembaga Tenaga Atom (LTA) untuk memfasilitasi penelitian dan pengembangan.
Sukarno awalnya menekankan penggunaan teknologi nuklir untuk tujuan damai, seperti dalam bidang energi dan kesehatan. Namun, seiring dengan meningkatnya ketegangan global dan pengaruh dari Republik Rakyat Cina (RRC), pandangan Sukarno mulai berubah. Pada tahun 1965, dalam pidatonya di Kongres Muhammadiyah, Sukarno menyatakan bahwa Indonesia akan segera memiliki senjata nuklir sebagai langkah untuk melawan imperialisme, memanfaatkan Poros Peking-Jakarta yang baru dibuat.
‘Pada tahun 1964, Sukarno meluncurkan Gerakan Ganyang Malaysia, yang merupakan respons atas pembentukan Federasi Malaysia yang dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan Indonesia. Dalam situasi konflik regional yang memanas, Sukarno semakin tertarik pada pengembangan senjata pemusnah massal sebagai alat untuk menegaskan kekuatan Indonesia di kawasan. Pada masa ini, Sukarno sering menyinggung pentingnya memiliki “daya tangkal” yang kuat, termasuk kemungkinan pengembangan senjata nuklir.’
Setelah merdeka dari kolonialisme Belanda, Indonesia berada dalam situasi global yang penuh ketegangan dengan adanya Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Presiden Sukarno, yang dikenal dengan politiknya yang non-blok, ingin Indonesia memiliki posisi tawar yang kuat di panggung internasional.
Ambisi Militer dan Dukungan RRC
Setelah RRC berhasil melakukan uji coba bom atom pada tahun 1964, Sukarno semakin berambisi untuk mendapatkan dukungan militer dari negara tersebut. Dia berharap RRC dapat membantu Indonesia dalam mengembangkan senjata nuklir. Namun, harapan tersebut tidak terwujud karena RRC lebih memilih agar Indonesia mengembangkan kemampuannya sendiri tanpa memberikan bantuan langsung berupa senjata.
“Para pengamat khawatir bahwa Indonesia akan meminta Tiongkok untuk meledakkan bom atom di perairan teritorial Indonesia sambil membiarkan pemerintah Sukarno mengambil keuntungan atas pengujian tersebut”
Pada saat yang sama, kondisi politik di dalam negeri mulai berubah. Setelah peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965, kekuasaan Sukarno mulai terancam, dan dukungan dari RRC pun merenggang.
Perjanjian untuk Tidak Mengembangkan Senjata Pemusnah Massal
Setelah jatuhnya Sukarno dan beralihnya kekuasaan kepada Soeharto, kebijakan terkait senjata nuklir mengalami perubahan drastis. Pada 19 Juni 1967, Indonesia menandatangani perjanjian dengan International Atomic Energy Agency (IAEA) yang menegaskan komitmen negara untuk menggunakan teknologi nuklir hanya untuk tujuan damai dan tidak mengembangkan senjata nuklir.
Perjanjian ini menjadi langkah penting bagi Indonesia dalam menegaskan posisinya di kancah internasional sebagai negara yang mendukung non-proliferasi senjata pemusnah massal. Sejak saat itu, fokus pengembangan teknologi nuklir di Indonesia beralih ke penggunaan energi nuklir untuk kebutuhan sipil.
Warisan Pengembangan Nuklir
Warisan dari periode ini tetap terasa hingga hari ini. Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dibentuk sebagai lembaga penelitian yang bertanggung jawab atas pemanfaatan teknologi nuklir untuk kepentingan damai. Meskipun Indonesia tidak memiliki senjata nuklir, negara ini terus mengembangkan teknologi nuklir untuk energi, kesehatan, dan pertanian.
sumber: Indonesian Nuclear Aspirations in the Mid-1960s
Baca juga : Kisah Dalam tentang Bagaimana zionis Israel Membuat Senjata Nuklir (bagian 1)