- Dukungan Barat untuk Otoritarianisme: Kasus Abdel Fattah el-Sisi
- El-Sisi: Penjaga Stabilitas penjajah Israel di Tengah Ketegangan Regional
- Naiknya Abdel Fattah el-Sisi ke tampuk kekuasaan bukan tentang demokrasi; melainkan tentang konsolidasi kekuasaan bagi elit militer Mesir, dengan dukungan AS, Israel, dan Inggris.
ZONA PERANG(zonaperang.com) Abdel Fattah el-Sisi, yang naik ke tampuk kekuasaan Mesir setelah kudeta militer pada 2013, tidak hanya menjadi simbol kekuasaan militer, tetapi juga mencerminkan konsolidasi kekuasaan yang lebih luas di kalangan elit militer Mesir.
Kenaikan Sisi ke posisi presiden bukanlah hasil dari proses demokratis, melainkan merupakan langkah strategis untuk mengamankan kepentingan elit militer dan menjaga stabilitas politik di Mesir, terutama dalam konteks hubungan dengan kolonialis Israel dan ancaman dari kelompok-kelompok pejuang Islam.
Konsolidasi Kekuasaan dan Dukungan Internasional
Kudeta dan Penggulingan Mursi
Setelah revolusi Arab Spring pada 2011, rakyat Mesir berhasil menggulingkan diktator lama, Hosni Mubarak, yang telah berkuasa selama tiga dekade. Harapan akan demokrasi memuncak dengan terpilihnya Mohamed Morsi, seorang presiden sipil dari Ikhwanul Muslimin pada 2012.
Namun, pemerintahan Morsi hanya bertahan selama satu tahun. Pada 3 Juli 2013, Abdel Fattah el-Sisi, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan, memimpin kudeta militer yang menggulingkan Morsi. Kudeta ini diikuti oleh penghapusan paksa Ikhwanul Muslimin dari ranah politik dan penangkapan ribuan anggota serta simpatisannya.
Kudeta: Konsolidasi Kekuasaan Militer
Naiknya El-Sisi bukanlah tentang demokrasi atau keinginan rakyat semata, melainkan tentang konsolidasi kekuasaan elit militer Mesir, yang telah lama menjadi aktor dominan dalam politik negara itu sejak era Gamal Abdel Nasser.
Alasan di balik kudeta:
- Kepentingan Militer, Militer Mesir telah menjadi pemain utama di bidang ekonomi, politik, dan keamanan. Kebijakan Morsi, yang mencoba memotong pengaruh militer, menjadi ancaman langsung bagi kepentingan mereka.
- Tekanan dari Oposisi Sekuler, Kelompok sekuler yang khawatir akan dominasi Ikhwanul Muslimin dalam pemerintahan turut mendukung kudeta yang dipimpin El-Sisi.
Baca juga: Penaklukan Muslim di Mesir (640 M): Pertempuran Babilonia dan Heliopolis
Dukungan dari AS, kolonialis Israel, dan Inggris
Konsolidasi kekuasaan Sisi didukung oleh negara-negara besar seperti Amerika Serikat, penjajah Israel, dan Inggris. Dukungan ini tidak hanya bersifat politik tetapi juga militer dan ekonomi. AS dan sekutunya melihat Sisi sebagai penjamin stabilitas di wilayah yang rentan terhadap kebangkitan Islam, serta sebagai mitra strategis dalam menjaga keamanan zionis Israel.
Mesir adalah salah satu penerima bantuan militer terbesar dari AS, dengan nilai $1,3 miliar per tahun. AS mendukung El-Sisi karena ia dianggap sebagai penjaga stabilitas di kawasan dan penjamin keberlangsungan perjanjian damai Mesir-Israel yang telah berlangsung sejak 1979.
Peran Sisi dalam Menjaga Keamanan negara teror Israel
Sisi dipilih untuk menjaga kepentingan penjajah Israel dengan mencegah munculnya ancaman dari kelompok-kelompok Islam. Dalam hal ini, Sisi berfungsi sebagai penyangga antara negara aparheid Israel dan Gaza, serta berupaya menstabilkan kawasan dengan cara yang sering kali mengorbankan hak asasi manusia di dalam negeri.
