ZONA PERANG (zonaperang.com) – Konflik antara pemerintah Ethiopia dan pasukan bersenjata Tigray(Tigray Region) yang terletak di sebelah utara negara tersebut semakin memanas.
Pertempuran telah terjadi selama hampir dua pekan, menyebabkan destabilisasi di negara Afrika Timur yang padat penduduk itu. Ratusan orang dilaporkan meninggal dunia.
Perebutan kekuasaan, pemilihan umum, dan tuntutan reformasi politik adalah sejumlah faktor yang menyebabkan krisis tersebut.
Penjelasan versi pendek
Konflik berawal pada 4 November, saat Perdana Menteri Ethiopia, Abiy Ahmed, memerintahkan serangan militer terhadap pasukan regional di Tigray. Ia beralasan, serangan itu adalah respons atas serangan pada perumahan militer untuk pasukan pemerintah di Tigray.
Selama nyaris 30 tahun, partai politik ini berada di pusat kekuasaan, sampai Abiy menjabat pada 2018 menyusul demonstrasi anti-pemerintah. Abiy menginginkan reformasi, namun Tigray melawan, sehingga terjadilah krisis politik.
Penjelasan dalam versi sedang
Akar dari krisis ini adalah sistem pemerintahan Ethiopia.
Sejak 1994, Ethiopia memiliki sistem federal sehingga kelompok-kelompok etnis berbeda mengontrol 10 wilayah. Partai politik terkuat di Tigray, Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF), punya andil dalam membentuk sistem ini.
TPLF adalah pemimpin dari koalisi empat partai yang memerintah Ethiopia sejak 1991, ketika rezim militer digulingkan. Di bawah koalisi ini, Ethiopia menjadi lebih makmur dan stabil. Namun kekhawatiran akan hak asasi manusia dan level demokrasi di negara tersebut terus bermunculan.
Baca Juga : Kemenangan Omar Mukhtar Melawan Italia di Bi’r Ghabi
Pada akhirnya, ketidakpuasan ini berubah menjadi protes, yang mengarah pada reshuffle pemerintahan yang menobatkan Abiy menjadi perdana menteri. Abiy yang seorang liberal membentuk partai baru (Partai Kemakmuran), dan memecat para pemimpin pemerintahan dari Tigray yang dituduh melakukan korupsi dan penindasan.
Sementara itu, Abiy berhasil menyelesaikan perselisihan wilayah yang berlarut-larut antara Ethiopia dengan negara tetangganya Eritrea, membuatnya diganjar penghargaan Nobel Perdamaian pada 2019.
Ini membuat Abiy semakin populer, namun menyebabkan kegelisahan bagi para pengkritiknya di Tigray. Para pemimpin Tigray memandang reformasi yang dilakukan Abiy sebagai usaha untuk memusatkan kekuasaan dan menghancurkan sistem federal Ethiopia.
Baca Juga : Turgut Reis(Dragut), Raja Tanpa Tahta di Mediterania: Legenda Angkatan Laut Kekhalifahan Utsmaniyah
Perselisihan mereka mengemuka pada September. Tigray menentang keputusan pemerintah pusat dan menggelar pemilihan umum regional sendiri. Pemerintah pusat, yang memutuskan menunda pemilu nasional karena pandemi, berkata pemilu regional Tigray ilegal.
Perpecahan mulai panas pada Oktober, ketika pemerintah pusat menangguhkan pendanaan dan memutuskan hubungan dengan Tigray. Pemerintah daerah Tigray mengatakan sikap pemerintah pusat sama saja dengan “mendeklarasikan perang”.
Tensi meningkat. Lantas, dalam apa yang disebut oleh lembaga International Crisis Group sebagai langkah “tiba-tiba dan dapat diprediksi” menciptakan konflik, Abiy berkata Tigray telah melewati “batas”. Dia menuduh pasukan bersenjata Tigray menyerang pangkalan militer untuk mencuri senjata.
“Oleh karena itu, pemerintah federal terpaksa melakukan konfrontasi militer,” kata Abiy.
Penjelasan versi panjang
Ethiopia, negara merdeka tertua di Afrika, telah mengalami banyak perubahan sejak Abiy berkuasa.
