Hartojo Moekardanoe: Pilot Pribumi yang Menjadi Pelaku, Perang Laut Aru dan Usaha mempertahankan Papua Barat tetap di tangan Belanda
ZONA PERANG(zonaperang.com) Sejak 15 Januari 1962, pesawat patrol laut Lockheed Neptune P2V-7B milik Koninklijk Marine (KM) alias Angkatan Laut Kerajaan Belanda melihat tiga kapal perang tengah melintasi Laut Aru. Dari radar pesawat S-band AN/APS-20 (AEW), pilot Neptune ini sudah melihat kapal-kapal milik Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) itu mengarah ke pantai Papua.
Kapal-kapal yang dilihat pesawat Neptune itu adalah motor torpedo boat (MTB) atau Kapal Cepat Torpedo kelas Jaguar buatan Jerman Barat tetapi tanpa torpedo karena diembargo Inggris, yang terdiri dari KRI Matjan Tutul (650), KRI Matjan Kumbang (653), dan KRI Harimau (654). Mereka mengangkut perwira-perwira penting dari Angkatan Laut dan Angkatan Darat Indonesia dalam operasi Trikora.
Awak Neptune sadar, tak mungkin mereka menghadapi armada-armada RI itu sendiri. Tak tunggu lama, pilot itu mengirim sinyal tanda bahaya kepada kapal-kapal perang Belanda yang sedang patroli: HNLMS Evertsen (D802), HNLMS Kortenaer (D804), dan HNLMS Utrecht (D817).
Baca juga : Pertempuran Bojong Kokosan 1945 : Perang Konvoi Pertama di Indonesia
Infiltrasi Nekat ke Irian Barat
“Pada pukul 21.45, setelah saya pastikan konvoi tersebut telah masuk wilayah perairan Papua, Neptune saya mulai persiapan untuk mengawali serangan,” aku si pilot Neptune di kemudian hari, seperti dicatat Julius Pour dalam Konspirasi di Balik Tenggelamnya Matjan Tutul (2011:123).
‘Sidhoparomo, masih ingat bagaimana awal terjadinya malapetaka pada malam itu. Saat memasuki Laut Arafuru, situasi gelap gulita. Bintang-bintang dan bulan sama sekali tak nampak. “Kami semua memandang tajam ke arah radar,” ujar Komandan KRI Matjan Kumbang tersebut.’
Kondisi gelap itu membuat awak Neptune butuh penerang. Lampu suar pun ditembakan agar kapal lawan terlihat di kegelapan Laut Aru. Tembakan suar pertama gagal. Setelah tembakan kedua sukses, barulah serangan terhadap KRI-KRI yang hanya bersenjatakan meriam 12,7mm dan dua meriam 40 mm Bofors itu mulai dilakukan Neptune. Sasaran ini tergolong empuk bagi Belanda yang bersenjata lengkap dan lebih siap karena laporan intelejen.
Armada-armada Belanda lain pun turut menembaki armada Indonesia. Begitu mudahnya, pihak armada laut Indonesia dibuat tak berdaya. Penyerangan itu membuat KRI Matjan Tutul tenggelam, menewaskan banyak awaknya, termasuk Komodor Yosaphat Soedarso. Peristiwa ini memilukan Angkatan Laut dan memalukan juga semua orang Indonesia. Belakangan, Yos Sudarso jadi Pahlawan Nasional karena pengorbanannya dalam pertempuran itu.
“…kapal-kapal perang Belanda mulai menembak pada suatu formasi kapal-kapal Indonesia yang sedang bergerak di perairan territorial Belanda, di arah selatan pantai Irian,” demikian laporan Radio Australia pada 16 Januari 1962.
Baca juga : (Melawan Lupa)Pao An Tui, Sisi Kelam Masyarakat Cina pendukung Belanda di Indonesia
Baca juga : Pengkhianatan PKI (Partai Komunis Indonesia) : Sejarah yang tidak boleh dilupakan oleh kita semua
Pilot Neptune Berdarah Jawa
Pilot yang mengawaki Neptune itu bukanlah orang Belanda tulen, melainkan seorang berdarah Jawa bernama Hartojo “Moek” Moekardanoe dan biasa disapa Harry. Dia bukan pilot kemarin sore. Menurut keterangan Zitting 1953—1954 — 358 7 Naturalisatie van Hendrik Petrus van den Abeele en 20 anderen Memorie van Toelichting Nomor 3, Hartojo yang kelahiran Balige (Sumatra Utara) 19 Maret 1923 dan anak pegawai pekerjaan umum kolonial itu melamar dan diterima dalam Angkatan Laut Kerajaan Belanda sejak 1941.
Di masa Perang Dunia II, Hartojo ikut mengungsi ke Australia setelah Hindia Belanda dikuasai Jepang. Dia kemudian belajar penerbangan di Amerika. Harry lantas ditempatkan di Marine Luchtvaart Dienst (MLD) alias Dinas Penerbangan Angkatan Laut Kerajaan Belanda.
Setelah Belanda harus angkat kaki dari seluruh Indonesia, kecuali Papua, Harry Moekardanoe tetap berkarier di Angkatan Laut Belanda. Pangkatnya tentu bukan lagi Sersan. Pada 1954 dia sudah berpangkat letnan laut kelas dua dan sebagai penerbang kelas dua di KM. Hingga kemudian dia ikut dalam sengketa perebutan Papua atau Irian Barat di pihak Penjajah Belanda.
Jalan berseberangan
Harry punya pengalaman mirip dengan Abdul Halim Perdanakusumah yang berasal dari Sampang Madura. Dua orang ini adalah anggota MLD Belanda yang dilatih penerbangan militer oleh sekutu di masa Perang Dunia II. Halim kemudian ikut operasi militer udara di pihak sekutu.
Setelah Indonesia merdeka, Halim kembali ke Indonesia, di mana dia menjadi salah satu pendiri Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Halim bukan satu-satunya MLD yang masuk AURI. Buku Dan Toch Maar (2009:25) menyebut beberapa mantan MLD masuk ke bagian udara dari tentara Republik. Setelah dinas penerbangan ALRI terbentuk, barulah bekas bintara ALRI yang mantan MLD masuk ke Dinas Penerbangan AL. Halim akhirnya menjadi salah satu pahlawan nasional Indonesia dari AURI.
Baca juga : Kebijakan berbahaya Presiden Xi Jinping rangkul masyarakat Cina perantauan
Baca juga : 18 Desember 1771, Puputan Bayu : Perang habis-habisan rakyat Blambangan Banyuwangi vs Kolonial Belanda