- Dalam pembangunan AURI di Sumatera, Halim diangkat sebagai Komandemen tentara Sumatera. Ia bersama Iswahjudi disibukkan dengan misi mengangkut senjata dan amunisi.
- Mereka berdua harus menembus blokade udara Belanda yang sangat ketat. Penerbangan dilakukan pada malam hari dengan tujuan negara tetangga untuk mengangkut persenjataan yang telah disiapkan. Selama membangun AURI di daerah Sumatera, Halim berhasil menjalin kerjasama dengan tentara dan masyarakat di daerah itu.
- Halim pun mencari bantuan ke luar negeri. Naas, sesudah menyelesaikan tugas di Bangkok, pesawatnya terjebak dalam cuaca buruk di daerah Perak Malaysia, yang disertai dengan kabut tebal yang menghalangi pandangan sang pilot sehingga pesawat jatuh di pantai
ZONA PERANG (zonaperang.com) – Namanya tercatat sebagai nama Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta menggantikan nama pada Pangkalan Udara Cililitan tanggal 17 Agustus 1952.
Abdul Halim Perdanakusuma dilahirkan di Sampang Madura pada tanggal 18 November 1922. Ayahnya bernama Haji Abdulgani Wongsotaruno, Ibunya bernama Raden Ayu Aisah, putri Raden Ngabeki Notosubroto, Wedana Gresik, Jawa Timur. Ayahnya seorang Patih dari Sampang, Madura dan penulis.
Si ayah mengharapkan agar putra ketiga dari lima bersaudara itu kelak mengikuti jejak ayahnya sebagai seorang pamongpraja.
Sifatnya yang ramah dan periang, menyebabkan Halim banyak memperoleh sahabat. Selain itu ia juga memiliki perasaan halus yang tercermin dalam kesenangannya kepada musik dan seni lukis. Di bidang seni musik ia dikenal sebagai pemain biola yang cukup memukau. Lukisan yang banyak dibuatnya memberikan kesan bahwa ia memiliki bakat dibidang ini.
Pendidikan yang pernah diikuti oleh Abdul Halim Perdanakusuma, yaitu HIS di Semarang lulus tahun 1934, MULO di Surabaya lulus pada tahun 1938 dan melanjutkan ke pendidikan Pamong Praja Hindia Belanda (MOSVIA) di kota Magelang.
Baca juga : Abdul Aziz ar-Rantisi : Pemimpin gerakan Hamas dan pendiri sayap militer perjuangan Palestina
Baca juga : Freemasonry di Indonesia: Dari Masa Kolonial Hingga Kini
Menjadi Perwira RAF(Royal Air Force) Inggris
Menjelang akhir tahun 1939 di Eropa pecah perang dunia ke II. Pada bulan Mei 1940 Belanda diduduki Jerman, maka Pemerintah Hindia Belanda segera mengeluarkan peraturan wajib militer(Milisi)bagi rakyat Hindia Belanda termasuk di daerah jajahannya untuk menghadapi kemungkinan perang di wilayah Asia termasuk Indonesia.
Saat itu pemuda Abdul Halim Perdanakusuma yang tengah duduk ditingkat dua sekolah MOSVIA tidak luput dari kewajiban milisi tersebut, sehingga ia tidak dapat menyelesaikan pendidikan pamong praja tersebut dan wajib melaksanakan peraturan Pemerintah Hindia Belanda untuk melaksanakan milisi dan memasuki dunia militer.
Angkatan Laut Hindia Belanda mengirimnya untuk mengikuti pendidikan opsir (calon perwira) Torpedo di Surabaya.
Ketika Hindia Belanda akan dikuasai balatentara Jepang di awal 1942, Halim tengah berada di Cilacap. Seperti orang-orang Belanda yang menyeberang ke Australia, ia pun turut menyeberang ke negeri Kanguru. Ia menyeberang bersama Angkatan Laut Belanda. Namun ia tak lama tinggal di Australia sebab segera dikirim ke India dan bergabung dengan militer Inggris.
M. Sunjata dalam Halim Perdanakusuma (1978) mencatat kisah unik tentang Halim dengan Laksamana Mountbatten. “Suatu kali ketika ada istirahat yang agak panjang, Abdul Halim mengisi waktunya membuat lukisan Panglima Armada Inggris di India, yaitu Laksamana Mountbatten.
Ketika lukisan itu selesai, digantungkannya di kamarnya,” tulis Sunjata.ukisannya itu menjadi jalan bagi Halim untuk mengenal langsung Laksamana Mountbatten, seseorang yang pernah jadi wakil raja Inggris di India setelah Perang Dunia II. “Kelanjutannya, Abdul Halim ditawarkan untuk meneruskan pendidikan militer di Inggris.