Abiy, yang berasal dari Suku Oromo, kelompok etnis terbesar di Ethiopia, mengemukakan reformasi politik, persatuan, dan rekonsiliasi dalam pidato pertamanya sebagai perdana menteri.
Agenda Abiy ini dipicu oleh tuntutan para demonstran yang merasa kelompok elite Ethiopia menghalangi transisi negara tersebut menjadi negara demokrasi.
Baca Juga : Film Blood Diamond(2006) : Di Balik Kilauan Kemewahan Terdapat Darah yang Harus Dibayar
Para politisi dari Tigray yang memimpin koalisi pemerintahan selama 27 tahun dipandang sebagai bagian dari masalah.
Pada 1970-an dan 1980-an, Partai TPLF berada di garis depan dalam perang untuk merebut pemerintahan dari junta militer yang dikenal dengan nama Derg. Partai ini sukses, lalu menjadi pemimpin dalam pemerintahan koalisi yang mengambil alih kekuasaan pada 1991.
Koalisi ini memberikan otonomi pada daerah-daerah Ethiopia, namun mengawasi dengan ketat pemerintah pusat. Beberapa kritik menyebut mereka menekan para politisi dari pihak oposisi.
Kini, partai tersebut berbalik menjadi oposisi.
Pada 2019, TPLF menolak terlibat dalam pemerintahan baru dan bergabung dengan Partai Kemakmuran pimpinan Abiy. Penghinaan ini berlanjut dengan eskalasi.
Baca Juga : 5 November 1956, Krisis Suez : Perebutan Terusan Suez antara Mesir-Inggris-Prancis
Keputusan Tigray untuk mengadakan pemilihan umum sendiri pada September, misalnya, adalah tindakan pembangkangan terhadap pemerintah pusat yang sebelumnya tidak pernah terjadi.
Sejak itu, kedua pemerintahan saling menuduh “tidak sah” satu sama lain. Tigray mengatakan pemerintah pusat belum pernah teruji dalam pemilu nasional sejak penunjukan Abiy sebagai perdana menteri.
Tigray juga mencemooh Abiy atas persahabatan “tak bermoral”-nya dengan Presiden Eritrea Isaias Afwerki. Sebelumnya, Tigray dan pemerintah Eritrea telah sejak lama bermusuhan. Keduanya berbagi perbatasan.
Perselisihan atas wilayah perbatasan ini adalah penyebab perang antara Ethiopia dan Eritrea dari 1998 sampai 2000. Di tahun yang sama, Abiy menandatangani kesepakatan damai dengan pemerintahan Eritrea, yang mengakhiri percekcokan teritorial tersebut.
Setahun kemudian, Abiy memenangi penghargaan Nobel Perdamaian. Tapi sekarang, yang membuat Ethiopia kembali diperhatikan dunia bukanlah perdamaian, melainkan perang.
Ribuan masyarakat sipil mengungsi sejak 4 November, ketika Abiy memerintahkan pasukan militer menyerang Tigray. Ratusan lainnya dilaporkan tewas, dan informasi adanya pembunuhan terhadap warga sipil mengemuka.
Dengan komunikasi yang sebagian besar terputus di Tigray, jumlah pasti korban masih tidak jelas. Pemerintah Ethiopia mengumumkan keadaan darurat nasional selama enam bulan di Tigray. Namun perang sipil yang meledak di sana bisa berlangsung lebih lama lagi.
“Dengan kekuatan pasukan keamanan Tigray, konflik ini bisa berlarut-larut,” ujar International Crisis Group, sebuah organisasi nirlaba. “Tigray memiliki kekuatan paramiliter besar dan milisi lokal yang sangat terlatih. Jika kekuatan ini digabung, kemungkinan jumlah pasukan mencapai 250.000 tentara.”
Baca Juga : 22 September 1979, The Vela Incident: Percobaan Nuklir Rahasia Israel di Atlantik Selatan
Sebagai negara terpadat kedua di Afrika, Ethiopia sangat penting bagi stabilitas Tanduk Afrika.
Jika konflik terus memanas, ada kekhawatiran negara-negara di sekitarnya akan terkena dampak. Saat ini saja, sudah ada laporan tentang misil yang ditembakkan ke Eritrea dan 27.000 pengungsi melarikan diri ke Sudan. Ada pula ketakutan bahwa konflik ini akan memperuncing tensi antaretnis di bagian lain Ethiopia.