ZONA PERANG (zonaperang.com) – Djibouti merupakan negara kecil berpenduduk mayoritas beretnis Somali bekas jajahan Perancis yang merdeka tahun 1977 dan berhasa Arab sebagai bahasa resminya. Djibouti hanya berukuran 23.250 kilometer persegi(lebih luas dari bengkulu yang 19.900km persegi), namun memiliki keunikan yang mencengangkan, negara di pinggir Teluk Aden ini menjadi markas militer enam negara secara resmi.
Letak Djibouti yang berada di ujung Tanduk Afrika memudahkan akses yang strategis ke Selat Bab el-Mandeb. Selat tersebut, dengan ketinggian hanya 18 mil di titik tersempitnya, menghubungkan Laut Mediterania melalui Terusan Suez dan Laut Merah ke Teluk Aden dan Samudra Hindia. Sangat strategis laksana Gibraltar.
Baca Juga : Gibraltar, Gerbang Thariq bin Ziad ke Andalusia
Jalur-jalur itu termasuk jalur tersibuk dan terpenting di dunia. Jutaan barel minyak dan produk minyak bumi negara-negara Arab dan Afrika melewati selat itu setiap hari. Pelabuhan laut yang juga menjadi ibu kota Djibouti disebut sebagai “Hong Kong di Laut Merah” karena sangat sibuk dan gaya hidup metropolis penghuninya yang mencolok bila dibandingkan dengan wilayah di sekitarnya.
Dubes Indonesia untuk Ethiopia, Djibouti dan Uni Afrika; Al Busyra Basnur, menceritakan keunikan Djibouti. “Penduduknya sekitar 1 juta jiwa, 90 persen menganut agama Islam,” kata Dubes Basnur. Tidak ada Kedutaan Besar Indonesia di negara tersebut. Kepentingan Indonesia dan timbal baliknya dirangkap oleh Kedutaan Besar Indonesia di Addis Ababa di Ethiopia.
Baca Juga : Krisis Tigray di Ethiopia: Apa yang terjadi? – penjelasan dalam versi pendek, sedang, dan panjang
“Setiap ada kepentingan Indonesia di Djibouti, maka saya atau rekan kerja saya di kedutaan, terbang dari Addis Ababa ke Djibouti. Tida jauh, hanya 1,5 jam saja dengan pesawat terbang,” ujar diplomat Indonesia tersebut dalam paparannya di channel YouTube The B Siblings
Hubungan resmi bilateral kedua negara baik di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya berlangsung dengan sangat baik, khususnya sejak dibukanya hubungan diplomatik kedua negara pada 1979.
Markas Militer 5 negara
“Djibouti adalah salah satu gateway produk-produk Indonesia ke Afrika Timur terutama ke Ethiopia,” ujar Dubes Basnur. “Di Djibouti terdapat pangkalan militer Amerika Serikat, Prancis, Italia, China, Saudi Arabia dan Jepang,” lanjut dia. “Selain itu, Djibouti menjadi markas besar Gugus Tugas Angkatan Laut Uni Eropa.” “Kenapa banyak sekali, karena meskipun Djibouti negara berukuran kecil, namun memiliki peran yang sangat penting dan strategis, terutama di bidang ekonomi,” kata dia.
Amerika Serikat (AS) memiliki basis permanen militer terbesar di Djibouti yang bernama Camp Lemonnier. Kamp ini adalah bekas basis militer Prancis yang kemudian disewakan ke AS(berbagi dengan Inggris). Kamp tersebut menampung setidaknya 4.000 personel militer sejak tahun 2001 dan markas bagi US Africa Command (AFRICOM).
Baca Juga : Inggris Secara Rahasia menempatkan 48 Bom Nuklir 25kt “Red Bread”di Pangkalan Udara Tengah Singapura
Prancis juga memiliki pasukan sekitar 1.500–1.700 prajurit termasuk Legiun Asing yang terkenal. Dipangkalan ini negara tersebut juga melayani kepentingan AB Jerman dan Spanyol.
Negara Asia pertama yang mendirikan pangkalan ini adalah Jepang(juga merupakan pangkalan pertama jepang di luar negeri). Jepang mengirimkan 180 prajurit dan tinggal di lahan seluas 12 hektare yang letaknya dekat dengan Camp Lemonnier.
Bagi Saudi Arabia Djibouti adalah pangkalan militer dalam peranannya dalam perang melawan Houhti syiah dukungan Iran sedangan Italia menjadikan negeri ini basis logistik bagi angkatan bersenjatannya serta menempatkan pasukan khusus disana
Tempat yang sangat Startegis
Beberapa alasan mengapa Djibouti menjadi tempat favorit untuk membangun pangkalan militer antara lain karena negara ini relatif stabil sehingga penting berada di sana untuk memantau situasi gejolak politik dan ekonomi di Timur Tengah. Jalur perdagangan di kawasan itu sering menjadi sasaran perompak dari kelompok-kelompok kriminal di Somalia.