Tetapi Abdul Halim mengajukan permintaan untuk pindah jurusan, yaitu ke bagian Angkatan Udara. Permintaannya dikabulkan,” imbuh Sunjata. Halim kemudian diterbangkan ke Gibraltar, lalu ke London, dan diterbangkan lagi ke Kanada. Di negara itu, ia mendapat latihan Navigasi dari Angkatan Udara Kanada, Royal Canadian Air Force (RCAF).
Melakukan Misi Pemboman Ke Jerman
Sebagai perwira navigasi, ia dijadikan kru pesawat pembom milik Sekutu. “[Halim] bertugas di skadron pembom dengan pesawat Lancaster dan Liberator,” tulis penyusun buku Bakti TNI Angkatan Udara, 1946-2003 (2003: 31). Halim saat itu tergabung dalam Angkatan Udara Inggris, Royal Air Force (RAF). “Sebagai awak pesawat pembom ia berkali-kali ikut dalam pemboman [daerah pendudukan militer] Jerman, dan mengalami pertempuran udara yang sengit,” tulis M. Sunjata (hlm. 21).
Ia terhitung sudah 42 kali terlibat misi serangan udara di wilayah Jerman dan Perancis yang diduduki tentara fasis NAZI Jerman. “Setiap kali ia ikut dengan skuadronnya dalam serangan udara atas kota-kota di Jerman dan Prancis, pasti seluruh pesawat kembali dengan selamat. Oleh karena itu Angkatan Udara Kerajaan Inggris memberinya nama julukan ‘The Black Mascot’, yang berarti si Jimat Hitam,” catat Sunjata (hlm. 23) dan dikutip Bakti TNI Angkatan Udara (hlm. 31).
Setelah Perang Dunia II selesai, Halim dikembalikan ke unit militer lamanya, Marine Luchtvaart Dienst (MLD) alias Dinas Penerbangan Angkatan Laut Belanda. Hal ini membuatnya punya kesempatan pulang ke Indonesia. Dan ketika ia pulang, negaranya tengah diamuk revolusi. Tanggal 15 Oktober 1945, ketika tentara Sekutu mendarat di Tanjung Priok, Jakarta diantara sekian banyak orang berkulit putih terdapat seorang berkulit sawo matang, dia adalah Halim Perdanakusuma.
Baca juga : Butterfly Bullet yang dilarang secara Internasional digunakan di Palestina oleh penjajah Israel
Kembali ke Tanah Kelahiran
Situasi negara pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia sangat mencekam dimana Belanda dan tentara sekutu saat itu sudah menjadi musuh, bagi bangsa Indonesia. keberadaan Abdul Halim Perdanakusuma di tanah air dicurigai sebagai tentara NICA, sehingga dimasukkan dalam sel tahanan di Kediri.
Keadaan semakin menjadi buruk setelah terjadinya pertempuran di Surabaya antara pasukan Indonesia dengan pasukan sekutu Inggris. Untuk menjaga keselamatan jiwanya, Pemerintah Indonesia melalui Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin memerintahkan untuk mengeluarkan Halim dari tahanan dan kembali kepada keluarganya di kota Sumenep.
Sementara itu Komodor Udara R. Soerjadi Soerjadarma bersama dengan Komodor Muda Udara Adisutjipto dan Komodor Muda Udara Prof Dr Abdulrachman Saleh tengah sibuk membangun kekuatan udara. Ketika R. Soerjadi Soerjadarma mendengar perihal Halim yang telah bebas, maka ia segera memerintahkan untuk menghubungi dan mengajak Halim agar turut mengabdi kepada perjuangan bangsa Indonesia.
Halim adalah awak pesawat amfibi Catalina PBY yang bisa mendarat di air. Meski awak Angkatan Laut Belanda punya gaji lebih bagus dari tentara Republik yang baru dibangun, namun ia memilih bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat di Jawatan Penerbangan. Belakangan, kesatuan ini menjadi Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).
Sebagai mantan perwira udara Sekutu yang pernah terlibat operasi militer penting, Halim dijadikan Perwira Operasi dengan pangkat komodor muda oedara (KMO). Ketika Nurtanio dan R.J. Salatun ditugasi merancang tanda pangkat, menurut J. M. V. Soeparno dalam Nurtanio: Perintis Industri Pesawat Terbang Indonesia (2004: 48), tanda pangkat mirip RAF—tempat Halim pernah bergabung—menjadi referensi.
Perwira Operasi Udara
Sesuai dengan keahlian dan pengalaman yang dimilikinya, Halim diserahi tugas sebagai Perwira Operasi Udara. Ia bertanggung jawab atas pelaksanaan operasi udara. Tugas itu meliputi banyak bidang, antara lain menembus blokade udara Belanda, mengatur siasat serangan udara atas daerah lawan, operasi penerjunan pasukan di luar Jawa dan penyelenggaraan operasi penerbangan dalam rangka pembinaan wilayah. Selain itu juga diserahi tugas sebagai instruktur navigasi di sekolah penerbangan yang didiirikan dan dipelopori oleh Agustinus Adisutjipto.
