- Demografi Asia Timur di Ujung Tanduk: Pelajaran Bagi Indonesia
- Krisis Penduduk di Asia Timur: Strategi Indonesia untuk Menghindari Nasib yang Sama
- Bayi-bayi yang Hilang: Dampak Penurunan Angka Kelahiran bagi Masa Depan Indonesia
- Penurunan populasi atau depopulasi telah menjadi ancaman serius bagi beberapa negara di Asia Timur, seperti Jepang, China, dan Korea Selatan. Fenomena ini tidak hanya berdampak pada demografi, tetapi juga pada ekonomi dan stabilitas sosial negara-negara tersebut. Bagaimana dengan Indonesia? Apakah kita bisa menghadapi nasib yang sama?
ZONA PERANG(zonaperang.com) Asia Timur sedang menghadapi tantangan demografis yang sangat serius. Negara-negara seperti Jepang, China, dan Korea Selatan kini dihadapkan pada krisis penduduk yang tidak bisa diabaikan.
Tingkat kelahiran yang terus menurun, populasi yang menua dengan cepat, serta tekanan ekonomi yang semakin berat, telah menciptakan masalah yang rumit bagi masa depan ketiga negara tersebut. Pertanyaannya kini: apakah Indonesia akan mengalami nasib yang sama di masa depan?
Krisis Penduduk di Jepang
Jepang sering disebut sebagai “perintis” dalam hal krisis demografis di Asia. Sejak beberapa dekade terakhir, negara ini telah mengalami penurunan populasi yang signifikan. Tingkat kelahiran yang rendah dan harapan hidup yang tinggi telah mengakibatkan populasi Jepang semakin menua. Pada tahun 2022, lebih dari 28% dari total penduduk Jepang berusia 65 tahun ke atas, menjadikannya salah satu negara dengan populasi tertua di dunia.
“Pemerintah Jepang telah mencoba berbagai strategi untuk mengatasi masalah ini, termasuk kebijakan imigrasi yang lebih longgar dan insentif untuk keluarga yang memiliki anak. Namun, masalah ini tetap sulit diatasi karena budaya kerja yang intensif dan biaya hidup yang tinggi.”
Akibatnya, Jepang menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan produktivitas ekonomi. Dengan jumlah angkatan kerja yang semakin menyusut, biaya perawatan kesehatan yang meningkat, dan kebutuhan pensiun yang terus membengkak, Jepang harus berinovasi dalam mengelola sumber daya manusianya. Namun, solusi yang ada seperti peningkatan otomatisasi dan robotisasi belum cukup untuk mengatasi masalah ini sepenuhnya.
Baca juga : 3 September 1954, Krisis Selat Taiwan Pertama: Peking dan Taipei Saling Berhadapan di Selat
Baca juga : 5 September 1942: Jepang Kalah di Teluk Milne, Tanda Perubahan Arah Perang Pasifik
China: Dampak Kebijakan Satu Anak
China, sebagai negara dengan populasi terbesar di dunia, juga mulai merasakan dampak dari kebijakan demografisnya sendiri. Kebijakan Satu Anak yang diterapkan selama beberapa dekade telah meninggalkan dampak yang mendalam pada struktur populasi China. Meskipun kebijakan ini telah dilonggarkan sejak tahun 2016, efeknya masih terasa hingga hari ini.
“Penuaan penduduk di China menyebabkan tekanan pada sistem pensiun dan perawatan kesehatan. Selain itu, kekurangan tenaga kerja juga menjadi masalah besar, terutama di sektor manufaktur yang sangat bergantung pada tenaga kerja murah.”
Populasi usia produktif di China mulai menurun, sementara jumlah lansia terus meningkat. Ketidakseimbangan ini menciptakan tekanan besar pada sistem ekonomi dan sosial negara tersebut. China sekarang dihadapkan pada tantangan besar dalam menopang pertumbuhan ekonominya dengan populasi yang semakin menua dan berkurangnya tenaga kerja muda.
Korea Selatan: Tingkat Kelahiran Terendah di Dunia
Korea Selatan menghadapi situasi yang bahkan lebih ekstrem. Dengan tingkat kelahiran yang mencapai rekor terendah di dunia, negara ini berada di ujung tanduk dalam hal demografi. Pada tahun 2023, tingkat kelahiran di Korea Selatan mencapai hanya 0,78 anak per wanita—jauh di bawah tingkat penggantian yang diperlukan untuk mempertahankan populasi.
“Angka kelahiran di Korea Selatan adalah salah satu yang terendah di dunia. Penurunan angka kelahiran ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk biaya hidup yang tinggi, tekanan kerja yang besar, dan kurangnya dukungan untuk keluarga yang memiliki anak.”
Akibatnya, Korea Selatan diproyeksikan akan mengalami penurunan populasi yang drastis dalam beberapa dekade mendatang. Hal ini dapat mengancam keberlanjutan ekonomi negara tersebut, serta menambah tekanan pada sistem kesejahteraan sosial yang sudah mulai kewalahan menghadapi populasi lansia yang terus bertambah.
