- Kamikaze: Senjata Terakhir Kekaisaran Jepang
- Dari Angin Dewa ke Langit Perang: Sejarah Kamikaze Jepang
- Kamikaze, istilah yang merujuk pada pilot Jepang yang melakukan serangan bunuh diri dengan menabrakkan pesawatnya ke kapal musuh, merupakan salah satu peristiwa paling tragis dalam Perang Dunia II. Praktik ini menjadi simbol dari keputusasaan dan semangat nasionalisme Jepang yang ekstrem di penghujung perang.
ZONA PERANG(zonaperang.com) Serangan kamikaze merupakan salah satu taktik paling ikonik sekaligus tragis dari Perang Dunia II. Kamikaze, yang berarti “angin ilahi,” merujuk pada serangan bunuh diri yang dilakukan oleh para pilot Jepang dengan tujuan menghancurkan kapal-kapal Sekutu. Serangan ini tidak hanya mencerminkan desperation Jepang pada saat-saat terakhir perang, tetapi juga menunjukkan kedisiplinan dan pengorbanan total yang menjadi bagian dari semangat para prajurit Jepang.
“Taktik ini muncul sebagai respons terhadap situasi kritis yang dihadapi Jepang di akhir perang, ketika mereka merasa tidak mampu lagi menghadapi kekuatan militer Sekutu, khususnya Angkatan Laut Amerika Serikat.”
Mengapa Kamikaze Diciptakan?
Pada tahun 1944, situasi perang semakin memburuk bagi Jepang. Pertempuran di Pasifik menunjukkan bahwa kekuatan angkatan laut Amerika dan Sekutu semakin mendominasi. Kerugian Jepang dalam hal kapal perang, pesawat tempur, serta sumber daya membuat militer Jepang mencari cara untuk merusak angkatan laut Sekutu tanpa banyak menghabiskan aset militer. Dari sinilah muncul konsep serangan bunuh diri, yang mengandalkan semangat pengorbanan para pilot untuk melawan superioritas kekuatan Sekutu.
Ide serangan kamikaze pertama kali dipelopori oleh Laksamana Takijiro Onishi. Ia melihat bahwa dalam situasi genting, serangan berani yang menjamin kehancuran target musuh lebih efektif daripada serangan biasa.
“Dia meyakini bahwa satu pesawat Kamikaze yang berhasil menabrak kapal induk musuh bisa menyebabkan kerusakan yang cukup besar untuk menghambat operasi militer mereka.”
Dengan menabrakkan pesawat yang penuh bahan peledak ke kapal musuh, Jepang bisa memberikan dampak destruktif yang luar biasa, meskipun harus mengorbankan pilotnya. Dalam taktik ini, serangan kamikaze tidak hanya dipandang sebagai cara untuk memenangkan pertempuran tetapi juga sebagai penghormatan terhadap loyalitas pada negara.
“Ide penggunaan pilot kamikaze dicetuskan oleh Laksamana Madya Kimpei Teraoka, yang mengusulkan bahwa Jepang perlu mengubah strategi mereka untuk bertahan hidup. Namun, Laksamana Madya Takejiro Onishi kemudian dikenal sebagai Bapak Kamikaze karena ia yang merealisasikan ide tersebut dan memimpin pembentukan unit-unit kamikaze.”
Baca juga : 25 Oktober 1944 Perang Pasifik : Serangan Kamikaze Pertama dalam Perang Jepang-Amerika
Baca juga : City of Life and Death: Mengungkap Tragedi Nanjing
Apa yang Dilakukan Kamikaze?
Pilot kamikaze melakukan serangan dengan menabrakkan pesawat mereka ke kapal-kapal perang musuh. Selama periode puncak serangan ini, khususnya pada Pertempuran Okinawa, sekitar 1.465 pesawat kamikaze dikerahkan, menciptakan kerusakan besar pada armada Sekutu. Serangan ini bukan hanya bertujuan untuk menghancurkan kapal-kapal musuh tetapi juga untuk memberikan semangat kepada tentara Jepang dan rakyatnya.
