- Suriah di Era Pasca-Assad: Akankah Terjerumus ke dalam Kekacauan Seperti Libya?
- Perubahan Lanskap Geopolitik: Bagaimana Kejatuhan Assad Menguntungkan Pihak-pihak Tertentu?
- Masa depan Suriah setelah kejatuhan rezim Bashar al-Assad menghadirkan berbagai kemungkinan yang kompleks dan penuh tantangan. Dengan runtuhnya pemerintahan Assad, pertanyaan utama yang muncul adalah bagaimana para faksi perlawanan akan bersatu dan apa dampaknya bagi stabilitas negara tersebut. Beberapa skenario dapat diidentifikasi berdasarkan dinamika yang ada.
ZONA PERANG(zonaperang.com) Masa depan Suriah setelah kejatuhan rezim Bashar al-Assad tidak hanya melibatkan dinamika internal di antara faksi-faksi perlawanan, tetapi juga melibatkan kepentingan dan pengaruh pihak ketiga, termasuk penjajah zionis Israel, rezim Amerika Serikat, dan beberapa negara ditaktor Arab. Kejatuhan Assad menciptakan peluang baru bagi berbagai aktor ini untuk memperkuat posisi mereka di kawasan.
Akhir Sebuah Era, Awal Sebuah Tantangan Baru
Perang saudara Suriah yang dimulai pada tahun 2011 adalah salah satu konflik paling kompleks di abad ke-21. Dengan berbagai faksi perlawanan, campur tangan kekuatan asing, dan kehancuran nasional yang luas, konflik ini menyisakan pertanyaan besar: Apa yang akan terjadi pasca rezim Bashar al-Assad benar-benar jatuh?
Kejatuhan rezim otoriter ini mungkin akan disambut sebagai kemenangan kebebasan, tetapi pertanyaan yang lebih sulit adalah bagaimana nasib Suriah setelahnya. Apakah negara ini akan mampu bangkit sebagai satu kesatuan, atau akan terjebak dalam perpecahan seperti Libya pasca-Khadafi? Siapa yang akan memanfaatkan situasi ini, dan siapa yang justru akan kehilangan pengaruhnya?
Baca juga : Mengapa Barat Ingin Membunuh Gaddafi: Mata Uang Emas dan Kemandirian
Baca juga : Nasionalisme: Alat Penjajahan Barat yang Memecah Belah Umat Islam
Skenario Masa Depan Suriah
1. Persatuan di Antara Faksi Perlawanan
Setelah kejatuhan Assad, pemimpin Hayat Tahrir al-Sham (HTS), Abu Mohammed al-Jolani, berjanji untuk menyatukan Suriah dan membangun pemerintahan yang inklusif/mengutamakan penerimaan dan partisipasi semua orang, tanpa diskriminasi. Namun, tantangan besar tetap ada karena berbagai faksi perlawanan memiliki agenda yang berbeda-beda. Meskipun ada harapan untuk rekonsiliasi nasional, sejarah menunjukkan bahwa kesepakatan antara kelompok-kelompok ini sulit dicapai, dan potensi konflik internal masih tinggi.
2. Potensi Terpecahnya Suriah
Banyak pengamat khawatir bahwa Suriah bisa mengalami nasib serupa dengan Libya pasca-Khadafi, di mana kekosongan kekuasaan dapat menyebabkan fragmentasi lebih lanjut. Berbagai faksi mungkin bersaing untuk mengisi kekosongan tersebut, yang dapat memicu kekerasan baru dan memperburuk situasi kemanusiaan dan ekonomi.
“Pemerintahan transisi mungkin tidak berjalan mulus. Perselisihan antar faksi bisa meledak menjadi perang saudara baru untuk memperebutkan pengaruh dan sumber daya.”