“Pemerintah Korea Selatan telah mencoba berbagai kebijakan untuk meningkatkan angka kelahiran, termasuk insentif keuangan dan perluasan layanan perawatan anak. Namun, masalah ini tetap sulit diatasi karena perubahan sosial dan ekonomi yang kompleks.”
Indonesia: Mencermati Tren dan Mengantisipasi Masa Depan
Indonesia saat ini belum menghadapi krisis demografis seperti yang dialami oleh Jepang, China, atau Korea Selatan. Dengan populasi yang masih muda dan tingkat kelahiran yang relatif stabil, Indonesia berada dalam posisi yang lebih baik untuk mempertahankan pertumbuhan ekonominya dalam jangka panjang.
Namun, bukan berarti Indonesia aman dari potensi krisis penduduk. Tanda-tanda awal seperti urbanisasi yang pesat, meningkatnya angka pendidikan wanita, dan perubahan pola pikir generasi muda terkait keluarga kecil, bisa mengarah pada penurunan tingkat kelahiran di masa depan. Jika tidak dikelola dengan baik, Indonesia bisa menghadapi masalah serupa, meskipun dengan keterlambatan beberapa dekade.
Indonesia harus belajar dari pengalaman negara-negara Asia Timur lainnya dan mulai memikirkan kebijakan jangka panjang yang dapat mengantisipasi perubahan demografis. Investasi dalam pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur sosial, serta kebijakan yang mendukung keseimbangan kehidupan kerja dan keluarga, dapat membantu Indonesia menjaga stabilitas demografisnya.
Peringatan bagi negara-negara lain
Meskipun krisis penduduk mungkin terdengar jauh, pengalaman negara-negara Asia Timur menunjukkan bahwa perubahan demografis bisa terjadi dengan cepat. Indonesia memiliki kesempatan unik untuk belajar dari pengalaman mereka dan mengambil langkah-langkah pencegahan sejak dini.
Krisis demografis yang menghantam Jepang, China, dan Korea Selatan adalah peringatan bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia. Meskipun saat ini Indonesia masih menikmati bonus demografi, tantangan yang dihadapi oleh negara-negara tetangga menunjukkan bahwa perubahan demografis dapat terjadi dengan cepat dan berdampak besar pada ekonomi dan masyarakat. Dengan perencanaan yang matang dan kebijakan yang tepat, Indonesia dapat menghindari nasib yang sama dan terus melangkah maju sebagai negara dengan populasi yang seimbang dan produktif.
Baca juga : Amerika sudah menyetujui pengusiran paksa penduduk Palestina di Jalur Gaza
Baca juga : 1 September 1983, Pesawat Penumpang Boeing 747 Korea Selatan Ditembak Jatuh oleh Soviet
Data
Data National Institute of Population and Social Security Research, menunjukkan bahwa populasi Jepang terus mengalami peningkatan sejak 1872. Pada saat itu populasi Jepang hanya sejumlah 34,8 juta jiwa dengan didominasi oleh laki-laki sebanyak 17,66 juta dan perempuan 17,14 juta.
Namun,StatisticsBureau of Japandengan cut off setiap Oktober, menunjukkan bahwa populasi Jepang mencapai puncaknya pada 2010 sebanyak 128,06 juta.
Sejak saat itu, populasi Jepang terus mengalami penurunan didukung dengan rata-rata laju kontraksi secara tahunan. Populasi Jepang pada Oktober 2023 tercatat hanya sebesar 124,35 juta atau turun 3,71 juta dalam kurun waktu 13 tahun terakhir.
Dikutip dari South China Morning Post (SCMP), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan bahwa China dapat mengalami penurunan jumlah penduduk terbesar yang pernah dialami oleh negara manapun, dengan kemungkinan 50% bahwa China bisa kehilangan lebih dari setengah populasi saat ini pada akhir abad ini.
Penurunan populasi yang sedang berlangsung di China disebabkan oleh jumlah wanita usia subur yang semakin sedikit, keterlambatan dalam pernikahan, serta semakin populernya pilihan untuk tidak memiliki anak sama sekali.
Pada tahun 2100, populasi China dapat kembali ke ukuran yang mirip dengan akhir 1950-an, karena menghadapi kemungkinan kehilangan 786 juta orang, menurut ringkasan hasil dari Proyeksi Populasi Dunia 2024 yang diterbitkan awal bulan ini.
Tidak hanya China, Korea Selatan (Korsel) juga memasuki fase kepunahan.
Melansir Yonhap News Agency, studi yang dilakukan Layanan Informasi Ketenagakerjaan Korea Selatan menunjukkan sebuah kelompok guru yang menyebut rata-rata jumlah siswa per kelas sekolah dasar bisa turun ke tingkat satu digit dalam 10 tahun, karena angka kelahiran yang amat rendah.
Dalam skenario terburuk, jumlah rata-rata siswa sekolah dasar per kelas bisa turun dari saat ini 21,1 menjadi 9,3 pada tahun 2033 dan 8,8 pada tahun 2034.
Baca juga : Cina Benar-Benar Terobsesi untuk Menenggelamkan Kapal Induk Angkatan Laut Amerika
Baca juga : Freemasonry di Indonesia: Dari Masa Kolonial Hingga Kini