Jalur ini juga sering digunakan oleh kelompok teroris, untuk menyuplai senjata-senjata di kawasan Timur Tengah. Dari Djibouti, AS banyak melakukan operasi-operasi militer, baik yang bersifat rahasia atau terbuka. Paling penting dari posisi Djibouti adalah kunci untuk mengumpulkan segala macam data intelijen yang berputar di kawasan tersebut dan melakukan pengawasan atas informasi itu.
Markas Militer Di Luar Negeri Pertama Bagi China
China sendiri menjelaskan melalui media massa yang dikelola negara bahwa pembangunan basis militer di sana adalah untuk tujuan perdamaian. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang mengatakan pada sebuah konferensi pers pada Rabu (12/7) bahwa basis dukungan Cina di Djibouti akan bermanfaat bagi China untuk memenuhi tanggung jawab internasionalnya terhadap konvoi pasukan perdamaian di Teluk Aden dan di perairan lepas pantai Somalia serta menawarkan bantuan kemanusiaan (Global Times, 2017).
Peran utama pangkalan tersebut adalah untuk mendukung kapal perang China yang beroperasi di wilayah tersebut dalam operasi anti-pembajakan dan operasi kemanusiaan. “Ini bukan tentang cara mengendalikan dunia,” kata editorial media tersebut. Basis militer itu juga akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan operasional seperti menyediakan dukungan logistik bagi patroli anti-pembajakan angkatan laut di Teluk Aden, mengevakuasi orang-orang dalam kondisi krisis, dan memberikan dukungan logistik dalam pemeliharaan perdamaian.
Pilot Project China untuk Memperluas Pengaruh
Terlepas dari pernyataan resmi tersebut, dinilai bahwa kehadiran pangkalan militer China di Djibouti adalah pilot project China untuk memperluas pengaruh. Pilihan Djibouti adalah pilihan yang strategis secara politik karena akan mengurangi gempa politik daripada bila dilakukan di negara lain.
Kehadiran China ini sebetulnya telah membuat Jepang khawatir ketika pembangunan infrastruktur dimulai pertama kalinya di bulan Februari 2016. Jepang memperpanjang sewa lahan untuk kamp militer dan menjanjikan bantuan USD30 juta untuk negara-negara di Benua Afrika.
Baca Juga : Dinas Rahasia Inggris M16 : China Menjerat dan Menjebak Negara Miskin dan Berkembang dengan Utang
Jumlah itu sebetulnya baru setengah dari USD60 juta yang dikucurkan China ditambah dengan penghapusan utang beberapa negara Afrika. Kehadiran militer selain untuk mengamankan jalur ekonomi dan perdagangan juga secara pasti memperkuat daya penggentar terhadap kekuatan lain. Lersch dan Sarti (2016) mengatakan bahwa pembentukan basis militer asing adalah kunci untuk memahami distribusi kekuasaan dalam ruang lingkup pengaruh di dunia.
Mempertahankan kontrol Kekuatan Infrastruktur di masa Perang
Pembangunan basis militer di negara asing yang berdaulat adalah mekanisme awal untuk membangun jaringan massa dengan fungsi utama mempertahankan kontrol, terutama oleh kekuatan atau negara yang besar. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa jaringan itu tidak akan menjadi infrastruktur perang di masa datang atau ketika keadaan menentukan.
Pangkalan militer asing menjadi perangkat kepanjangan tangan organisasi yang paling penting seperti NATO dan Uni Eropa. Hal itu terjadi di Ukraina, Rusia, dan Krimea dan saat ini di Afrika. Keberadaan pangkalan militer asing itu sendiri berubah setelah Perang Dunia II atau khususnya sesudah runtuhnya blok Soviet.
China baru mengirimkan tenaga militer belakangan ini, yakni ke kawasan Sudan Selatan dan Mali. Itu pun dalam misi perdamaian PBB. Hal itu dilakukan karena ada banyak pekerja dari daratan China yang bekerja di sana dan butuh untuk diselamatkan.
Di luar itu, sepanjang catatan, China tidak pernah mengirimkan tenaga militer. Oleh sebab itu, kehadiran militer China di Djibouti adalah lembaran baru kebijakan politik China yang terjadi seiring dengan semakin besarnya kepentingan negara tersebut di Afrika dan Timur Tengah.
Hubungan ekonomi antara China dan Benua Afrika semakin mesra seiring dengan menguatnya perekonomian China. China melampaui AS sebagai mitra dagang terbesar Afrika pada 2009. China adalah tujuan ekspor sebesar 15% sampai 16% ekspor Sub-Sahara Afrika dan sumber impor 14% sampai 21% dari impor wilayah tersebut, menurut perkiraan dari Thomson Reuters dan The World Bank (Eleanor Albert, 2017).