ZONA PERANG (zonaperang.com) Pembajakan kereta api penumpang oleh orang Maluku bersenjata yang terjadi tanggal 23 Mei-11 Juni 1977 berakhir saat marinir Belanda-Korps Mariniers merasek masuk .
Dua sandera dan enam pembajak tewas. Pada awal serangan, enam jet tempur Lockheed F–104 Starfighter-Koninklijke Luchtmacht terbang di atas kereta di ketinggian rendah, untuk membingungkan para pembajak.
Langsung menyerbu kereta
Desa De Punt, Glimmen, Belanda, 11 Juni 1975 pukul 05:00 pagi. Keheningan suasana desa disobek suara enam pesawat F-104 Starfighter AU Belanda yang terbang rendah di atas sebuah keretapi. Para personil anti teror – Bijzondere Bijstands Eenheid/BBE Marinir Belanda di dekat kereta itu langsung menyerbu kereta. Mereka berupaya membebaskan penduduk sipil yang disandera sekelompok pemuda pejuang Republik Maluku Selatan (RMS) di dalam kereta tadi.
Pembajakan kereta dan penyanderaan itu jadi imbas tak langsung dari Pengakuan Kedaulatan Indonesia di pengujung 1949 dan penguasaan Kepulauan Maluku oleh Tentara Nasional Indonesia setahun berikutnya. Banyak mantan personil KNIL-Koninklijk Nederlandsch Indische Leger yang jadi pejuang dan simpatisan kemerdekaan RMS lalu memilih tinggal di negeri Belanda.
Selain adanya ikatan emosional kuat antara mereka dengan Belanda, jaminan bantuan pemerintah Belanda untuk mewujudkan RMS menjadi alasan kuat mengapa mereka memilih tinggal di Belanda.
Baca juga : 25 Mei 1575, Sultan Baabullah berhasil mengusir Portugis dari Ternate
Baca juga : Operation HAIK : Kisah Petualangan Allen Pope dan C-130 Hercules AURI(TNI-AU)
Belanda tidak sungguh-sungguh mewujudkan Maluku merdeka
Namun alih-alih mendapatkan apa yang mereka impikan, dari hari ke hari mereka justru mendapat perlakuan sebaliknya. Tempat penampungan mereka tak layak, hanya kamp-kamp berkondisi buruk. Yang lebih penting, tak terlihat upaya sungguh-sungguh pemerintah Belanda dalam menepati janji mewujudkan RMS. Mereka pun marah.
Berbeda dari generasi pertama yang datang langsung dari tanah leluhur, generasi kedua eksil Maluku itu lebih militan. Ketidakterimaan mereka terhadap ingkar janjinya pemerintah Belanda membuat mereka melakukan tindakan-tindakan radikal, seperti penyerangan terhadap Wisma Indonesia (31 Agustus 1970) dan pendudukan kantor konsulat jenderal Indonesia di Amsterdam (4 Desember 1975).
Akibat tindakan-tindakan radikal itu, banyak pelaku ditahan. Beberapa di antaranya bahkan tewas oleh timah panas aparat keamanan Belanda.
Max Papilaya, salah seorang pemuda simpatisan RMS, langsung menggalang teman-temannya. Keputusan yang mereka ambil: membajak keret api plus menyandera penumpangnya dan menduduki sekolah sekaligus menyandera orang-orang di dalamnya.
“Selain seruan perhatian untuk kemerdekaan Maluku, mereka juga menuntut pembebasan rekan-rekan mereka yang telah berjuang dan dipenjara karena insiden Beilen 1975,” kata Stephen Sloan dan Sean K Anderson dalam buku Historical Dictionary of Terrorism.
Kelompok pertama menyasar keret api
Mereka bergerak pada 23 Mei 1977. Kelompok pertama, terdiri dari sembilan pemuda, menyasar keret api di De Punt. Setelah menghentikan kereta yang sedang berjalan itu, mereka mengibarkan bendera RMS. Lebih dari 50 penumpang kereta kemudian mereka tawan. George Flapper, salah satu sandera itu.
“Saya berusia 29 tahun ketika saya duduk di kereta itu. Selama disandera, saya berbicara dengan pempimpin mereka, Max Papilaya,” ujarnya sebagaimana ditulis Frans Schalkwijk dalam The Consience and Self-Consicous Emotions in Adolescence: An Integrative Approach.