“Saat pasukan darat Amerika bertempur untuk menguasai Okinawa pada musim semi tahun 1945, pilot Kamikaze Jepang menimbulkan korban yang mengerikan di antara pasukan angkatan laut Amerika.”
Strategi Kamikaze pertama kali dilaksanakan pada 25 Oktober 1944, ketika sekelompok pilot Jepang menabrakkan pesawat mereka ke kapal-kapal Amerika Serikat dan sekutu di Teluk Leyte, Filipina. Serangan ini menyebabkan kerusakan besar pada kapal-kapal Amerika Serikat dan menyebabkan korban jiwa yang besar di kedua belah pihak. Setelah itu, strategi Kamikaze terus dilaksanakan hingga akhir perang.
Diperkirakan sekitar 3.800 pilot Kamikaze meninggal dalam misi mereka, menenggelamkan lebih dari 34 kapal Sekutu dan merusak ratusan lainnya.
Syarat dan Persiapan bagi Para Pilot Kamikaze
Tidak semua prajurit bisa menjadi pilot kamikaze. Para pilot yang terpilih diharapkan memiliki dedikasi penuh kepada negara, bahkan hingga rela mengorbankan hidup mereka. Beberapa kriteria untuk menjadi pilot kamikaze antara lain:
- Dedikasi dan Kepatuhan Total, Para pilot dipilih dari mereka yang sangat loyal pada Kekaisaran Jepang dan bersedia melaksanakan misi tanpa ragu.
- Latihan Intensif, Para calon kamikaze dilatih untuk menargetkan titik lemah kapal musuh. Walaupun latihannya cukup singkat, mereka dipersiapkan agar dapat menabrak sasaran dengan tepat.
- Kesiapan Mental, Sebagai bagian dari persiapan, pilot kamikaze sering diberikan waktu untuk menulis surat terakhir kepada keluarga atau melakukan ritual khusus. Ini adalah bentuk persiapan spiritual yang menegaskan bahwa misi mereka adalah sebuah kehormatan.
Keutamaan dan Penghargaan yang Diterima
Para pilot kamikaze dipandang sebagai pahlawan di Jepang. Bagi masyarakat Jepang saat itu, tindakan para pilot ini merupakan contoh keberanian luar biasa dan bentuk pengorbanan tertinggi untuk kejayaan kekaisaran. Secara tradisional, para kamikaze diberikan penghormatan, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat umum. Nama mereka diabadikan dalam berbagai monumen, dan keluarga mereka sering kali mendapatkan kompensasi serta penghargaan dari pemerintah.
“Dalam budaya Jepang, pengorbanan semacam ini dipandang sebagai tindakan mulia, sejalan dengan nilai-nilai bushido (jalan samurai) yang mengutamakan kehormatan dan kesetiaan.”
Pesawat yang Digunakan dalam Serangan Kamikaze
Pesawat yang digunakan untuk serangan kamikaze umumnya adalah pesawat tempur biasa seperti Mitsubishi A6M Zero yang dimodifikasi dengan muatan bahan peledak. Pesawat ini tidak perlu kembali, sehingga bahan bakar yang digunakan hanya cukup untuk satu kali penerbangan.
Selain itu, Jepang juga merancang pesawat khusus yang dikenal sebagai Yokosuka MXY-7 Ohka, atau “Bunga Sakura”, yang memang dirancang untuk misi bunuh diri. Ohka adalah pesawat kecil yang dilengkapi bahan peledak besar, dan diluncurkan dari pesawat pengebom lebih besar di dekat target untuk memberikan daya ledak lebih besar.