3. Pengaruh Pihak Ketiga
Kejatuhan Assad juga membuka peluang bagi intervensi dari negara-negara besar seperti AS, Rusia, dan Turki untuk memperkuat posisi mereka di kawasan. rejim Amerika dan sekutunya(Barat&ditaktor Arab) mungkin berusaha mendukung pemerintah baru yang lebih pro-Barat, sementara Rusia dan rejim Iran berusaha mempertahankan pengaruh mereka. Penjajah zionis Israel juga telah mengambil langkah-langkah untuk mengamankan kepentingannya di wilayah tersebut.
“Potensi konflik proxy antara kekuatan regional ini bisa memperparah situasi dan menghambat proses stabilisasi.”
Faksi-Faksi Perlawanan: Bersatu Menggulingkan, Terpecah Memerintah
Selama perang saudara, berbagai kelompok oposisi bersatu demi satu tujuan: menggulingkan rezim Assad. Namun, setelah tujuan itu tercapai, ideologi dan kepentingan yang berbeda dapat memicu konflik internal.
1. Faksi Islamis dan Jihadis:
Kelompok seperti HTS dan sisa-sisa extremis ISIS buatan Barat memiliki visi mendirikan negara Islam. Mereka akan menolak pemerintahan sekuler atau demokratis, dan berpotensi memicu konflik dengan kelompok moderat.
2. Oposisi Moderat:
Kelompok seperti Tentara Pembebasan Suriah (FSA) ingin mendirikan negara demokratis. Namun, mereka mungkin kesulitan mempertahankan pengaruh di tengah tekanan dari kelompok ekstremis dan kepentingan asing.
3. Kelompok Kurdi:
Kelompok PYD/YPG yang mendominasi wilayah utara Suriah ingin mempertahankan otonomi mereka. Konflik dengan faksi Arab dan Turki bisa terjadi jika aspirasi mereka dihambat.
Pihak yang Diuntungkan oleh Kejatuhan Assad
1. Penjajah zionis Israel
Teroris Israel telah lama melihat rezim Assad sebagai ancaman, terutama setelah keterlibatan Iran dan Hizbullah di Suriah. Dengan kejatuhan Assad, kolonialis Israel berpotensi mengurangi pengaruh Iran di wilayah tersebut. Menurut laporan, penjajah Israel telah melakukan lebih dari 300 serangan udara terhadap posisi militer Suriah dan Iran selama beberapa tahun terakhir, yang berkontribusi pada melemahnya rezim Assad. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan bahwa kejatuhan Assad merupakan kesempatan untuk menciptakan zona penyangga di dekat perbatasan mereka dan mengamankan wilayah dari potensi ancaman baru.
2. Amerika Serikat
Kejatuhan Assad juga memberikan keuntungan bagi Amerika Serikat yang telah lama mendukung kelompok-kelompok oposisi di Suriah. AS berpotensi memperkuat pengaruhnya di kawasan dengan mendukung pemerintahan baru yang lebih bersahabat dan mengurangi kekuatan Iran serta sekutunya. Dukungan terhadap pasukan Kurdi yang menguasai sebagian besar wilayah utara Suriah dapat menjadi strategi untuk menahan pengaruh Rusia dan Iran.
3. Negara-negara Arab
Beberapa negara Arab mungkin juga akan mendapatkan keuntungan dari runtuhnya Assad. Dengan hilangnya sekutu utama Iran di Suriah, negara-negara seperti rejim Arab Saudi dan Uni Emirat Arab dapat memperkuat posisi mereka dalam memerangi pengaruh Iran di kawasan. Mereka dapat berusaha membangun hubungan dengan pemerintahan baru yang mungkin muncul setelah kejatuhan Assad.
4. Turki: Dengan dukungan terhadap HTS, Turki berpotensi memperkuat pengaruhnya di Suriah utara dan mengatasi ancaman dari kelompok Kurdi.
5. HTS: Sebagai kelompok dominan dalam koalisi pemberontak, HTS memiliki kesempatan untuk memimpin pemerintahan baru jika berhasil menyatukan faksi-faksi lain.
Baca juga : The 1928 Red Line Agreement, The Secret of the Seven Sisters: Kartel minyak pencipta perang
Pihak yang Dirugikan:
- Rusia dan Iran: Runtuhnya Assad merupakan pukulan berat bagi kedua negara tersebut, yang telah lama mendukung rezim Assad sebagai bagian dari strategi mereka di Timur Tengah.