Negara ilegal Israel juga memiliki kepentingan langsung di Mesir, terutama dalam menjaga stabilitas di perbatasan Sinai dan mengendalikan kelompok-kelompok Islamis yang dianggap ancaman. El-Sisi memainkan peran penting dengan menindak kelompok pejuang Islam, termasuk Hamas yang memiliki hubungan dengan Ikhwanul Muslimin.
Tony Blair adalah penasihat Sisi
Setelah memimpin kudeta pada tahun 2013 yang menggulingkan Mohamed Morsi, presiden Mesir pertama yang terpilih secara demokratis, Sisi menekan perbedaan pendapat dan memenjarakan lebih dari 60.000 tahanan politik. Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair, yang menjabat sebagai “Utusan Perdamaian Timur Tengah,” memainkan peran penting dalam melegitimasi rezim Sisi.
Blair tidak hanya mendukung kudeta tersebut tetapi juga menjadi penasihat informal Sisi, membantunya mendapatkan pengakuan internasional. Ia menggambarkan Sisi sebagai “mitra yang diperlukan,” meskipun terjadi penindasan brutal dan pelanggaran hak asasi manusia yang meluas setelahnya.
Sebuah pengingat bahwa Tony Blair, bersama George Bush, bertanggung jawab atas perang ilegal di Irak, yang menyebabkan terbunuhnya, terlukanya, dan mengungsinya jutaan warga Irak. Inilah bagaimana Sisi menjadikannya penasihatnya.
Tony Blair: Pembimbing Sang Penindas
Setelah kudeta Sisi pada tahun 2013, Tony Blair menjadi salah satu pendukung internasionalnya yang paling vokal. Sebagai utusan Kuartet untuk Timur Tengah, Blair melobi pemerintah Barat untuk mendukung Sisi, menggambarkannya sebagai benteng melawan “ekstremisme.”
Blair bahkan menasihati Sisi tentang cara mereformasi ekonomi Mesir, membantunya mendapatkan pinjaman internasional. Di balik layar, Blair menyelaraskan dirinya dengan kepentingan monarki Teluk seperti Arab Saudi dan UEA, yang mendanai militer Mesir dan mengkhawatirkan kebangkitan Ikhwanul Muslimin.
Dukungan Blair memberi Sisi legitimasi yang ia butuhkan untuk mengonsolidasikan kekuasaan, meskipun terjadi pembunuhan massal dan tindakan keras brutal yang terjadi setelahnya.
Bantuan Blair Untuk Menutup Kejahatan
Peran Tony Blair dalam menutup-nutupi kudeta Sisi dan membantunya mengamankan legitimasi internasional tidak dapat dilebih-lebihkan.
Lobi aktifnya untuk mendapatkan dukungan Barat, dikombinasikan dengan pengabdian Sisi pada kepentingan AS dan penjajah Israel, telah memungkinkan Mesir mengubah Gaza menjadi zona bencana kemanusiaan.
Sisi bukanlah seorang “pemimpin”—dia adalah seorang diktator yang didukung oleh kekuatan asing, mengeksploitasi penderitaan Gaza untuk keuntungannya sendiri.
SISI: Boneka rejim Amerika dan penjajah Israel
Sejak Perjanjian Camp David tahun 1978, Mesir telah menerima bantuan militer AS, tetapi di bawah Sisi, hubungan ini telah berubah menjadi perbudakan yang nyata.
Mesir menerima $1,3 miliar setiap tahunnya dalam bentuk bantuan militer AS, yang merupakan hampir 20% dari anggaran pertahanannya.
Namun, uang ini tidak diberikan secara cuma-cuma—Mesir diharuskan untuk membelanjakan 83% darinya untuk senjata buatan AS, yang secara efektif menyalurkan dana tersebut kembali ke perusahaan pertahanan Amerika.
Sebagai balasannya, Sisi mematuhi tuntutan Washington: menjaga Gaza tetap terisolasi, menjaga perdamaian dengan penjajah Israel, dan menekan perlawanan anti-Israel. Pejabat pertahanan Israel bahkan memuji Sisi sebagai “mitra sejati dalam memastikan keamanan regional.”
Penyebrangan Rafah: Dari jalan kehidupan ke jalan yang terkekang
Sebelum Sisi berkuasa, penyeberangan Rafah, meskipun terbatas, sering dibuka selama masa krisis yang parah. Di bawah Morsi, Rafah beroperasi hampir setiap hari, memungkinkan ribuan warga Palestina untuk bepergian dan membawa pasokan penting.
