ZONA PERANG(zonaperang.com) – Sam Karundeng pindah dari Ujung Pandang ke Jakarta pada 1947. Pada tahun 1959, ia terlibat dalam salah satu petualangan politik paling berbahaya di Indonesia.
Sewaktu waktu di Singapura, Sam bertemu dengan Boy Mamahit, sahabatnya sejak 1955. Boy mengajak Sam untuk berhubungan dengan orang-orang Permesta. Sam sendiri mengaku pernah menginap di rumah Kolonel Kawilarang. Oleh seseorang bernama Willy Pantouw, Sam diperingatkan untuk tidak berhubungan dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang berbasis di Sumatra.
Menurut Abdul Haris Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 4: Masa Pancaroba Kedua (1984:391), “Pantouw memberi kesanggupan untuk bantuan dana dan membiayai gerakan.” Masih menurut Nasution, Sam melancong ke Singapura pada Juni 1959.
Boy Mamahit memperkenalkan Sam kepada Kolonel Sukanda Bratamanggala. Berkali-kali, Sam bikin rapat gelap. Sam mengajak koleganya, Herman Maukar dan Daniel Alexander Maukar alias Danny, untuk ikut dalam sebuah persekongkolan. Keduanya anak dari Enna Talumepa dan Karel Herman Maukar, seorang perwira polisi.
Sam dan si anak polisi ini sudah berkenalan sejak zaman Jepang. Kala itu, Daniel sudah jadi letnan penerbang di Angkatan Udara. Ia menolak ajakan Sam. Sikap berbeda ditunjukkan sang kakak, Herman Maukar, yang memang sudah ikut gerakan bawah tanah Sam Karundeng. Sejak Februari 1960, barulah sang letnan Angkatan Udara itu tahu bahwa nama gerakan Sam Karundeng adalah Manguni, yang bertujuan “menuntut perdamaian nasional”—begitulah terang Herman kepada Daniel yang waktu itu tinggal di Bandung.
Baca juga : 27 February 1962, Pengeboman Istana Presiden Vietnam Selatan oleh Angkatan Udaranya sendiri
Manguni
Terkait Manguni, Sam Karundeng dalam kesaksiannya di Pengadilan Maukar (21/06/1960) mengaku “sejak bulan Februari 1960 Manguni menggabung dengan organisasi–organisasi yang sudah ada di bawah Bratamanggala, oleh karena tujuan perdamaian yang ditentukan oleh Manguni.”
Di kalangan militer, seperti diakui Daniel dalam persidangannya pada Senin 20 Juni 1960 (berdasarkan Berita Acara Persidangan, ANRI Djamal Marsudi 106: Berita Acara Pemeriksaan Tertuduh Daniel Alexander Maukar dan Para Saksi Dalam Sidang Tanggal 20-23 1960), “ada perwira-perwira yang lebih tinggi daripada saya dan lebih berpengalaman ikut terlibat di dalamnya dan saya percaya mereka tidak akan berbuat sesuatu apabila tidak berhasil.” Daniel juga menyebut keberadaan kekuatan bersenjata yang akan memasuki Jakarta dengan tujuan “perdamaian nasional”.
Sam Karundeng bahkan menjelaskan ada kelompok militer dari Tentara Nasional Indonesia (ABRI) yang terlibat. Rencananya, kelompok ini akan dipimpin oleh Mayor Bunjamin dan Kolonel Bratamanggala. Suatu malam sebelum 2 Maret 1960, Sam Karundeng, Herman Maukar, dan Daniel Maukar menemui mereka guna menyusun sebuah rencana.
Sam Karundeng mengusulkan agar Daniel menembaki tangka-tangki minyak BPM di Prumpang dan Istana Negara sebagai gertakan kepada pemerintahan Sukarno.
Menurut rencana, setelah menembaki obyek vital tadi, Maukar “disuruh melompat ke Malangbong.” Di pengadilan (21/06/1960) Sam Karundeng mengaku jika daerah Malangbong adalah ”tempat operasi Batalyon 3 Mei”.
Batalion yang berdiri di Manado pada 1950 ini punya banyak personel dari Minahasa. Semula, rencana itu akan dijalankan pada 2 atau 3 Maret, diundur hingga 9 Maret 1960. Rencananya, penembakan tersebut akan disusul oleh pasukan yang bergerak ke Jakarta.
Baca juga : Peristiwa 17 Oktober 1952 : Ketika “moncong” meriam mengarah ke Istana Merdeka
Menculik Presiden
Pada 8 Maret mereka berkumpul lagi. Jika penembakan dilaksanakan pada tanggal 8, maka tanggal 9 akan ada pergerakan pasukan. Sam Karundeng berencana menculik Presiden Sukarno, Perdana Menteri Djuanda, Kepala Staf Angkatan Darat Nasution, dan Kepala Staf Angkatan Udara Surjadi Surjadarma.
