- Dari Otoritarianisme ke Oligarki: Dinamika Kekuasaan antara Polisi dan Militer
- Negara-negara di mana kepolisian atau militer mendominasi sering kali menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan demokrasi dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Ketika tentara, polisi, atau keduanya saling bersaing untuk mendapatkan pengaruh, hasilnya sering kali adalah ketidakstabilan politik, pelemahan institusi sipil, serta pengorbanan kepentingan publik demi penguatan kekuasaan.
ZONA PERANG (zonaperang.com) Dalam sistem pemerintahan modern, peran kepolisian dan tentara seharusnya jelas: kepolisian menjaga keamanan dalam negeri, sementara tentara bertugas melindungi negara dari ancaman eksternal. Namun, di beberapa negara, garis antara kedua institusi ini kabur, bahkan saling bersaing untuk mendapatkan kekuasaan dan pengaruh.
Apa yang terjadi ketika negara dikuasai oleh kepolisian, tentara, atau ketika kedua institusi ini bersaing? Apakah negara-negara tersebut menjadi lebih baik dari segi ekonomi dan demokrasi?
Ketika Kekuasaan Berbaju Seragam: Polisi, Tentara, dan Pertarungan Pengaruh di Sebuah Negara
Di panggung politik dunia, kekuasaan tidak selalu identik dengan suara rakyat atau pena para legislator. Ada kalanya, kekuasaan mengenakan seragam—baik itu coklat tua kepolisian atau hijau zaitun militer—dan mengubah wajah sebuah negara.
Ketika polisi atau tentara mengambil alih kendali, atau bahkan saling bertarung memperebutkan pengaruh, apa yang terjadi pada negara tersebut? Apakah ekonomi berkembang dan demokrasi berjaya, atau justru sebaliknya: stagnasi dan represi?
Baca juga : HAM dan Standar Ganda Barat: Ketika Prinsip Universal Menjadi Alat Politik
Baca juga : Malapetaka 15 Januari 1974(Malari): Sejarah Demonstrasi Mahasiswa dan Kerusuhan di Jakarta
Negara di Bawah Kuasa Kepolisian
Bayangkan sebuah negara di mana polisi tidak hanya menjaga ketertiban, tetapi juga menjadi penguasa de facto. Kepolisian, yang seharusnya bertugas melindungi hukum, malah menjadi hukum itu sendiri. Contoh nyata adalah Filipina di era Rodrigo Duterte (2016–2022). Dalam “perang melawan narkoba” yang kontroversial, kepolisian diberi kuasa luar biasa untuk mengeksekusi tersangka tanpa proses hukum yang layak. Human Rights Watch mencatat lebih dari 27.000 kematian terkait kebijakan ini hingga 2022, banyak di antaranya diduga dilakukan oleh polisi atau kelompok vigilante yang didukung mereka.
Apa dampaknya? Ekonomi Filipina memang tumbuh—PDB naik rata-rata 6% per tahun selama masa Duterte, menurut Bank Dunia. Namun, ini lebih karena momentum investasi sebelumnya dan bukan efek langsung dari dominasi polisi.
Demokrasi? Indeks Demokrasi dari The Economist menunjukkan Filipina merosot dari “demokrasi cacat” menjadi semakin otoriter, dengan kebebasan pers dan hak asasi manusia terkikis. Kekuasaan polisi mungkin menciptakan ilusi stabilitas, tapi sering kali dibayar mahal dengan hilangnya kebebasan.
El Salvador, kepolisian negara ini memiliki kekuasaan besar dalam memerangi geng kriminal, tetapi sering kali dituduh melakukan pelanggaran HAM. Dalam konteks yang lebih modern, Rusia juga memperlihatkan bagaimana lembaga penegak hukum dapat menjadi instrumen politik, yang digunakan untuk meredam suara oposisi dan membatasi kebebasan pers.
Negara dalam Genggaman Tentara
Sekarang, alihkan pandangan ke negara yang dikuasai militer. Myanmar pasca-kudeta 2021 adalah cermin buram dari realitas ini. Ketika junta militer menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi, tentara tidak hanya merebut kekuasaan politik, tetapi juga mengendalikan ekonomi strategis—dari tambang jade hingga telekomunikasi—melalui konglomerasi seperti MEHL dan MEC. Hasilnya? Ekonomi ambruk.
Bank Dunia melaporkan kontraksi PDB sebesar 18% pada 2021, dan inflasi melonjak hingga 30% pada 2023. Militer mungkin unggul dalam menekan perlawanan—lebih dari 4.000 orang tewas dan 25.000 ditahan, menurut AAPP Burma—tapi mereka gagal membawa kemakmuran.
Demokrasi di Myanmar? Hancur lebur. Pemilu dibatalkan, dan junta malah sibuk mempertahankan kekuasaan dengan senjata. Stabilitas yang dijanjikan militer ternyata hanya kedok untuk represi sistematis. Thailand, dengan sejarah panjang kudeta militer (terakhir pada 2014), juga menunjukkan pola serupa: ekonomi stagnan di bawah junta, dengan pertumbuhan PDB rata-rata hanya 1,8% per tahun (2014–2019), jauh di bawah potensi regional, sementara kebebasan sipil terus ditekan.