Namun, sejak Sisi mengambil alih kendali, Rafah telah dipersenjatai.
Pada tahun 2021, penyeberangan tersebut ditutup selama 268 hari dalam setahun. Bahkan saat dibuka, Mesir membatasi lalu lintas hanya untuk beberapa ratus orang per hari, memprioritaskan mereka yang dapat membayar suap besar atau mampu membayar “biaya” yang selangit. Akibatnya, pasien medis, mahasiswa, dan keluarga terjebak, tanpa jalan keluar dari Gaza.
Ini berperan penting dalam mempertahankan blokade terhadap warga Palestina, dan Sisi terlibat dalam hal ini.
Baca juga: 10 Juni 1947, Mesir menjadi negara pertama yang mengakui secara resmi negara Indonesia
Penderitaan rakyaPalestina dan rejim korupsi
Terowongan hancur, Gaza terkejut
Pemerintah Sisi telah menghancurkan lebih dari 3.000 terowongan bawah tanah yang menghubungkan Gaza dengan Semenanjung Sinai di Mesir.
Terowongan-terowongan ini sangat penting untuk membawa bahan bakar, makanan, dan material konstruksi ke Gaza, melewati blokade zionis Israel.
Sebuah laporan tahun 2014 memperkirakan bahwa 80% dari semua barang yang masuk ke Gaza melewati terowongan-terowongan ini. Sisi membenarkan penghancuran terowongan-terowongan ini dengan alasan “antiterorisme,” tetapi pada kenyataannya, hal ini tidak ada hubungannya dengan terorisme dan semuanya berkaitan dengan upaya menenangkan penjajah Israel. Hilangnya terowongan-terowongan ini telah menjerumuskan ekonomi Gaza ke dalam kehancuran yang lebih dalam, mendorong pengangguran di atas 45%. Hal ini juga sekali lagi membantu mengatasi kelaparan rakyat Palestina
Mendapatkan keuntungan dari penderitaan rakyat Gaza
Kelompok elit Sisi yang didukung militer tidak hanya memblokir Gaza—mereka juga mengeksploitasinya. Taipan Mesir Ibrahim al-Organi, yang memiliki hubungan dekat dengan rezim Sisi, mengawasi operasi penyelundupan menguntungkan yang membawa barang ke Gaza melalui Rafah. Persediaan dasar seperti semen, bahan bakar, dan baja dijual dengan harga hingga empat kali lebih tinggi dari harga pasar.
Misalnya, pada tahun 2022, satu liter solar yang diselundupkan melalui Mesir menghabiskan biaya penduduk Gaza sebesar $2,50—dua kali lipat harga bahan bakar impor kolonialis Israel. Keuntungan ini membuat pemerintah Sisi terlibat dalam memperpanjang krisis kemanusiaan di Gaza sambil memperkaya sekutunya.
Menolak Gaza selama pengeboman penjajah Israel
Ketika kolonialis Israel mengebom Gaza, menewaskan ribuan warga sipil, Sisi tetap diam atau memposisikan dirinya sebagai “mediator” untuk mendapatkan dukungan dari AS dan Israel.
Selama konflik Mei 2021, 256 warga Palestina, termasuk 66 anak-anak, tewas dalam serangan udara teroris Israel. Tanggapan Sisi? Janji simbolis $500 juta untuk rekonstruksi Gaza, yang sebagian besar tidak pernah terwujud. Namun, kontribusinya yang sebenarnya adalah menghalangi pasokan medis dan pekerja kemanusiaan mencapai Gaza melalui Rafah.
Setelah serangan pejuang Hamas pada 7 Oktober 2023, situasi di Gaza menjadi sangat kritis. Mesir, yang berbatasan langsung dengan Gaza, menghadapi tekanan internasional untuk membuka perbatasannya dan memberikan bantuan kemanusiaan. Namun, laporan menunjukkan bahwa Mesir tetap menutup perbatasannya, yang memperburuk kondisi di Gaza.
