- Penjelajah Kelas Sverdlov: KRI Irian dan Konfrontasi Lautan untuk Irian Barat
- Meskipun KRI Irian tidak terlibat langsung dalam pertempuran besar, kehadirannya di lautan Asia Tenggara menjadi sinyal tegas akan kekuatan militer Indonesia. Kapal ini juga memperkuat posisi Indonesia sebagai kekuatan maritim yang diperhitungkan di kawasan pada era tersebut.
- KRI Irian (201) adalah salah satu kapal perang legendaris dalam sejarah Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), yang kini dikenal sebagai Tentara Nasional Indonesia – Angkatan Laut (TNI-AL). Kapal ini merupakan kapal penjelajah kelas Sverdlov yang memainkan peran penting dalam perjuangan Indonesia melawan Belanda di Papua. Kisah KRI Irian adalah salah satu babak penting dalam sejarah kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia.
ZONA PERANG (zonaperang.com) – Sebelum menjadi milik Indonesia, KRI Irian pernah mengantarkan pemimpin Uni Soviet saat itu Nikita Khrushchev dan Perdana Menteri Nikolai Bulganin pada 1956 berkunjung ke Inggris. Perang Dingin sedang berlangsung antara Blok Barat yang liberal dan Blok Timur yang komunis.
“Dibangun di Uni Soviet pada akhir Perang Dunia II, KRI Irian merupakan kapal perang yang modern pada masanya. Dengan persenjataan yang lengkap, termasuk meriam besar, torpedo, dan sistem pertahanan udara, kapal ini menjadi ancaman serius bagi setiap lawan yang berani menantangnya.”
Ordzhonikidze (310) yang dikawal dua kapal perusak tiba pada 18 April dan bersandar di Pelabuhan Portsmouth, Inggris selatan Setelah kunjungan itu, hubungan Britania Raya dan Uni Soviet memburuk. Seorang perwira pasukan katak Inggris, Lionel Crabb, hilang secara misterius di sekitar kapal Soviet. Majalah Life (28/05/1956) menyebut Crab muncul di antara dua kapal perusak dan akhirnya menghilang.
Ia ditemukan dalam kondisi tak bernyawa di dekat kapal-kapal itu. Menurut Peter Wright dalam bukunya Spycatcher (1987), Crabb dikirim untuk menyelidiki baling-baling Ordzhonikidze, sebuah desain baru yang ingin diteliti oleh Intelijen Angkatan Laut.
Baca juga : 9 April 1948, Pembantaian Deir Yassin: Awal Pendirian negara ilegal Israel
Baca juga : Kapal Penjelajah “Besar” Kelas Kirov Rusia: Dibangun untuk Menenggelamkan Kapal Induk Amerika yang Perkasa
Spesifikasi
Ordzhonikidze (310) buatan galangan kapal Admiralty Shipyard, Leningrad(Saint Petersburg) yang pengerjaannya dimulai sejak 19 Oktober 1949 dan diluncurkan pada 17 September 1950. Sejak 30 Juni 1952 kapal ini mulai menjadi bagian dari armada Angkatan Laut Uni Soviet yang dikenal sebagai Armada Laut Baltik Uni Soviet.
Ordzhonikidze merupakan sebuah kapal kapal jenis penjelajah ringan (light cruiser)kelas Sverdlov (Project 68-bis). Panjangnya 210 meter dengan lebar 22 m. Bobot penuh kapal mencapai 16,640 ton. Kapal ini termasuk canggih pada masanya.
Senjata utama dari kapal ini adalah 4 buah turret/kubah, dimana setiap turret berisi 3 meriam kaliber 6 inchi. Sehingga total ada 12 meriam kaliber 6 inchi di geladaknya. Senjata sekundernya berupa Meriam 6 × twin 10 cm (3.9 in)/56 cal Model 1934 SM-5-1 dan 16 × twin 3.7 cm (1.5 in) AA V-11M sebagai senjata anti pesawat. Untuk meladeni pertempuran bawah air kapal dilengkapi 10 tabung torpedo antikapal selam kaliber 533 mm, persenjataan yang diusung sedikit dibawa kelas penjelajah berat (heavy cruiser) seperti USS Wisconsin, USS Iowa, dan USS Missouri.
Sverdlov memiliki lapisan baja 100 mm (4 in.) dan memiliki dek lapis baja 50 mm (2 in.). Turret dilindungi oleh armor 175 mm (7 in.) dan menara conning, dengan armor 150 mm (5,9 in).