Ketika Polisi dan Tentara Bersaing
Lalu, apa yang terjadi jika polisi dan tentara justru saling sikut untuk mendominasi? Indonesia era Orde Baru (1966–1998) memberikan gambaran menarik. Di bawah Soeharto, militer (ABRI) mendominasi politik dan ekonomi, menguasai bisnis strategis seperti Pertamina dan yayasan-yayasan raksasa. Namun, kepolisian—yang saat itu masih bagian dari ABRI—perlahan mulai menuntut peran lebih besar, terutama setelah dipisahkan dari militer pada 1999 pasca-Reformasi. Ketegangan ini menciptakan dinamika rumit: militer ingin mempertahankan hegemoni, sementara polisi berupaya membuktikan diri sebagai penjaga hukum yang independen.
Selama persaingan ini terselubung, Indonesia tetap stabil—ekonomi tumbuh rata-rata 7% per tahun pada 1980-an dan awal 1990-an, menurut data Bank Dunia. Namun, begitu Reformasi membuka keran demokrasi, pertarungan pengaruh menjadi lebih terlihat, kadang-kadang melemahkan koordinasi keamanan. Meski begitu, pemisahan polisi dan militer justru memperkuat demokrasi jangka panjang—Indeks Demokrasi Indonesia naik dari 4,9 (2006) menjadi 6,3 (2020) menurut The Economist. Ekonomi pun tetap resilien, meski bayang-bayang korupsi dan oligarki masih menghantui.
Di Pakistan, tentara dan kepolisian sering kali bersaing untuk mendapatkan pengaruh dalam pemerintahan dan kebijakan keamanan. Militer memiliki kekuatan politik yang besar, sementara kepolisian berusaha mempertahankan perannya dalam penegakan hukum.
Baca juga : Bangkit dan Runtuhnya Kerajaan Majapahit: Sebuah Cerita Kejayaan dan Kemunduran
Apa yang Terjadi pada Negara-Negara Ini?
Pola yang muncul jelas: ketika polisi atau tentara mendominasi, stabilitas sering jadi prioritas di atas segalanya—tapi stabilitas itu rapuh. Ekonomi bisa tumbuh sementara jika ada momentum eksternal (seperti di Filipina) atau kontrol sumber daya (seperti di Indonesia Orde Baru), tapi jarang berkelanjutan.
Militer dan polisi, dengan fokus pada kekuatan dan kontrol, cenderung abai pada inovasi atau inklusi yang dibutuhkan untuk kemajuan ekonomi modern. Demokrasi? Hampir selalu jadi korban pertama. Represi, sensor, dan pembungkaman oposisi adalah harga yang dibayar rakyat.
Namun, ketika polisi dan tentara bersaing secara terbuka, hasilnya bercampur. Jika dikelola baik—seperti di Indonesia pasca-Reformasi—ini bisa mendorong akuntabilitas dan pemisahan kekuasaan. Tapi jika tidak, seperti di beberapa negara Amerika Latin (misalnya Venezuela era Chávez), persaingan malah memperparah fragmentasi dan konflik internal, merusak ekonomi dan tatanan sosial.
Contoh dan Kesimpulan
- Filipina (polisi dominan): Ekonomi tumbuh tapi demokrasi terkikis.
- Myanmar dan Thailand (militer dominan): Ekonomi stagnan, demokrasi mati.
- Indonesia (persaingan polisi-tentara): Transisi ke demokrasi berhasil, ekonomi cukup kuat meski tantangan tetap ada.
Apakah negara-negara ini menjadi lebih baik? Tergantung definisi “lebih baik.” Jika ukurannya adalah ketertiban semu, mungkin iya—tapi hanya sementara. Jika ukurannya adalah kemakmuran ekonomi yang inklusif dan demokrasi yang hidup, jawabannya sering kali tidak. Kekuasaan berseragam mungkin gagah di permukaan, tapi di baliknya tersembunyi kerapuhan yang sulit disembuhkan tanpa kembalinya suara rakyat sebagai penentu utama.
“Secara keseluruhan, baik negara yang dikuasai oleh kepolisian maupun tentara cenderung mengalami penurunan dalam aspek demokrasi dan tantangan signifikan dalam pertumbuhan ekonomi. Meskipun ada beberapa contoh di mana stabilitas dicapai, risiko pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi tetap menjadi ancaman besar.”
Referensi:
- Laporan tentang “Perang Melawan Narkoba” di Filipina: License to Kill: Philippine Police Killings in Duterte’s “War on Drugs” (2017) dan pembaruan data hingga 2022.: https://www.hrw.org/
- Data pertumbuhan PDB Filipina (2016–2022), Myanmar (2021–2023), Thailand (2014–2019), dan Indonesia (1980-an–1990-an).: https://data.worldbank.org/
- Democracy Index (2006–2020) untuk Filipina, Myanmar, Thailand, dan Indonesia.: https://www.eiu.com/n/campaigns/democracy-index-2020/
- Dokumen tentang pelanggaran hak asasi manusia di Filipina, Myanmar, dan Thailand, termasuk UN Human Rights Council Reports (2021–2023).: https://www.ohchr.org/en/ohchr_homepage , https://www.amnesty.org/en/
Baca juga : Negara-negara Gagal: Dari Masa Kuno hingga Modern
Baca juga : Novel Ghost Fleet : Saat Indonesia bubar tahun 2030