Respons Sekutu terhadap Serangan Kamikaze
Serangan kamikaze merupakan ancaman baru yang menakutkan bagi Sekutu, terutama angkatan laut Amerika Serikat. Pada awalnya, Sekutu kesulitan mengantisipasi taktik ini karena para kamikaze menyerang dengan cepat dan tanpa rasa takut. Namun, seiring waktu, Sekutu mulai mengembangkan strategi untuk menangkal serangan ini, seperti:
- Meningkatkan Pertahanan Kapal, Kapal-kapal diperkuat dengan senjata anti-pesawat yang lebih modern dan personel yang siap menghadapi ancaman kamikaze.
- Patroli Udara Ketat, Pesawat patroli ditempatkan untuk menghadang pesawat kamikaze sebelum mereka mendekati kapal.
- Penyebaran Radar, Radar digunakan untuk mendeteksi pesawat kamikaze dari jauh, sehingga kapal memiliki lebih banyak waktu untuk bersiap menghadapi serangan.
Baca juga : P-61 Black Widow: Sang Pemburu Malam di Perang Dunia II
Baca juga : Seven Samurai (1954): Film Legendaris Jepang yang Mengubah Sinema Dunia
Fakta Unik dan Menarik tentang Kamikaze
- Asal Usul Nama: Istilah “kamikaze” berasal dari angin topan yang konon menyelamatkan Jepang dari invasi Mongol pada tahun 1281. Nama ini menjadi simbol perlindungan dan keberanian.
- Banyak Pilot Kamikaze yang Masih Sangat Muda, Sebagian besar pilot kamikaze adalah anak muda yang baru saja menyelesaikan pelatihan dasar. Usia mereka rata-rata 17-20 tahun.
- Tidak Semua Pilot Kamikaze Melakukan Misinya, Ada sejumlah pilot yang ditolak sebagai kamikaze atau dibatalkan misinya karena cuaca buruk atau kekurangan pesawat.
- Pesan Terakhir yang Mengharukan, Banyak pilot kamikaze meninggalkan pesan atau surat yang penuh harapan bagi masa depan Jepang. Dalam surat-surat itu, mereka sering kali mengungkapkan keyakinan bahwa pengorbanan mereka adalah untuk kehormatan negara, meskipun pada akhirnya tidak semua dari mereka rela.
- Penggunaan Simbolisme Bunga Sakura, Bunga sakura sering digunakan sebagai simbol keindahan pengorbanan dalam budaya Jepang, dan para kamikaze kerap dianggap sebagai “bunga sakura yang gugur demi Jepang.”
- Penerbangan Terakhir: Penerbangan kamikaze terakhir dilakukan pada hari terakhir Perang Dunia II oleh Vice Admiral Matome Ugaki, yang ingin mati sebagai seorang samurai setelah mengirim banyak pilot untuk berkorban.
- Perdebatan Kontemporer: Hingga saat ini, pandangan masyarakat Jepang terhadap aksi kamikaze beragam; ada yang melihatnya sebagai tindakan heroik sementara yang lain menganggapnya sebagai tragedi.
Surat untuk keluarga
Tangan Letnan Penerbang Haruo Araki bergetar saat ia menulis surat terakhir untuk istrinya yang baru berusia satu bulan:
Shigeko,
Apakah kamu baik-baik saja? Sudah sebulan sejak hari itu. Mimpi indah itu berakhir. Besok aku akan menabrakkan pesawatku ke kapal musuh. Aku akan menyeberangi sungai menuju dunia lain, membawa serta beberapa orang Yankee bersamaku. Ketika aku menoleh ke belakang, aku melihat bahwa aku sangat berhati dingin kepadamu. Setelah aku bersikap kejam kepadamu, aku menyesalinya. Maafkan aku.
Ketika aku memikirkan masa depanmu, dan umur panjang di depan, hatiku terasa teriris. Tetaplah teguh dan hiduplah dengan bahagia. Setelah kematianku, tolong jaga ayahku untukku.
Aku, yang telah hidup demi prinsip keadilan abadi, akan selamanya melindungi bangsa ini dari musuh-musuh yang mengelilingi kita.