Radar utama kapal penjelajah termasuk satu radar pencarian udara ‘Big Net’ atau ‘Top Trough’, satu radar pencarian udara ‘High Sieve’ atau ‘Low Sieve’, satu radar pencarian udara ‘Knife Rest’ dan satu radar udara ‘Slim Net’ radar pencarian.
Untuk radar navigasi kapal memiliki satu model ‘Don-2’ atau ‘Neptunus’. Untuk tujuan pengendalian tembakan, kapal dilengkapi dengan dua radar ‘Sun Visor’, dua radar meriam ‘Top Bow’ 152 mm dan delapan radar meriam ‘Egg Cup’. Untuk penanggulangan elektronik, kapal dilengkapi dengan dua sistem ECM ‘Watch Dog’.
Berpindah Tangan
Bertahun-tahun setelah insiden di Pelabuhan Portsmouth yang menewaskan Lionel Crab, hubungan Indonesia dan Belanda memanas dalam perebutan Irian Jaya. Untuk mengimbangi kekuatan Angkatan Laut Belanda yang mempunyai HNLMS Karel Doorman, Ordzhonikidze (310) didatangkan ke Indonesia dan namanya diganti menjadi KRI Irian(201) alias Ikut Republik Indonesia anti-Netherlands. Sebelumnya Rusia tidak pernah menjual kapal seberat dan sebesar ini. Terlihat bagaimana saat itu Rusia begitu mengistimewakan Indonesia.
Sebelum dibawa ke Indonesia, pihak Uni Soviet berusaha memodifikasi Ordzhonikidze agar bisa dioperasikan di perairan tropis yang bersuhu 40 derajat celcius, tentu butuh modifikasi karena kapal ini biasa beroperasi di perairan Baltik yang nyaris beku.
Serah terima terima kapal terjadi pada 3 Oktober 1961, dan dua hari kemudian kapal tersebut resmi menjadi milik Indonesia. Dari Uni Soviet kapal ini dibawa oleh para pelaut Indonesia di bawah komando Kolonel Frits Suak.
Tahun 1962, kapal tiba di Pelabuhan Surabaya. Karena kurang pengalaman, kapal berharga mahal itu langsung mengalami kerusakan. Suhu yang panas juga membuat sejumlah peralatan tidak bisa berfungsi optimal.
”Kapal penjelajah KRI Irian 201, belasan unit kapal selam wiskey class bersenjatakan torpedo dan rudal, serta pembom jarak jauh Tu-16KS badger dengan rudal AS-1 Kennel potensial menenggelamkan HNLMS Karel Doorman,” tulis Achmad Taufiqoerachman dalam Kepemimpinan Maritim (2019:258).
“Kapal ini berpatroli di perairan sekitar Papua untuk mencegah infiltrasi Belanda dan memberikan dukungan kepada pasukan Indonesia yang berjuang di darat.”
Saat terjadi konflik tersebut, seperti dicatat Bernard Kent Sondakh dan kawan-kawan dalam Laksamana Kent Menjaga Laut Indonesia (2014:38), Indonesia memiliki 12 fregat, 12 kapal selam, 22 kapal cepat bertorpedo dan berpeluru kendali, 4 kapal penyapu ranjau, dan KRI Irian. ”Itu sebabnya, melalui proses perundingan dan saran dari Amerika Serikat, Belanda kemudian memilih hengkang dari Papua,” tulis Achmad Taufiqoerachman.
Baca juga : Pesawat intai dan patroli maritim Boeing P-8 Poseidon : Dewa laut andalan Amerika Serikat
Baca juga : Tank ringan amfibi PT-76 (1952) Uni Soviet : Karier panjang pengabdian tank andalan ALRI
Kapal terbesar yang pernah dimiliki Indonesia hingga saat ini
KRI Irian adalah kapal terbesar yang pernah dimiliki Indonesia hingga saat ini. Ketika bersandar di perairan Surabaya, seperti digambarkan I Nyoman Suharta dalam Arek Bumi Moro: Menelusuri Jalan Hree Dharma Shanty (2015), ”Panjang KRI Irian hampir memenuhi separuh panjang dermaga. Di depannya bersandar beberapa destroyer dan di bekalangnya sebuah kapal tanker. Kedua kapal itu tampak kecil dibandingkan dengan KRI Irian.”
Jumlah awak kapal ini sebanyak 1.050 orang. Beberapa alumni KRI Irian antara lain dr. Tarmidzi Taher (Kepala kesehatan KRI Irian antara 1963-1965), dr. Kartono Muhammad (dokter kapal), dan Widodo AS yang kelak menjadi KSAL. Setelah Belanda hengkang, KRI Irian membuat Angkatan Laut Indonesia disegani di bumi belahan selatan.