Kelompok lain menduduki sekolah dasar di Desa Bovensmilde
Hampir bersamaan dengan peristiwa yang terjadi di keret api, para pemuda di kelompok lain yang berada tak jauh dari jalur kereta tadi menduduki sekolah dasar di Desa Bovensmilde. Setelah membebaskan 15 murid Maluku, mereka menyandera lebih dari 100 murid dan empat guru, lalu menempatkan mereka dalam dua ruangan yang semua jendelanya ditutupi koran.
Keesokan harinya, para penyandera membacakan tuntutan lewat siaran NOS-Nederlandse Omroep Stichting. Tiga hal yang mereka tuntut, yakni: penepatan janji pemerintah Belanda sehubungan dengan upaya mewujudkan RMS, memutuskan hubungan diplomatik dengan Indonesia, dan pembebasan 21 pemuda Maluku yang ditahan akibat penyanderaan tahun 1975. Apabila sampai tanggal 25 Mei tuntutan itu tak dipenuhi pemerintah, mereka mengancam akan meledakkan kereta dan sekolah yang mereka duduki.
Baca juga : 20 Maret 1602, VOC(Vereenigde Oostindische Compagnie) didirikan
Meminta dua negosiator
Para penyandera memerintahkan para sandera menutup jendela kereta. Untuk memuluskan tuntutan, mereka meminta dua negosiator.
Pembicaraan selama berjam-jam berlangsung di antara mereka sampai hari telah memasuki pada 4 Juni. Pada 5 Juni, mereka membebaskan dua ibu hamil –salah satunya Annie Brouwer (kemudian menjadi walikota Utrecht)– di kereta. Para pembajak kembali membebaskan seorang penumpang yang sakit tiga hari kemudian.
Tidak konsistennya para pembajak soal tenggat waktu membuat Perdana Menteri Joop Den Uyl makin gencar mengedepankan dialog kendati tak ingin gegabah. Tidak kurang 2000 marinir kerajaan dan sejumlah polisi ditempatkan untuk mengawasi kereta maupun sekolah yang dikuasai pembajak. “Kesabaran adalah semboyan, tapi kami siap untuk menggunakan kekerasan jika diperlukan,” ujarnya sebagaimana dilansir news.bbc.co.uk/onthisday.
Meminta tuntutan baru
Tenggat yang ditentukan telah berakhir. Alih-alih mewujudkan ancamannya, para pembajak justru meminta tuntutan baru: disediakan sebuah pesawat untuk membawa mereka keluar Belanda bersama 21 teman mereka yang ditahan.
Atas saran Menteri Kehakiman Van Agt, pemerintah Belanda tetap tak mengindahkan tuntutan itu. Namun, sudah lebih dari dua minggu waktu berjalan dari saat pertama para pembajak beraksi. Para sandera sudah lelah. PM Uyl akhirnya mengambil sikap, mengerahkan marinir dan polisi untuk membebaskan para sandera.
Operasi pembebasan dimulai
Pada 11 Juni, operasi pembebasan dimulai pada pukul 05 pagi dengan ditandai oleh penerbangan beberapa jet tempur AU Belanda. Personil-personil marinir yang ditempatkan dekat kereta langsung menyerbu. Tak butuh banyak waktu bagi para marinir itu untuk melumpuhkan para pembajak, baik yang di kereta maupun di sekolah.
“Enam pemuda Maluku bersenjata dan dua sandera tewas dalam serangan dadakan ke kereta api pada subuh itu,” tulis koran The Citizen, 22 September 1977.
Pengadilan menghukum para pembajak dengan hukuman bervariasi. Tujuh di antaranya mendapatkan hukuman penjara enam dan sembilan tahun. “Pria Maluku kedelapan dihukum penjara 12 bulan karena menyuplai senjata dan amunisi kepada teman-temannya,” lanjut The Citizen.
Baca juga : Ahmad Lussy alias Mat Lussy(Kapitan Pattimura), Pahlawan Muslim dari Maluku
Baca juga : 6 Maret 1961, Komando Strategi dan Cadangan TNI Angkatan Darat (Kostrad) Indonesia dibentuk
Sumber : https://historia.id/politik/articles/pembajakan-19-hari-vgXXZ