Salah satu ekspedisi paling berbahaya yang dilakukan Nabi Muhammad dan pengikutnya. Kaum Muslim juga mengerahkan pasukan yang sangat masif.
ZONA PERANG (zonaperang.com) Tidak lama setelah Perang Hunain meletus pada 630 Masehi, Kaisar Romawi Timur Flavius Heraclius mengembalikan salib suci ke Yerusalem. Ini menandai tercapainya kemenangan Bizantium atas Persia. Sungguh hal yang menggembirakan bagi Heraklius, karena Persia harus mengevakuasi tentaranya dari Suriah dan Mesir.
Ancaman eksistensi Bizantium
Namun, di Suriah, suatu bahaya lain segera mengancam Bizantium. Bahaya itu berasal dari kaum Muslim.
Berita kemenangan Bizantium atas Persia memiliki pengaruh penting bagi orang Islam, karena Alquran telah meramalkan kemenangan itu beberapa tahun sebelumnya.
“Bangsa Romawi telah dikalahkan, di negeri yang terdekat dan mereka setelah kekalahannya itu akan menang dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan setelah (mereka menang). Dan pada hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman,” QS. Ar-Rum(Bangsa Romawi) ayat 1-4.
Membuka kemungkinan perjanjian
Bukan saja kebenaran Alquran telah diperkuat dengan kejadian itu, tetapi berita kekalahan Persia juga membuka kemungkinan perjanjian dengan orang Kristen di utara. Orang Islam sebenarnya baru mengetahui berita kekalahan Persia beberapa minggu kemudian.
Dalam masa itu, berita dari utara agak meresahkan hati. Semua berita mengarah pada kesimpulan bahwa Bizantium yang perkasa dan kuat secara militer serta dana telah membangun aliansi dengan suku-suku Arab dan mereka sedang mempersiapkan serangan besar-besaran terhadap Nabi Muhammad dan pengikutnya.
“Melindungi Madinah dari dari ancaman Utara, dari Bizantium dan Persia”
Penyebabnya adalah Perang Mu’tah yang mengawali permusuhan Arab-Romawi, karena utusan umat Islam, Hazrat Harits bin Umair al-Azdi, dibunuh oleh Shurahbil bin Amr al-Ghassani (gubernur Arab Balqa) .
Utusan Muslim itu membawa pesan damai Islam dan pertumpahan darah seorang Muslim yang tidak bersalah ini menyebabkan Pertempuran Mu’tah dan dengan demikian, umat Islam berhadapan langsung dengan Bizantium.
Menurut Abu Bakr Siraj al-Din (Martin Lings) dalam karyanya, Muhmmad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik (2017), sebagian kabar ini tampaknya dibesar-besarkan dan sebagian cenderung justru tidak benar. Suku-suku Arab Suriah tidak sedang bersiap menyerang. Begitu pula dengan Heraklius. Perjalanannya ke selatan didorong oleh mimpinya tentang “kemenangan kerajaan orang yang dikhitan”. Dia yakin bahwa orang itu adalah Nabi Muhammad SAW (hlm. 460).
Heraklius tidak berupaya lebih jauh untuk meyakinkan rakyatnya perihal mimpinya itu. Dia memilih kembali ke Konstantinopel. Rasa tanggung jawab kepada kerajaan mendorongnya membuat perjanjian damai dengan Nabi Muhammad, dan memberikan provinsi Suriah kepadanya. Akhirnya, ide itu dibatalkan.
Baca juga : 5 Fakta Muhammad al-Fatih Sang Penakluk Konstantinopel
Baca juga : Abdullah bin Saba’, Yahudi, Syiah dan Kekacauan dunia
Selamat tinggal untuk terakhir kalinya
Namun, Heraklius tidak mungkin mengubah keyakinannya. Dalam perjalanan pulang, ketika mencapai terusan yang dikenal sebagai gerbang Cilician, dia menengok kembali ke selatan dan berkata, “Wahai tanah Suriah, kuucapkan selamat tinggal untuk terakhir kalinya (hlm. 461-462).