Komandan Unit Udara Eternity
Haruo Araki
Surat itu ditulis di Pangkalan Udara Chiran, Kyushu, pada malam hari tanggal 10 Mei 1945. Haruo telah menulis catatan untuk ayahnya, yang menyebutkan bahwa ia telah terbang di atas rumah keluarga itu pada akhir April, berputar-putar berkali-kali dengan harapan ayahnya dapat melihatnya. Namun, ia tidak mengalihkan pandangannya dari pekerjaannya di ladang. “Ayah,” tulis Haruo, “saya tidak dapat menarik perhatianmu.” Setelah menyegel kedua surat itu, Haruo menyerahkannya kepada seorang wartawan tamu yang telah berjanji untuk mengirimkannya secara langsung.
Serangan kamikaze massal
Keesokan paginya, wartawan mengambil beberapa foto penerbang itu sebelum ia berangkat menjalankan misinya. Salah satunya adalah foto bersama kedua pemimpin kelompoknya: ketiganya berusia 21 tahun dan telah lulus dari Akademi Militer di Kelas 57. Foto lainnya memperlihatkan Haruo memberikan pidato terakhirnya kepada rekan-rekan kamikaze-nya (dinamai berdasarkan “angin suci” yang telah menghancurkan armada Mongol pada abad ketiga belas, sehingga menyelamatkan Jepang dari invasi).
Ia tersenyum, “sadar akan kamera.” Di dahinya ia mengenakan ikat kepala putih dengan lambang matahari terbit Jepang. Para siswa di sekolah perempuan di dekat pangkalan itu telah “memotong jari-jari mereka dan mengisi matahari merah dengan darah mereka sendiri.” Salinan foto-foto ini kemudian diberikan kepada istri Haruo.
Akhirnya, pada pukul 6 pagi, Haruo lepas landas dengan pesawat terdepan, salah satu dari 150 pesawat yang akan ambil bagian dalam serangan kamikaze massal keenam terhadap kapal-kapal Sekutu di dekat Okinawa pada 10-11 Mei. Nasib Haruo tidak diketahui.
Namun, ada kemungkinan bahwa pesawatnya adalah salah satu dari dua pesawat yang menabrak kapal induk utama milik Wakil Laksamana Mitscher, USS Bunker Hill(CV-17), pada tanggal 11 Mei, yang menyebabkan kebakaran besar dan menewaskan 396 orang (termasuk empat belas staf Mitscher, sebagian besar karena menghirup asap) serta melukai 264 orang, korban terburuk sejak USS Franklin(CV-13). Meskipun masih mengapung, USS Bunker Hill tidak dapat beroperasi selama sisa perang, sehingga memaksa Mitscher untuk memindahkan benderanya ke USS Enterprise(CV-6).
Haruo adalah salah satu dari lebih dari 2.000 prajurit Jepang yang tewas dalam serangan kamikaze selama pertempuran tiga bulan untuk pulau Okinawa, yang terletak hanya 400 mil(643km) selatan daratan Jepang, yang berkecamuk dari 1 April hingga 22 Juni 1945.
Baca juga : Ekspedisi Laut Pertama Pasukan Muslim: Penaklukan Pulau Siprus
Baca juga : Krisis Penduduk di Jepang, China, dan Korea Selatan: Apakah Indonesia Bisa Bernasib Sama?
Operasi Ten-Go
Mereka berada di pusat strategi putus asa dan tidak dipikirkan dengan matang oleh Markas Besar Umum Kekaisaran di Tokyo—yang dikenal sebagai Operasi Ten-Go—untuk mengalahkan fase berikutnya dari kemajuan Amerika di Pasifik. “Saya sangat yakin,” tulis kepala operasi angkatan laut, “bahwa Okinawa sendiri adalah medan pertempuran yang menentukan di mana kita akan dapat membalikkan situasi perang.”