Laporan dari OCHA(United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs) juga menyebutkan bahwa ribuan warga Gaza mengalami kekurangan makanan, air, dan perawatan kesehatan, serta ribuan lainnya ditahan secara sewenang-wenang. Mesir, meskipun memiliki kemampuan untuk membuka perbatasannya dan memberikan bantuan, tetap mempertahankan blokade yang memperburuk penderitaan warga Gaza.
Tindakan diplomatik untuk menyenangkan para majikannya
Sisi suka menggambarkan dirinya sebagai mediator utama dalam proses perdamaian Israel-Palestina, tetapi itu semua hanya sandiwara.
Misalnya, setelah perang Mei 2021, Mesir menjadi tuan rumah perundingan dengan Israel dan Hamas, tetapi secara tertutup, Sisi memastikan bahwa Rafah sebagian besar tetap tertutup.
Tujuan sebenarnya bukanlah perdamaian—melainkan untuk mempertahankan statusnya sebagai “sekutu yang diperlukan” bagi Israel dan AS, memastikan bahwa bantuan mereka terus mengalir.
Sinai: Alasan Sisi untuk menindas Gaza
Sisi mengklaim tindakan kerasnya terhadap Gaza merupakan bagian dari upaya kontraterorisme di Sinai, tetapi kampanyenya tidak pandang bulu dan merusak.
Sejak 2013, lebih dari 12.000 rumah di Sinai telah dihancurkan, menyebabkan puluhan ribu penduduk mengungsi.
Alih-alih mengatasi masalah keamanan yang sah, Sisi memanfaatkan ketidakstabilan Sinai sebagai dalih untuk memperketat perbatasan Gaza, dengan mengetahui hal itu akan membuatnya disukai oleh Washington dan Tel Aviv.
Keruntuhan kemanusian di Gaza – Dengan bantuan Sisi
Di bawah kepemimpinan Sisi, situasi di Gaza telah menjadi bencana besar. Lebih dari 80% dari 2,3 juta penduduk Gaza kini bergantung pada bantuan kemanusiaan, dan lebih dari 97% air di Gaza tidak aman untuk diminum.
Pengangguran telah melonjak hingga 46%, dan tingkat kemiskinan telah mencapai 56%. Penutupan Rafah berarti bahwa bahkan mereka yang memiliki beasiswa luar negeri atau rujukan medis tidak dapat pergi. Kebijakan Sisi tidak hanya terlibat—tetapi secara aktif memperburuk penderitaan rakyat Gaza.
Diktator brutal
Jangan berpura-pura bahwa Sisi adalah “mediator netral” atau sekutu Palestina. Dia adalah seorang diktator brutal yang didukung oleh Amerika, penjajah Israel, dan Tony Blair, yang menggunakan Gaza sebagai pion untuk melayani kepentingan mereka.
Dari mencekik Gaza melalui penyeberangan Rafah hingga menghancurkan jalur kehidupan seperti terowongan dan mengambil untung dari penderitaan Palestina, Sisi telah membuktikan berkali-kali bahwa dia bukan teman Palestina. Keheningannya selama pemboman Israel, permusuhannya terhadap Hamas, dan eksploitasinya terhadap krisis kemanusiaan Gaza menunjukkan bahwa dia hanya tertarik untuk terus mengalirkan dolar AS dan pujian teroris Israel.
Sisi tidak hanya terlibat—dia benar-benar berbahaya. Kesetiaannya terletak pada pendukung asingnya, bukan rakyat Palestina atau warga negaranya sendiri. Dia tidak dapat dipercaya, dan kebijakannya memperjelas bahwa solidaritasnya adalah dengan penindasan, bukan keadilan.
Referensi
- “The Egyptians: A Radical Story” oleh Jack Shenker
- “Into the Hands of the Soldiers: Freedom and Chaos in Egypt and the Middle East” oleh David D. Kirkpatrick
- “Egypt’s Enduring Hegemony: The Military’s Role in Politics and Economy” oleh Yezid Sayigh (Carnegie Middle East Center)
- “The Rise and Fall of Egypt’s Democratic Experiment” oleh Nathan J. Brown
- “Israel and Egypt: Military Cooperation in the Post-Arab Spring Era” oleh Ehud Eiran
- Laporan Human Rights Watch (HRW): “Egypt: No Justice for Rab’a Killings”
Baca juga: 29 Oktober 1956, Israel menyerang Mesir; Krisis Suez dimulai