Sementara itu, Nabi Muhammad juga yakin bahwa Allah akan membukakan Suriah bagi pasukannya. Entah karena merasa waktunya telah tiba atau karena ingin memberikan semacam latihan bagi tentaranya, Beliau memerintahkan ekspedisi melawan Bizantium dan mengerahkan pasukan yang terbesar serta terbaik yang ia pimpin sendiri.
Sampai saat itu, Nabi Muhammad biasanya tidak menyatakan maksud yang sebenarnya dan tetap menjaga berbagai persiapannya serahasia mungkin. Namun, kali ini tidak ada upaya untuk merahasiakan gerakan operasi militer ini.
A pre-emptive strike
Ekspedisi ini begitu berbahaya, sehingga untuk pertama kali Nabi Muhammad memberitahukan pada sahabatnya tentang tujuan pengerahan pasukan.
Mereka bergerak ke utara untuk mengantisipasi kedatangan pasukan musuh dan, jika perlu, mengejutkan mereka di wilayah mereka sendiri/a pre-emptive strike.
Musim sedang tidak bersahabat. Pasukan Islam akan menghadapi cuaca yang teramat panas sampai mereka tiba di utara. Pengerahan pasukan kali ini benar-benar massal, dan Nabi Muhammad meminta para sahabat untuk memberi kontribusi sebanyak yang mereka mampu untuk membiayai ekspedisi tersebut.
Tariq Ramadan dalam In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad (2007) meneroka bahwa Umar bin Khattab memberikan separuh hartanya dan Abu Bakar mempersembahkan seluruh hartanya. Utsman juga menonjol dengan menyediakan kuda untuk separuh kebutuhan pasukan.
Betapa pentingnya ekspedisi
Semua unta dan kuda di daerah itu telah dikerahkan, tapi belum juga mencukupi kebutuhan semua pasukan. Sebagian dari mereka menangis karena tahu betapa pentingnya ekspedisi itu. Ada dugaan bahwa kekuatan musuh sedemikian besar sehingga masa depan masyarakat Muslim benar-benar terancam (hlm. 320).
Pasukan Islam berangkat ke Tabuk pada akhir Oktober 630 M (bulan Rajab, tahun ke-9 Hijriah). Armada perang itu berjumlah tiga puluh ribu personil dan komando pasukan dipegang langsung oleh Rasulullah ﷺ . Dia meminta Ali bin Abu Thalib untuk tinggal bersama keluarganya.
Tapi Ali dirundung kaum munafik. Ali tidak tahan ejekan itu dan akhirnya pergi menyusul pasukan. Namun, Nabi Muhammad memerintahkan Ali pulang ke Madinah dan memintanya untuk berperan seperti Harun bagi saudaranya, Musa, yang menjadi penjaga kaumnya tatkala dia pergi (hlm. 321).
Perjalanan akan sangat berat
Seperti telah diduga sebelumnya, panas begitu menyengat dan perjalanan ke utara sangat berat. Empat orang sahabat dekat Nabi Muhammad memilih tinggal di Madinah karena tahu bahwa perjalanan akan sangat berat.
Salah seorang di antara mereka, Abu Khaytsamah/Abu Dzar Al-Ghifari merasa sangat menyesal dan sepuluh hari kemudian dia menyusul ekspedisi(karena harus menunggangi keledai). Nabi Muhammad sangat gembira melihat kedatangannya, setelah dia sedih akibat keengganan empat sahabatnya itu, yang ditafsirkan sebagai kepengecutan dan pengkhianatan.
Abu Khaytsamah dimaafkan ketika mengungkapkan penyesalannya dan desakan hatinya untuk segera menyusul pasukan. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan ketiga sahabat lain, termasuk sahabat dekat Nabi, Ka’b ibn Malik: mereka memilih tinggal di Madinah dan menjalani kesibukan masing-masing.
Baca juga : 5 Perang Besar dan Bersejarah yang Terjadi di Bulan Ramadan
Baca juga : 26 Agustus 1071, Pertempuran Manzikert : Jalan Awal Utsmani Turki di Byzantium(Romawi Timur)
Dua puluh hari
Pasukan Islam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari, tetapi lama-kelamaan tampak jelas bagi mereka bahwa rumor tentang rencana penyerangan dari utara tidak berdasar. Tidak ada suku yang siap berperang dan tidak ada tanda-tanda kehadiran pasukan Bizantium di wilayah itu.