“Saya dapat melaksanakan penembakan karena besoknya saya akan terbang sendiri,” aku Daniel. Tempat yang akan ditembakinya adalah tangka-tangki BPM, Istana Merdeka, dan Istana Bogor.
Pagi-pagi sekali, pada 9 maret 1960 itu, Daniel sempat bertemu Sam sejenak. Pihak Angkatan Udara tidak akan curiga, karena jadwal latihan rutin Daniel bersama pesawatnya MiG-17 Fresco memang jatuh pada hari itu.
Kebetulan ada jadwal supersonic boom, dengan sasaran selatan pangkalan Udara Halim Perdanakusumah. Daniel mendapat jatah terakhir setelah Letnan Satu Goenadi, Letnan Dua Sapoetro, dan Letnan Satu Sofjan Hamsjah.
Letnan Sofjan Hamsjah bertindak sebagai komandan latihan. Belakangan diketahui bahwa supersonic boom Maukar yang sesungguhnya berjarak agak jauh dari Halim. Sasaran pertama setelah mengudara adalah tangka bensin BPM.
Daniel tahu persis bahwa kawasan BPM adalah daerah tertutup dan sepi. Tidak sulit untuk mengetahui kawasan itu karena Herman Maukar bekerja di BPM.
Dari ketinggian “800 meter dengan sudut 30 derajat, kira-kira, saya melakukan penembakan,” kata Daniel Maukar. Ada tiga jenis senjata di pesawatnya. Namun, salah satunya rusak. Setelah sasaran pertama beres, Daniel bergerak ke Istana Merdeka.
Sebelumnya, Sam Karundeng telah membisiki Daniel bahwa tiap hari kerja, Presiden Sukarno biasanya berada di ruangan sebelah kanan istana. Dari ketinggian 600 meter, Maukar menembak dari arah selatan.
Terdapat sebuah kursi rotan yang Sukarno menamakannya kursi presiden. Di kursi itu, Bung Karno sering duduk termenung sambil memandangi taman. Namun pada hari itu Rabu 9 Maret 1960, Ia absen, tidak menduduki kursi itu karena sesuatu alasan padahal tembakan mematikan persis di tempat biasanya Bung Karno duduk di kursi tersebut.
Peluru 23 mm yang dimutahkan oleh Fresco juga menghantam pilar dan salah satunya jatuh tak jauh dari meja kerja Sukarno. Untungnya Sukarno juga tak berada di situ. Dia tengah memimpin rapat di gedung sebelah Istana Presiden.
Setelahnya, Daniel mengaku langsung menuju ke Bogor. Sesampainya di kota hujan itu, ia “lepaskan lagi tembakan di Istana Bogor” dengan meriam 37mm. Dani membawa pesawat menanjak ke ketinggian 18.000 kaki mengambil heading Bandung dan akhirnya karena kehabisan bahan bakar, pesawat itu mendarat darurat di persawahan, di daerah Leles, Garut, Jawa Barat. Menurut rencana, Sam dan Herman akan menantinya dengan memberi kode asap.
Baca juga : Apa pandangan kerajaan Arab Saudi terhadap perlawanan Palestina di Gaza?
Garut
Sam mengaku asap yang dinyalakan Herman cukup kecil hingga tak terlihat Daniel. Kala itu, Sam belum tahu jika Daniel baru saja melaksanakan penembakan. Namun, di sekitar Malangbong, Sam dan Herman tak melihat pesawat Daniel sampai akhirnya Sam mendengar berita dari radio bahwa sasaran Daniel sudah tereksekusi dan pesawat jatuh di Leles, Garut. Tak lama kemudian, Daniel jadi tahanan.
Menurut kesaksian Kapten udara Dudi Rahaju Kamarudin (21/06/1960), sayap kiri pesawat itu terputus, sayap kanan tertutup lumpur, dan airbrake-nya rusak. Daniel, pemuda kelahiran Bandung, 20 April 1932 itu mengaku telah merusak pesawatnya dengan cara pendaratan darurat di landasan udara.
“Kalau saya sehat saya akan dibawa kembali ke Jakarta malamnya,” aku Daniel. Awalnya ia sangat percaya jika pasukan bersenjata yang dimaksud Sam Karundeng bisa masuk ke Jakarta dan sukses, sehingga ia akan kembali ke Halim tanpa harus jadi pesakitan. Jika gagal, maka Daniel akan masuk hutan, bersama Herman, Sam, dan Front Pemuda Sunda. Bahkan, ada kelompok Darul Islam yang juga diyakini akan bergabung.
Dalam persidangan Selasa 21 Juni 1960, aksi Maukar dinyatakan terkait dengan Permesta yang masih bergerilya di Sulawesi Utara kala itu. Menurutnya, “mengenai operasi perdamaiannya (bersama kelompok Manguni) Permesta tidak mengetahuinya.”