“KRI Irian bukan hanya sebuah kapal perang, tetapi juga simbol kebanggaan nasional. Kapal ini menjadi representasi dari kekuatan laut Indonesia yang terus berkembang. Selain itu, KRI Irian juga menjadi tempat pelatihan bagi para pelaut muda Indonesia, sehingga mereka dapat belajar dan mengembangkan keterampilan mereka.”
Bulan Maret 1964, KRI Irian dikirim kembali ke Vladivostok guna menjalani sejumlah perbaikan. Para teknisi di Pabrik Kapal Dalzavod kaget melihat kondisi Ordzhonikidze yang mengalami kerusakan cukup parah. Bulan Agustus 1964, kapal selesai diperbaiki dan dipulangkan ke Surabaya. Namun hingga akhir konfrontasi dengan Belanda, KRI Irian tercatat tidak pernah berhadapan dengan kapal musuh.
Akhir Hidupnya
Setelah usaha Kudeta PKI gagal tahun 1965, kesiap siagaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) ALRI dan Angkatan lain kemudian mulai menurun karena kelangkaan suku cadang. Kapal tersebut tidak dipergunakan lagi saat Laksamana Sudomo menjadi Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL).
Seperti dilaporkan majalah Exspres (8 Agustus 1970), saat itu anggaran ALRI menurun, sementara biaya opersional KRI Irian dinggap terlalu besar untuk ukuran Indonesia saat itu. Selain itu, ukuran KRI Irian yang sangat besar juga membuatnya hanya bisa singgah dan bersandar di Jakarta, Surabaya, dan Ambon.
Versi wartawan senior Hendro Subroto, kapal perang ini dijual di Jepang setelah persenjataannya dipreteli. Hendro menyebut sebenarnya KRI Irian tidak kekurangan suku cadang. Hanya saja tidak ada teknisi yang bisa merawat dan memperbaiki KRI Irian setelah peristiwa Gestapu tahun 1965. Semua teknisi Rusia sudah dipulangkan ke negaranya. Hubungan dengan negara-negara blok Soviet juga sudah memburuk.
Menurut Sudomo dalam biografinya yang ditulis Julius Pour, Laksamana Sudomo, Mengatasi Gelombang Kehidupan (1997:178), kebanyakan kapal perang dari Blok Timur kondisinya menurun karena tidak tersedianya suku cadang yang cukup sehingga tak ada jalan lain kecuali tak lagi memakainya.
Ketika Indonesia mulai dekat dengan Amerika Serikat dan Blok Barat, alat tempur buatan Blok Timur yang ada di Indonesia pun jadi perhatian agen Uni Soviet. Menurut Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia (2007:97), terdapat Proyek 055(kode untuk KRI Irian) di Surabaya sisa bantuan Uni Soviet kepada Indonesia.
Banyak versi
Di era Orde Baru, menghilangkan KRI Irian dianggap solusi terbaik demi kemajuan ALRI. Kapal tersebut kemudian dibesituakan. Sebagian pihak menyebutnya ke Taiwan, sementara Tempo (1977) menyebutnya ke Jepang.
Terdapat versi lain saat akan dibesituakan, KRI Irian dicegat oleh sejumlah kapal dari Uni Soviet. Kapal ini diambil alih oleh Soviet den karena tidak ingin rahasia kapal penjelajah miliknya jatuh ke tangan Blok Barat.
Setelah itu tak ada lagi kapal ALRI yang sebesar dan sekuat KRI Irian hingga saat ini. Yang tersisa kemudian hanya kenangan, termasuk bagi Sukarno.
Seperti dicatat Julius Pour dalam Pengalaman dan Kesaksian Sejak Proklamasi sampai Orde Baru (1995:48) ”Bung Karno mengajak Haryati (Istri resmi ke 4 sebelum akhirnya diceraikan) berbulan madu di KRI Irian.” Setelah menempuh perjalanan Jakarta-Makassar dengan pesawat terbang, sebagaimana ditulis dalam Hariyatie Soekarno The Hidden Story: Hari-hari Bersama Bung Karno, 1963-1967 (2001), keduanya kemudian melanjutkan perjalanan ke Papua dengan menggunakan KRI Irian.
Baca juga : Filosofi Penamaan dan Asal-usul Kapal Selam ALRI hingga TNI-AL