- Menggali Tragedi Nanking: Sejarah, Penderitaan, dan Perlawanan dalam City of Life and Death
- Film “City of Life and Death” (2009), disutradarai oleh Lu Chuan, adalah sebuah karya sinematik yang menggugah hati dan menggambarkan realitas kekejaman perang dengan sangat jelas. Film ini menceritakan kisah Pembantaian Nanjing, salah satu tragedi terbesar dalam sejarah Perang Dunia II, yang terjadi pada tahun 1937. Melalui penggambaran yang realistis dan emosional, “City of Life and Death” menjadi salah satu film perang yang paling menyentuh hati dan menginspirasi.
ZONA PERANG(zonaperang.com) City of Life and Death adalah sebuah film drama sejarah yang disutradarai oleh Lu Chuan dan dirilis pada tahun 2009. Film ini menggambarkan peristiwa tragis yang dikenal sebagai Pembantaian Nanjing, yang terjadi pada tahun 1937 selama Perang Cina-Jepang Kedua. Dalam peristiwa ini, tentara Jepang melakukan kekejaman yang luar biasa terhadap penduduk sipil dan tentara Tiongkok yang menyerah.
Pembantaian Nanjing, juga dikenal sebagai “The Rape of Nanking” saat Pasukan kekaisaran Jepang menyerang dan merebut kota Nanjing, ibu kota Republik Cina pada saat itu. Selama enam minggu, pasukan Jepang melakukan kekejaman yang tidak terkira, termasuk pembunuhan massal, pemerkosaan, dan penyiksaan terhadap penduduk sipil dan tawanan perang.
“Film ini membawa kita kembali ke masa lalu, saat kota Nanjing jatuh ke tangan pasukan Jepang. Melalui lensa kamera, kita menyaksikan berbagai peristiwa tragis yang terjadi, mulai dari pertempuran sengit, pembantaian massal, hingga kisah-kisah heroik para individu yang berusaha bertahan hidup di tengah keputusasaan.”
Baca juga : Buku Catatan Kaki dari Gaza, Joe Sacco: “Kisah Tragedi Penjajahan Israel dalam Gambar”
Baca juga : Tragedi Rohingya: Dari Penindasan di Myanmar hingga Pengungsian yang Tak Berujung
Sinopsis Film
Film ini dimulai dengan jatuhnya kota Nanjing ke tangan tentara Jepang. Melalui berbagai sudut pandang, termasuk tentara Jepang, penduduk Tiongkok, dan warga asing yang mencoba melindungi para korban, film ini menggambarkan kekejaman yang terjadi selama beberapa minggu setelah penaklukan. Salah satu karakter utama adalah Kadokawa, seorang tentara Jepang yang mulai meragukan tindakan brutal yang dilakukan oleh rekan-rekannya.
Sinematografi dan Sutradara
Lu Chuan, sutradara film ini, berhasil menggambarkan realitas kekejaman perang dengan sangat jelas. Dia menggunakan teknik sinematografi yang sangat efektif untuk menunjukkan kebrutalan dan kekejaman yang terjadi. Adegan-adegan yang penuh dengan kekerasan dan ketidakpastian menjadi salah satu ciri khas film ini. Lu Chuan juga berhasil menampilkan sisi manusiawi dari karakter-karakternya, membuat film ini tidak hanya sekadar kisah tentang perang, tetapi juga tentang keberanian, kekuatan, dan kemanusiaan.
“Di balik kekejaman yang digambarkan, City of Life and Death juga menyampaikan pesan kemanusiaan yang kuat. Film ini menunjukkan bagaimana beberapa individu, baik dari pihak Tiongkok maupun Jepang, berusaha untuk mempertahankan kemanusiaan mereka di tengah-tengah kekacauan dan kekejaman perang.”
Keberhasilan film ini juga terletak pada visualnya yang menakjubkan. Sinematografinya didominasi oleh gambar hitam-putih, yang memperkuat suasana suram dan getir dari peristiwa tersebut.
Baca juga : Film Grave of the Fireflies (1988): Kisah Harapan dan Cinta di Tengah Tragedi Perang