Dampak Pengkhianatan Orang Cina terhadap Kebijakan Tanah di Yogyakarta
ZONA PERANG(zonaperang.com) Bukan tanpa alasan Kasultanan Yogyakarta melarang etnis Cina memiliki aset tanah diwilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Selain sudah memiliki payung hukum yakni UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, ternyata ada sejarah panjang yang melatarbelakangi aturan itu.
“Daerah Istimewa setingkat provinsi di Indonesia yang merupakan peleburan dari Negara Kesultanan Yogyakarta dan Negara Kadipaten Paku Alaman”
Bagi warga DIY yang usianya di atas 50 tahun tentu mengenang kiprah almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX. Beliau adalah Raja Kasultanan Yogyakarta, Gubernur DIY, mantan Wakil Presiden RI, pejuang, dan pahlawan negara. Beliau juga adalah ayahanda dari Sri Sultan HB X yang saat ini memerintah.
Baca juga : Imperialisme Baru Cina: Ancaman Baru bagi Kedaulatan Sebuah Negara
Baca juga : 13 Februari 1755, Perjanjian Giyanti : Terbaginya Kerajaan Islam Mataram oleh Keserakahan dan Tipu daya
Pemimpin rakyat yang melindungi
Almarhum Jenderal TNI. (Tit.) (Purn.) H. Sri Sultan Hamengkubuwana IX dikenal sebagai pemimpin yang sangat merakyat dan dicintai rakyatnya. Beliau sering blusukan ke pasar-pasar bukan untuk cari dukungan, tapi ingin membantu warga miskin. Beliau sudah kaya dan terhormat dari lahir, sehingga tidak butuh pencitraan.
Sejarah mencatat, beliau punya peran besar dalam kemerdekaan RI dan upaya mempertahankan kemerdekaan. Sampai-sampai beliau dan Bung Karno berinisiatif memindahkan ibukota ke Jogjakarta untuk mempertahankan kemerdekaan, serta beliau membangunkan gedung Istana Negara di Yogyakarta (sampai sekarang masih berdiri, disamping Malioboro, seberang Benteng Vredeburg).
Sejarawan mencatat, beliau beberapa kali ditawari menjadi presiden dan memiliki beberapa kesempatan menjadi presiden, tapi sang Sultan tidak mau. Beliau hanya sekali menjadi wapres (zaman presiden Soeharto, 1973–1978) dan itu pun hanya satu periode dan setelah itu tidak mau lagi dipilih kembali.
Saat Wafat
Kecintaan warga DIY terhadap almarhum sangat tinggi. Wajar ketika Gusti Raden Mas Dorodjatun wafat di tahun 1988, sepanjang jalan dari keraton hingga Imogiri Bantul sejauh 16 km (kompleks makam Raja-Raja Mataram Islam beserta keturunannya) dijejali para pelayat. Jumlah pelayat diperkirakan mencapai 500.000 orang.
“Beliau wafat saat melakukan pemeriksaan kesehatan di Amerika Serikat. Presiden Ronald Reagan menawarkan pesawat kepresidenan Air Force Two (tanda panggilan kontrol lalu lintas udara yang membawa wakil presiden Amerika Serikat) untuk menerbangkan Jenasahnya kembali di tanah air tetapi ditolak”
Guiness Book of International Record mencatat peristiwa itu sebagai jumlah pelayat terbanyak di dunia yang pernah ada. Koran dan media besar nasionalpun menjadikannya sebagai topik bahasan utama: perginya pemimpin besar, pembela rakyat nan sejati. Yang menarik dari beliau ialah sikapnya terhadap warga keturunan Cina. Beliau orang yang sangat humanis dan tidak membeda-bedakan, namun urusan kebijakan pemerintahan beliau sangat tegas.
Baca juga : (Melawan Lupa)Pao An Tui, Sisi Kelam Masyarakat Cina pendukung Belanda di Indonesia
Baca juga : Kebijakan berbahaya Presiden Xi Jinping rangkul masyarakat Cina perantauan
Sejarah Pengkhianatan Orang Cina
Salah satu aturan peninggalan beliau ialah melarang warga keturunan Cina untuk memiliki tanah di Yogyakarta, dalam artian tanah sebagai hak milik. Warga keturunan hanya boleh punya Hak Pakai atau Hak Guna Bangunan (HGB). Aturan ini sampai sekarang masih berlaku di DIY, dan ini salah satu keistimewaan DIY.