Karena kiprahnya di palagan Eropa, Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma mendapat perintah menyusun serangan udara balasan atas peristiwa Agresi militer I Belanda. Pada dinihari tanggal 29 Juli 1947 atas persetujuan pimpinan AURI dilakukan serangan udara terhadap tiga kota yang dikuasai Belanda, yaitu Semarang, Salatiga, dan Ambarawa. Keberhasilan atas penyerangan ini melambungkan nama AURI, namun menimbulkan kemarahan yang membabi buta dari pihak Belanda yang selama ini selalu memandang rendah kemampuan penerbang Indonesia.
Sore harinya keberhasilan tersebut harus dibayar mahal dengan gugurnya tiga perintis dan pelopor AURI yaitu Komodor Muda Udara A. Adisutjipto, Komodor Muda Udara Prof. Dr. Abdulrahman Saleh, dan Juru Radio Opsir Udara Adisoemarmo Wiryokusumo dalam peristiwa ditembaknya pesawat Dakota VT-CLA yang membawa obat-obatan bantuan dari Palang Merah Malaya di atas langit Maguwo Yogyakarta oleh dua pesawat pemburu Kitty Hawk Belanda.
Halim Perdanakusuma kemudian menggantikan posisi Adisutjipto sebagai Wakil Kepala Staf AURI. Di tengah kesibukannya dalam melaksanakan pengabdian di AURI, pada tanggal 24 Agustus 1947 Halim melaksanakan pernikahan dengan Koesdalina di Madiun.
Dua bulan setelah menikah Halim mendapat tugas membangun angkatan udara di Sumatera, dimaksudkan sebagai upaya menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatera menembus blokade udara Belanda, serta persiapan sebagai basis perjuangan apabila pangkalan-pangkalan udara di Pulau Jawa dikuasai oleh Belanda. Didampingi oleh Opsir Udara II Iswahjudi, Halim berangkat menuju Sumatera.
Dalam pembangunan AURI di Sumatera ini, Halim diangkat sebagai Komandemen tentara Sumatera. Ia bersama Iswahjudi disibukkan dengan misi mengangkut senjata dan amunisi. Mereka berdua harus menembus blokade udara Belanda yang sangat ketat. Penerbangan dilakukan pada malam hari dengan tujuan negara tetangga untuk mengangkut persenjataan yang telah disiapkan. Selama membangun AURI di daerah Sumatera, Halim berhasil menjalin kerjasama dengan tentara dan masyarakat di daerah itu.
Kerjasama tersebut selain membangun lapangan udara juga berhasil menghimpun dana dengan cara mengumpulkan emas dari rakyat yang digunakan untuk membeli pesawat. Salah satu bukti hasil pengumpulan dana tersebut adalah sebuah pesawat Avro Anson denga registrasi VH-PBY. Pesawat itu dibeli dengan harga 12 kg emas murni yang kemudian diberi nomor registrasi RI-003.
Terbang Bersama Iswahyudi
Dalam usaha mencari bantuan ke luar negeri inilah, bersama opsir udara I Iswahjudi pergi ke Muangthai (Bangkok) pada bulan Desember 1947 menggunakan Pesawat Avro Anson RI-003 dengan penerbang Iswahyudi, dan seorang penumpang bernama Keegan berkebangsaan Australia yang telah menjual pesawat tersebut.
Selain mengantarkan Keegan pulang, misinya adalah untuk melakukan penjajakan lebih jauh tentang kemungkinan pembelian senjata dan pesawat serta melakukan inspeksi terhadap perwakilan RI dalam mengatur penukaran dan penjualan barang-barang yang berhasil dikirim dari dalam negeri dan berhasil memasukan barang-barang dari Singapura ke daerah RI menembus blokade udara Belanda.
Sesudah menyelesaikan tugas di Bangkok, RI-003 kembali berangkat menuju Singapura. Dalam perjalanan kembali inilah pesawat terjebak dalam cuaca buruk di daerah Perak Malaysia, yang disertai dengan kabut tebal yang menghalangi pandangan sang pilot sehingga pesawat jatuh di pantai. Malapetaka itu tepatnya terjadi di Labuhan Bilik Besar, antara Tanjung Hantu dan Teluk Senangin di Pantai Lumut, 14 Desember 1947.
Almarhun Abdul Halim Perdanakusuma meninggalkan seorang istri yang pada waktu itu tengah mengandung empat bulan. jenazah almarhum yang bersemayam di Malaysia, dipindahkan dan dimakamkan kembali dengan upacara kemiliteran di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta tahun 1975 bersama rekanya, Iswahjoedi (Iswahyudi).
Baca juga : Konflik Poso: Luka yang Dalam di Sejarah Indonesia