ZONA PERANG (zonaperang.com) Opsi perang tak pernah dianggap ujung tombak mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kemampuan militer Indonesia yang terbatas jadi muaranya.
Pemimpin bangsa pun bersiasat. Diplomasi dimajukan sebagai strategi. Sutan Sjahrir(5 Maret 1909 – 9 April 1966) ada di baliknya. Langkah itu efektif. Diplomasi banyak membuka dukungan internasional. Republik Sosialis Soviet Ukraina, salah satunya. Dukungan Ukraina pada 1946 berarti sekali bagi Indonesia. Berkatnya, Indonesia langgeng sebagai negara merdeka.
Periode penuh kesukaran
Fase awal kemerdekaan Indonesia adalah periode penuh kesukaran. Fondasi pemerintahan baru tak cukup kuat untuk menahan laju keinginan Belanda menguasai Indonesia kali kedua. Apalagi, Indonesia sendiri belum kuat secara institusional ataupun kekuatan militer. Karenanya, opsi mengangkat senjata untuk mengakhiri dominasi Belanda tak pernah dianggap ujung tombak.
Sebagai gantinya, pemerintah hanya dihadapkan oleh pilihan: menghindari sikap permusuhan atau hancur lebur dalam peperangan. Semua itu karena Belanda dalam panji Netherland Indies Civil Administration (NICA) telah membonceng sekutu, Inggris. Demi memuluskan agenda penjajahan, pikirnya.
Diplomasi
Boleh jadi narasi perang terus dikobarkan. Tapi perang bukan satu-satunya solusi. Pemimpin Indonesia pun segara putar otak. Sutan Sjahrir, utamanya. Diplomasi dipilihnya sebagai kunci utama untuk Indonesia bisa menjaga kemerdekaan. Artinya, diplomasi dapat menjadi kunci bagi kelangsungan hidup negara baru: Indonesia.
Langkah itu lalu memantik perdebatan. Banyak pihak yang tak setuju upaya diplomasi dijadikan ujung tombak. Sebab, perang adalah jalan satu-satunya mengusir penjajah. Namun, Sutan Sjahrir menganggap sepi saja komentar yang mengkritik langkahnya. Bung Sjahrir tetap menjalankan agenda diplomasinya untuk mencari dukungan dunia. Upaya itu besar artinya bagi Indoensia.
Tahun-tahun pertama peperangan
“Menoleh kembali ke tahun-tahun pertama peperangan kemerdekaan kita, saya kini (meskipun waktu itu sebagai seorang muda juga sering merasa tidak sabar dengan politik perundingan) tak begitu yakin dengan sikap kawan-kawan yang menganut ‘paham keras.’ Saya kini cenderung membenarkan politik yang digariskan Bung Sjahrir pada masa itu.”
“Cobalah bayangkan dengan kekuatan persenjataan apa kita pada masa itu akan dapat menghadapi kekuatan perang Inggris dan Belanda, yang menguasai udara dan lautan, angkatan perang serikat yang baru tampil penuh kemenangan gemilang dari sebuah peperangan dunia? Kini setelah kita tidak perlu menghadapi bahaya maut lagi, tentu saja mudah mengatakan bahwa politik ‘garis keras’ akan lebih efektif daripada politik perundingan,” ungkap Rosihan Anwar dalam buku Mengenang Sjahrir (2013).
Baca juga : Pahlawan Nasional Indonesia Haji Agus Salim : Jurnalis, Diplomat dan Negarawan Ulung
Baca juga : AS Tekan Belanda Agar Akui Kemerdekaan dan Kedaulatan RI
Ukraina Dukung Indonesia
Pemerintah Indonesia tak tinggal diam. Upaya-upaya diplomasi untuk menghubung Indonesia ke dunia luar dilakukan secara masif. Tujuannya tak lain supaya perjuangan Indonesia untuk merdeka mendapatkan dukungan dari warga dunia.
Bung Sjahrir pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia dengan tegas mengungkap Indonesia butuh campur tangan PBB untuk melanggengkan kemerdekaan Indonesia pada 4 Desember 1945.
Sejarawan Rushdy Hoesein mengungkap campur tangan PBB dianggap Bung Sjahrir sbeagai jalan terbaik supaya Belanda segera angkat kaki. Semuanya dalam rangka melanggengkan narasi negara merdeka. Khususnya, supaya jalan kekerasan yang diaplikasikan oleh Belanda terhadap Indonesia segara diakhiri.
Langkah pria yang akrab disapa Bung Kecil berlanjut. Sebuah surat lengkap dengan dokumen-dokumen ditujukan Sjahrir kepada Konferensi PBB yang sedang berlangsung di Church House Westminster, London, Inggris pada 10 Januari 1946.
Konflik Indonesia-Belanda
Isi surat itu antara lain Bung Sjahrir meminta supaya masalah Indonesia segara dibicarakan dalam konferensi. Sjahrir paham benar kemampuan PBB bisa jadi membuat Indonesia mendapatkan dukungan dunia. Gayung pun bersambut. Perdebatan pro dan kontra konflik Indonesia-Belanda dari negera anggota PBB.
Tak mau kalah, Menteri Luar Negeri Belanda, Eelco van Kleffens(17 November 1894 – 17 June 1983) menanggapi surat Sjahrir dan menantang Indonesia. Ia berbicara usul tersebut akan dipenuhi kalau Indonesia mendapatkan minimal satu negara yang disokong PBB.
Dukungan kepada Indonesia
Republik Sosialis Soviet Ukraina lalu muncul memberikan dukungan. Dukungan itu sangat berarti bagi Indonesia. Setelahnya dukungan kepada Indonesia mengalir. Sebagai bentuk terima kasih, ralyat Indonesia menggelar pawai yang membawa narasi rasa terima kasih atas Ukraina di berbagai kota. Dua di antara pesan yang paling mengemuka digaungkan dalam pawai itu adalah “Hidoep Manuilsky” dan “Terima Kasih Ukraina.”
“Padahal, dalam kesempatan lain, pada 17 Januari 1946 Van Kleffens, Menteri Luar Negari Belanda, telah mengomentari surat Sjahrir tersebut dan berbicara kepada wartawan bahwa usul Indonesia bisa dibicarakan kalau Indonesia disokong salah satu negara anggota PBB.
Tanpa direkayasa, ternyata telah muncul dukungan kuat dari utusan Ukraina di Sidang PBB, yaitu dari Dr. Dmitri Manuilsky.” (October 1883– 22 February 1959)
“Ia bahkan menyurati Dewan Keamanan, yang juga sedang bersidang di London, yang isinya: Keadaan di Indonesia membahayakan perdamaian dunia. Ini merupakan kemenangan diplomasi awal di dunia internasional bahwa Republik Indonesia atas usaha beberapa anggota utusan, termasuk Dr. Manuilsky akhirnya diusulkan masuk agenda dan bisa dibicarakan dalam Sidang Dewan Keamanan PBB,” tutup Rushdy Hoesein dalam buku Terobosan Sukarno dalam Perundingan Linggarjati (2010).
Baca juga : (Buku) Kudeta 1 Oktober 1965 : Sebuah Studi Tentang Konspirasi-antara Sukarno-Aidit-Mao Tse Tung (Cina)
Baca juga : Pahlawan Nasional Adnan Kapau Gani : Dokter, Bintang Film, Politisi dan tokoh militer Indonesia