Selama di Tabuk, Nabi Muhammad berhasil membangun aliansi dengan satu suku Kristen dan satu suku Yahudi. Mereka tetap menganut agama masing-masing dan bersedia membayar pajak (jizyah) sebagai ganti atas perlindungan dari kaum Muslim.
Pajak militer kolektif
Dalam konteks ini, jizyah dipahami sebagai pajak militer kolektif yang dibayarkan suku-suku yang tidak ikut serta dalam pertempuran bersama orang Islam, tetapi sebagai gantinya pemerintah Islam akan menjamin pertahanan, perlindungan, dan kelangsungan hidup mereka.
Dari Tabuk, Nabi Muhammad mengirim Khalid bin al-Walid lebih jauh lagi ke utara untuk mengepung sebuah benteng orang Kristen dan membentuk aliansi untuk mengamankan jalur menuju Irak dan Suriah. Semua operasi itu berhasil dan Nabi Muhammad kembali ke Madinah bersama seluruh pasukan.
Meski sangat melelahkan dan tidak terjadi pertempuran apapun, ekspedisi itu ternyata tidak sia-sia. Besarnya jumlah pasukan menanamkan kesan kuat di seluruh Semenanjung Arab bahwa kemampuan Nabi mengerahkan pasukan memang luar biasa. Kewibawaan dan posisi politik Nabi Muhammad pun semakin kuat.
Mengampuni Mereka yang Pengecut
Menurut Muhammad al-Ghazali dalam Sejarah Perjalanan Hidup Muhammad (2003), Perang Tabuk hampir menyerupai Perang Ahzab (Khandaq). Pada mulanya kaum Muslim mengalami cobaan yang amat berat, namun berakhir dengan ketenangan, malah menambah kekuatan.
Selama 20 hari di Tabuk, Nabi Muhammad memfokuskan perhatian ke seberang Sahara untuk mengawasi gerak-gerik musuh. Namun, setelah melihat bahwa musuh tidak juga melancarkan serangan, dia memutuskan untuk pulang ke Madinah dengan membawa keberhasilan dan kemenangan (hlm. 542).
Kaum Muslim pulang dari Tabuk pada awal Ramadan. Ketika tiba di Madinah, Nabi Muhammad diberitahu bahwa putrinya, Umm Kultsum, telah meninggal dunia. Dia sangat terpukul dan bersedih mendengar kabar itu. Begitu pula Utsman bin Affan, suami Umm Kultsum, yang telah kehilangan istri untuk kedua kalinya (dia menikahi dua putri Nabi Muhammad).
Mereka telah dimaafkan
Mengenai tiga sahabatnya yang tidak ikut ekspedisi, Nabi Muhammad meminta mereka untuk dijauhi dan mengumumkan bahwa tidak ada satu pun sahabat lain yang boleh berbicara tentang nasib mereka. Lima puluh hari kemudian, turun wahyu yang menyatakan bahwa mereka telah dimaafkan.
Apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit terasa oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari siksa Allah melainkan kepada-Nya saja (Q.9 QS. At-Taubah Ayat 118).
Ketika mendengar kabar itu, Ka’b bertanya kepada Nabi Muhammad yang berseri-seri karena gembira, apakah pengampunan itu berasal dari Allah SWT. Kabar tersebut diterima dengan sukacita oleh semua sahabat, yang sebelumnya terpaksa memboikot ketiga saudaranya itu.
Wahyu tersebut juga memberikan sebuah pelajaran berharga. Ia memperlihatkan betapa buruknya sikap mementingkan urusan pribadi dan keengganan untuk mengorbankan diri demi keselamatan kaum Muslim.
Baca juga : Daftar Nama Besar Para Pejuang Islam Sepanjang Masa
Baca juga : Kisah Sahabat Nabi : Tsumamah bin Utsal Sang Pemboikot Ekonomi Quraisy
https://www.youtube.com/watch?v=UIsAGlaF4OM