Rencananya adalah untuk menenggelamkan begitu banyak kapal Amerika sehingga Armada Kelima AS akan mundur, meninggalkan pasukannya di Okinawa yang kemudian dapat dibersihkan oleh garnisun besar Jepang. Upaya itu gagal, meskipun berbagai bentuk serangan kamikaze—termasuk pesawat, roket berawak, dan torpedo manusia—menenggelamkan 36 kapal Amerika dan merusak 368 kapal lainnya, yang mengakibatkan 10.000 korban (setengahnya tewas).
Sangat mengejutkan
Bagi Sekutu, yang mendalami tradisi Yahudi-Kristen tentang kesucian hidup, kesediaan prajurit Jepang seperti Araki untuk melakukan serangan bunuh diri sangat mengejutkan. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh para pakar kamikaze, kata bunuh diri dalam bahasa Jepang tidak selalu memiliki “konotasi tidak bermoral” yang sama seperti dalam bahasa Inggris.
Dua versi—jiketsu (penentuan nasib sendiri) dan jisai (penilaian diri sendiri)—”menyarankan tindakan terhormat atau terpuji yang dilakukan demi kepentingan publik.” Selain itu, tidak ada tabu etika atau agama mengenai bunuh diri dalam agama tradisional Jepang, Shintoisme. Sebaliknya, kode bushido prajurit samurai Jepang—yang sangat dipengaruhi oleh Shintoisme, serta Buddhisme dan bahkan Konfusianisme—menghormati pengorbanan diri dan berjuang sampai akhir demi kaisar dan negara.
Hina & Dewa
Di sisi lain, menyerah dianggap tidak terhormat, sehingga orang Jepang merasa hina terhadap tawanan perang. Tentara Jepang percaya bahwa ketika mereka gugur di medan perang, mereka akan menjadi kami, atau dewa, dan bergabung dengan roh bangsa di kuil Shinto Yasukuni di Tokyo. Oleh karena itu, perpisahan yang biasa dilakukan oleh anggota Korps Serangan Khusus Shimpū (Angin Dewa): “Saya akan menemuimu di Kuil Yasukuni!”
Saat itu, istri Letnan Araki, Shigeko—yang sedang mengandung anak mereka—bangga dengan pengorbanan suaminya. “Saya pikir wajar saja jika Haruo meninggal,” tulisnya kemudian. “Akan sangat memalukan jika dia terus hidup.” Dia sendiri telah dilatih di pabrik tempatnya bekerja untuk menggunakan bambu runcing untuk menyerang tentara musuh, dan tidak akan merasa bersalah untuk membunuh musuh. “Itu untuk Jepang,” jelasnya kemudian, “untuk melestarikan dan melindungi negara. Kami mengirim orang-orang yang kami cintai untuk mati… Itu adalah hal yang paling sedikit yang dapat kami lakukan di garis depan.”
Kekhawatiran utamanya adalah bahwa pengorbanannya sia-sia, dan bahwa dia telah berhasil menenggelamkan sebuah kapal: “Jika tidak,” tulisnya, “dia masih terbaring di dasar laut Okinawa yang dingin tanpa hasil apa pun.”
Kamikaze sebagai Simbol Keteguhan dan Tragedi
Serangan kamikaze menjadi babak unik dalam sejarah Perang Dunia II yang mencerminkan perpaduan antara tekad kuat dan keputusasaan di pihak Jepang. Meskipun berakhir dengan kekalahan, para pilot kamikaze dikenang sebagai pahlawan bagi sebagian orang, namun juga sebagai simbol tragedi perang yang menelan banyak korban jiwa. Serangan kamikaze adalah pengingat betapa perang seringkali membawa manusia pada pilihan yang ekstrem, bahkan mengorbankan nyawa dengan harapan mengubah jalannya sejarah.
Baca juga : 18 Agustus 1945, Perang Soviet-Jepang; Pertempuran Shumshu: Pertempuran Terakhir di Perang Dunia II
Baca juga : Operation Gothic Serpent: Dari Kesombongan Militer hingga Bencana di Mogadishu