Ahmad Lussy, juga dikenal sebagai Mat Lussy atau Kapitan Pattimura, adalah seorang pahlawan Muslim dari Maluku yang namanya terukir dalam sejarah Indonesia sebagai simbol perlawanan dan keberanian. Lahir pada tahun 1783 di Pulau Saparua, Maluku, Mat Lussy adalah seorang pemimpin yang berani menentang penjajahan Belanda dan memimpin perlawanan rakyat Maluku melawan kekuasaan kolonial
ZONA PERANG (zonaperang.com) – Sejak 1973, namanya diakui negara sebagai pahlawan nasional. Gambar wajahnya menghiasi uang kertas pecahan Rp 1.000.- Namanya bahkan identik dengan perjuangan anti-penjajahan di Maluku.
Dalam historiografi Indonesia modern, sosok ini disebutkan punya nama asli Thomas Matulesy(Sejarah Nasional Indonesia (Jilid Keempat)Lebih lanjut, buku yang terbit pada era Orde Baru itu tidak menjelaskan apa agama Pattimura.
Demikian menurut Ahmad Choirul Rofiq dalam Menelaah Historiografi Nasional Indonesia (2016). Maka wajar bila ada anggapan nama ‘Thomas’ khas budaya Eropa atau terpengaruh Kristen, sehingga yang bersangkutan beragama Nasrani.
Bagaimanapun, sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara mengajukan argumentasi. Melalui bukunya, Api Sejarah 1 (edisi revisi tahun 2014), dia menjelaskan latar belakang tokoh ini.
“Pada 14 Mei 1817, Pattimura dan pasukannya menyerang pos-pos pertahanan Belanda di Maluku. Salah satu serangan paling terkenal adalah penyerangan Benteng Duurstede di Saparua, di mana mereka berhasil mengalahkan pasukan Belanda dan merebut benteng tersebut”
Baca juga : Bagaimana Zionis Israel mengajarkan anak-anaknya untuk membenci Palestina dan Muslim?
Baca juga : Mirza Ghulam Ahmad dan Kolonialisme: Sejarah Ahmadiyah yang Kontroversial
Sejarah
Kapitan Pattimura bernama asli Ahmad Lussy alias Mat Lussy. Sosok yang lahir di Hualoy, Seram Selatan, itu beragama Islam.Sejak zaman dahulu sampai sekarang, menurut Suryanegara, siapapun yang menyandang nama ‘Pattimura’ di Ambon dan sekitarnya merupakan Muslim. “Oleh karena itu, salahlah jika dalam penulisan sejarah, Kapten Pattimura disebut seorang penganut Kristen,” tulis Suryanegara (2014: 202).
Kapitan Pattimura (Saparua, 1783 – Ambon, 16 Desember 1817), Thomas Matulessy alias Kapitan Pattimura lahir di Desa Haria, Pulau Saparua pada tanggal 8 Juni 1783. Thomas Matulessy adalah seorang kesatria keturunan dari keluarga besar Matulessia (Matulessy) yang tidak lain masih bersaudara dengan raja Maluku (kata “Maluku” berasal dari bahasa Arab Al Mulk atau Al Malik yang berarti Raja, oleh karena pedagang Arab lebih dulu menyebarkan agama Islam ke pulau-pulau Maluku dan mereka mengenal Maluku sebagai Jaziratul Mulk yang berarti Kepulauan Raja-Raja). MakaIa yang selama ini dikenal sebagai seorang Kristen, ternyata adalah seorang muslim. Karena seluruh keturunan Ambon yang bermarga Matulessy adalah Muslim.
Dipaksa untuk menerima uang kertas keluaran Belanda
Pecahnya perang melawan Belanda adalah karena para misionaris, yang didukung dan dilindungi oleh penjajah Belanda, menyebarkan agamanya kepada rakyat Maluku yang notabene sudah beragama yakni Islam.
Karena tingkah laku para misionaris menjadi keterlaluan yakni dengan menggunakan kekuatan militer Belanda maka Pattimura dan para pembesar di Maluku merasa harus bertindak.
Sebab yang lain pada 1789, di Maluku terjadi pergantian pemerintahan dari Belanda ke tangan Inggris. Saat itu, Pattimura telah berusia remaja. Beberapa sumber menyebut, dia sempat bergabung dengan dinas kemiliteran Inggris.
Konvensi London 1814 menyebabkan beberapa daerah di Nusantara kembali jatuh dari Inggris ke tangan Belanda. Termasuk di dalamnya adalah Maluku. Sementara itu, VOC telah dinyatakan bangkrut sejak 31 Desember 1799 sehingga mengubah tata kolonial di wilayah jajahannya.
Belanda Juga kian berlaku kejam terhadap penduduk Pribumi Maluku. Masyarakat setempat dijadikannya tenaga kerja paksa antara lain untuk membuat garam, membuka kebun-kebun pala, dan kemiliteran. Sejak bubarnya VOC atau awal abad ke-19, rakyat Maluku dipaksa untuk menerima uang kertas keluaran Belanda sebagai alat transaksi.
Penguasa kolonial akan menghukum siapapun yang ingin memakai kembali uang perak. Padahal, rakyat sendiri tidak punya akses yang memadai untuk memeroleh uang kertas yang dimaksud. Demikian seperti diungkap Des Alwi dalam bukunya, Sejarah Maluku (2005).
Perang Pattimura yang berskala nasional
Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sifat kesatria. Sebagai panglima perang, Thomas Matulessy mengatur strategi perang bersama pembantunya.
Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa.
Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Pattimura.
Hal ini memicu amarah rakyat. Pada 14 Mei 1817, Pattimura mulai menyerang pos-pos pertahanan Belanda di Maluku. Dia sebelumnya mendapat dukungan dari tokoh-tokoh lainnya serta rakyat Maluku. Pada Agustus 1817, dia bahkan berhasil menguasai Benteng Duurstede dan membunuh beberapa pejabat penting Belanda di sana.
Dua bulan kemudian, Belanda mengerahkan tidak kurang dari 1.500 kapal perang serta lebih banyak pasukan untuk menggempur Pattimura. Akhirnya, tokoh perlawanan ini tertangkap. Pada 16 Desember 1817, dia dijatuhi hukuman mati di Ambon. Adapun beberapa rekan seperjuangannya dibuang ke Pulau Jawa.
Baca juga : Ahmad Ibnu Fadlan Sang utusan Khalifah ke Rusia dan Film Hollywood The 13th Warrior
Baca juga : Krisis sandera kerata api Belanda 1977 : Pembajakan 19 hari oleh simpatisan Republik Maluku Selatan(RMS)