Aturan ini lahir karena ada sejarahnya, yakni pada tahun 1948 atau tahun-tahun saat mempertahankan kemerdekaan RI. Sejarah mencatat bahwa etnis Cina lebih memilih membantu pasukan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia ketimbang ikut berjuang bersama elemen bangsa.
Dalam sejarah, ini dicatat sebagai Agresi Militer II Belanda, yakni di Bulan Desember 1948. Saat itu komunitas Cina yang ada di Yogyakarta justru berpihak dan memberikan sokongan ke Belanda yang sebelumnya sudah menjajah dan merampok Nusantara selama 350 tahun.
Sejak itulah Sultan HB IX kemudian mencabut hak kepemilikan tanah terhadap etnis Cina di Yogyakarta.
Menjadi kaki tangan Belanda dan PKI
Selama berabad-abad Belanda mewariskan struktur ekonomi didominasi ke pedagang Cina. Penghianatan Cina di Nusantara antara lain:
Menjadi kaki tangan Belanda dalam menjajah Nusantara, menzalimi waga pribumi dengan sebutan Inlander dan digolongkan dalam kelas terbawah, dalam pertempuran 10 November 1945 memberi ruang gerak sekutu, sebagai kaki tangan Belanda dalam pertempuran agresi pertama 21 Juli 1947, mendirikan dan mendanai PKI Muso termasuk mensuplai senjata ke PKI DN Aidit pada peristiwa G 30 S /PKI.
Baca juga : 27 Agustus 1628, Penyerbuan Ke Batavia: Serangan Agung Sultan Agung
Baca juga : Cina Tawarkan 100.000 Senjata Gratis untuk Angkatan Kelima PKI
Mengiijinkan dengan syarat
Tahun 1950, ketika NKRI kembali tegak dan berhasil dipertahankan dengan keringat dan darah, komunitas Cina akan eksodus dari Yogyakarta.
Namun Sultan HB IX masih berbaik hati dan menenangkan mereka meskipun nyata-nyata telah berkhianat. “Tinggallah di Jogja. Tapi maaf, saya cabut satu hak Anda, yaitu hak untuk memiliki tanah.”
Itulah kenapa hingga sekarang ini pengusaha Cina tidak punya hak milik atas tanah diberbagai pusat bisnis di Yogyakarta. Mereka hanya bisa punya hak guna atau hak pakai sampai jumlah tahun tertentu.
Hal ini diperkuat bahwa pada 1975, Paku Alam VIII (BRMH Sularso Kunto Suratno) menerbitkan surat instruksi kepada bupati dan walikota untuk tidak memberikan surat hak milik tanah kepada warga negara non pribumi. Surat ini masih berlaku.
Surat instruksi tersebut mengizinkan warga keturunan memiliki tanah dengan status HGB, bukan Sah Hak Milik (SHM). Bila tanah tersebut sebelumnya dimiliki pribumi, lalu dibeli warga keturunan, maka dalam jangka tahun pemakaiantertentu tanah itu status kepemilikannya dialihkan pada negara.
Digugat Oligarki dan Cukong
Kalangan investor dan cukong sudah beberapa kali menggugat aturan itu dan mengadukan hal itu ke presiden. Dalihnya ialah aturan itu dianggap rasis dan tidak adil. Para penggugat itu biasanya menyuruh dan mendanai LSM. Namun oleh Mahkamah Agung (MA) tetap tidak dikabulkan karena hal itu bagian dari keistimewaan DIY.
Begitulah almarhum Sri Sultan HB IX yang visioner bahkan untuk saat ini, tahu bagaimana mencintai dan menjaga negerinya. Beliau tahu bagaimana berbuat baik kepada sesama dan mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa atau sejarah.
Baca juga : Peran Suharto dan Sultan HB IX dalam Serangan Umum 1 Maret 1949
Baca juga : 13 Mei 1969, Kerusuhan besar antara suku Cina dan Melayu di Malaysia