Kehilangan sekutu utama di Suriah merupakan pukulan mematikan bagi Iran, yang telah menjadi sekutu rezim Assad. Dengan runtuhnya Assad, jalur suplai senjata dan dukungan bagi Hizbullah dan perlawanan di Gaza menjadi terancam, membuat Iran semakin terisolasi.
Pangkalan udara Hmeimim dan pangkalan laut Tartus memberikan Rusia pijakan strategis di Timur Tengah dan Mediterania. Kehilangan pangkalan ini akan mengurangi kemampuan Rusia untuk melancarkan operasi militer di kawasan tersebut. Tanpa pangkalan di Suriah, Rusia akan kesulitan untuk memproyeksikan kekuatan militernya di Timur Tengah dan Afrika Utara. Ini akan mengurangi pengaruh Rusia di kawasan tersebut dan memperlemah posisinya dalam persaingan global
“Rusia mungkin tidak lagi mampu memberikan dukungan militer kepada sekutu-sekutunya di kawasan tersebut, yang dapat memperburuk konflik yang ada”
- Warga Sipil: Masyarakat Suriah yang telah menderita akibat perang selama bertahun-tahun berisiko menghadapi lebih banyak kekerasan dan ketidakpastian dalam transisi politik
- Minoritas Alawi dan Kristen: Sebagai kelompok yang dianggap loyal kepada Assad, mereka mungkin menghadapi balas dendam dan pengucilan sosial.
Pengaruh terhadap Kepentingan Indonesia
Jatuhnya Assad dapat memicu ketidakstabilan lebih lanjut di Timur Tengah, yang berpotensi berdampak pada keamanan dan stabilitas kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Keterlibatan kelompok ekstremis yang mungkin memanfaatkan kekacauan ini dapat menjadi ancaman bagi keamanan regional.
“Indonesia, sebagai negara yang menganut prinsip kebijakan luar negeri bebas aktif, melihat kejatuhan Assad sebagai bukti bahwa keterlibatan asing dalam konflik sering kali memperburuk situasi. Hal ini menggarisbawahi pentingnya bagi Indonesia untuk tetap berpegang pada prinsip tersebut agar tidak terjebak dalam tarik menarik kepentingan geopolitik negara lain”
Pengaruh terhadap Kepentingan Cina
Cina memiliki kepentingan besar dalam stabilitas Suriah karena proyek Belt and Road Initiative (BRI) yang mencakup rute perdagangan di Timur Tengah. Dengan jatuhnya Assad, Cina mungkin akan mencari peluang baru untuk berinvestasi dan membangun hubungan dengan pemerintahan baru yang mungkin muncul.
Jika pemerintahan baru cenderung pro-Barat, Cina mungkin menghadapi tantangan dalam menjaga akses dan pengaruhnya di Suriah serta kawasan sekitarnya.
Harapan dan Tantangan
Masa depan Suriah setelah kejatuhan rezim Assad penuh dengan ketidakpastian. Harapan untuk kebebasan dan perbaikan kehidupan tetap ada, tetapi tantangan berupa perpecahan internal, kepentingan asing, dan risiko konflik berkepanjangan tidak bisa diabaikan. Nasib Suriah bergantung pada kemampuan faksi-faksi lokal untuk berdialog, kompromi, dan membangun pemerintahan inklusif yang mampu menyatukan rakyatnya.
Jika tidak, Suriah bisa menjadi contoh lain dari negara yang gagal bangkit setelah revolusi, meninggalkan kehancuran yang berlarut-larut dan penderitaan bagi rakyatnya.
Baca juga : Geger Santet: Pembantaian Massal di Banyuwangi dan Jejak Politik Pasca Orde Baru
Baca juga : Apakah Palestina Akan Berakhir? Dari Afrika Selatan ke Gaza: Pelajaran Perjuangan Melawan Penjajahan