Menurut Nasution (1983:392), Maukar memperoleh uang sebesar Rp20.000 dari kelompok Manguni. Setelah TH Tombang tertangkap pada 11 Februari 1960, diketahui Kelompok Manguni punya organisasi bawahan bernama Manimporok, Masarang, Mahatus, Soputan dan Mahawu.
Ketika diadili, Daniel Maukar dibela oleh Hadely Hasibuan, mantan Menteri Penurunan Harga sekaligus pembela Wahab Pena yang terkait aksi percobaan pembunuhan Sukarno (dikenal sebagai Peristiwa Cikini). “Perkara Wahab Pena dan perkara Maukar ini bagi saya sebuah kenang-kenangan tersendiri, karena dalam perkara besar seperti itu, saya sebagai advokat sering dipublikasikan dalam media-media,” aku Hadely Hasibuan dalam Hadely Hasibuan: Memoar Mantan Menteri Penurunan Harga (1995:146).
Letnan Kolonel Penerbang Omar Dhani mewakili Korps Penerbang AURI pada saat itu menyampaikan permintaan maaf kepada Presiden Sukarno. Bahkan, Kepala Staf Angkata Udara Suryadarma saat itu bermaksud mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban atas ulah anak buahnya. Namun permintaan itu ditolak.
“Kejadian ini cukup dipertanggungjawabkan oleh mereka yang terlibat,” kata Sukarno yang dikutip dari buku Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen, karya Walentina Waluyanti De Jonge.
Baca juga : SA-2 Guideline: Rudal Darat Ke Udara Legendaris AURI
Baca juga : Ibnu Al Alqami, Salah satu Dalang Di Balik Jatuhnya Baghdad
Bantah Coba Bunuh Sukarno
Dani sendiri membantah mencoba membunuh Sukarno. Dia berdalih aksinya hanya sekadar peringatan. Sebelum menembak Istana Presiden, ia sempat bertanya kepada petugas pangkalan yang baru kembali dari depan Istana. Ia bertanya apakah ada bendera kuning berkibar di depan Istana. Setelah dijawab tidak, ia tahu itu artinya Bung Karno sedang tidak berada di Istana.
Dalam pengakuannya, Dani mengungkapkan bahwa ia merasakan adanya pendekatan yang sistematis dari orang-orang yang tergabung dalam pergerakan Perdjoengan Rakjat Semesta (Permesta) terhadap dirinya. Namun waktu itu, ia belum menyadari.
Diakuinya ia mulai termakan hasutan tentang kisah ketimpangan pembangunan di Sulawesi Utara. Menurutnya ini tidak adil. Padahal Sulawesi Utara sudah banyak diperas untuk pembangunan negara, di antaranya melalui hasil kopra.
“Provokasi itu semakin diperuncing dengan kisah tentang Sukarno yang mulai main mata dengan Komunis,” kata Walentina dalam bukunya, Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen.
Itu membuat para pejuang Minahasa di Permesta merasa dikhianati, padahal tidak sedikit pejuang Minahasa yang ikut mempertaruhkan nyawa berjuang merebut kemerdekaan. Umumnya para pemberontak separatis di berbagai daerah ketika itu, termasuk Permesta adalah pejuang yang gagah berani dalam mengusir Belanda pada masa revolusi.
Gejolak darah muda Dani mulai terbakar dengan semua kisah provokatif tersebut. Rasa cinta pada tanah leluhurnya bangkit untuk memprotes ketidakadilan itu. Idealismenya sebagai pemuda Minahasa yang peduli nasib kampung halamannya membuat Permesta semakin bergairah mendekatinya.
“Keandalannya sebagai pilot pesawat tempur MiG 17 plus darah kawanua-nya membuat Permesta melirik potensinya. Dani memang sangat mahir bermanuver tajam dengan jet MiG-17 bahkan dalam keadaan mati mesin, ia masih mendaratkan pesawatnya dengan selamat,” tulis Walentina.
Daniel Maukar mengaku kecewa dengan cara Soekarno memberantas gerakan Permest, padahal di matanya, orang-orang Permesta kebanyakan adalah pejuang-pejuang berjasa bagi negara. Permesta hanya ingin pembenahan otonomi. Sparatisme bukanlah tujuan. “Penyerangan ke Istana adalah ekspresi kekecewaannya sekaligus ingin memperingatkan Bung Karno,” tulisnya lagi.
Setelah melalui persidangan yang memakan waktu cukup panjang, Daniel Maukar kemudian dijatuhi hukuman mati. Namun pada 22 Juni 1961, Sukarno mengeluarkan surat Keputusan Presiden No. 322 tahun 1961 yang berisi pemberian amnesti dan abolisi kepada para pengikut gerakan Permesta yang telah memenuhi panggilan pemerintah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Bulletin Djembatan Kawanua (1968: xxiv) menyebutkan bahwa Daniel dibebaskan pada Rabu 20 Maret 1968. Uang pensiun tetap dibayarkan. Daniel tutup usia pada 16 April 2007, tepat hari ini 13 tahun lalu, di Rumah Sakit Cikini, Jakarta.