ZONA PERANG(zonaperang.com) Martin B-10 adalah pesawat pengebom monoplane berbahan logam pertama yang beroperasi secara reguler pada Korps Udara Angkatan Darat AS (USAAC). Pesawat ini juga menampilkan inovasi seperti, kokpit yang sepenuhnya tertutup, ruang bom internal, roda pendaratan yang dapat ditarik, menara senjata yang berputar, baling-baling pitch variabel, dan autopilot.
Begitu canggihnya desain baru ini, kinerjanya 50 persen lebih cepat daripada pesawat pengebom biplan kontemporer dan sama cepatnya atau lebih cepat daripada kebanyakan pesawat tempur pada masa itu.
Dibangun berdasarkan spekulasi pada tahun 1932 oleh Glenn L. Martin Company, yang berlokasi di Baltimore Maryland, pesawat ini disebut sebagai Model 123. Awalnya, pesawat ini memiliki kompartemen kokpit/penembak terbuka, yang merupakan ciri khas pada saat itu. Setelah diserahkan ke USAAC, pesawat ini dinamai XB-907 dan ditenagai oleh dua mesin Wright R-1820-E Cyclone berkekuatan 600 hp dengan cowling tipe cincin NACA. Setelah pengujian, pesawat ini dikirim kembali ke Martin dan ditetapkan sebagai XB-10.1
Baca juga : 31 Januari 1795, Kota Trincomalee jatuh ke tangan Inggris : Awal lenyapnya Penjajahan Belanda di Sri Lanka
Pabrik
Glenn L. Martin Company, juga dikenal sebagai The Martin Company dari tahun 1917 hingga 1961, adalah sebuah perusahaan manufaktur pesawat terbang dan kedirgantaraan Amerika Serikat yang didirikan oleh perintis penerbangan Glenn L. Martin, Selama tahun 1950-an dan 60-an, Perusahaan Martin beralih dari industri pesawat terbang ke industri peluru kendali, eksplorasi ruang angkasa, dan pemanfaatan ruang angkasa.
Pada tahun 1961, Perusahaan Martin bergabung dengan American-Marietta Corporation, sebuah konglomerat industri besar, membentuk perusahaan Martin Marietta. Pada gilirannya, Martin Marietta pada tahun 1995 bergabung dengan raksasa kedirgantaraan Lockheed Corporation untuk membentuk perusahaan Lockheed Martin
Sebuah Legenda di Hindia Belanda
Pesawat ini dikonfigurasi ulang untuk menutup stasiun kru dan menara hidung, dan cowling mesin yang tertutup sepenuhnya menggantikan cowling ring yang digunakan pada Model 123. Mesinnya diganti dengan Wright R-1820-19 Cyclones 675 hp yang lebih bertenaga, dan bentang sayapnya ditambah sehingga menurunkan kecepatan pendaratan dari 91 mph menjadi 65 mph. Pada tahap ini, pesawat ini memiliki kecepatan tertinggi 197 mph (317 km/jam) yang dianggap sangat cepat pada saat itu.
Pengiriman pertama dilakukan pada pertengahan 1934 ke USAAC untuk uji coba layanan dan pada 1935 pesawat-pesawat ini dikirim ke unit operasional serta pengiriman berlanjut hingga tahun 1935-36. Setelah diperkenalkannya Boeing B-17 dan Douglas B-18, B-10 disetujui untuk diekspor. Versi ekspornya adalah Model 139W. Argentina menerima 25, Cina (9) sembilan, Siam (6) enam, Turki (20) dua puluh, Rusia (1) satu, dan Belanda 117.
Hanya 39 pesawat Belanda pertama yang merupakan 139W yang mirip dengan B-10B. Sisanya ditetapkan sebagai Model 166 yang memiliki kanopi rumah kaca panjang yang menghubungkan kokpit depan dan belakang.
Beberapa pesawat pengebom seri B-10 dilengkapi dengan pelampung kembar dan dapat beroperasi sebagai pesawat amfibi.
Baca juga : 26 Maret 1873, Perang Atjeh : Hindia Belanda menyatakan perang terhadap negara berdaulat Aceh
Baca juga : Fregat berpeluru kendali kelas Van Speijk (1965), Belanda
Andalan Hindia Belanda dari invasi tentara Jepang
“Diharapkan sebagai andalan sebagai alat pertahanan Hindia Belanda dari invasi tentara Jepang, ternyata di mana-mana rontok dan mudah dikalahkan. Sebagai konsekuensi mahal akibat terlalu bulat-bulat mempercayai konsep kekuatan udara cukup mengandalkan pesawat pembom, tanpa pesawat tempur.”
Menjelang pertengahan tahun 1930-an, perkembangan teknologi pesawat pembom berada di puncaknya. Sebelumnya tipe ini begitu lamban dan canggung saat terbang, justru meningkat kecepatan, jarak terbang, dan ketinggian terbangnya secara drastis.
Pesawat tempur sayap ganda (biplane) dengan kokpit terbuka dan struktur rangka dari kayu ditutup fabrik tertatih-tatih teknologinya, tidak akan sanggup mengejar dan menembak jatuh pembom yang kini bersayap tunggal (monoplane), kokpit tertutup, berstruktur serba logam monokok yang ringan dan aerodinamis, roda pendarat yang bisa ditarik masuk, bom yang dimuat dalam perut pesawat, serta sepasang bermesin piston radial yang jauh lebih bertenaga.
Hal ini diperkuat pula oleh teori dari Giulio Douhet dan William Mitchell bahwa pemboman dari udara saja sanggup membuat musuh bertekuk lutut. Singkatnya, pesawat tempur sudah usang, pesawat pembom adalah masa depan angkatan udara!
Keharusan
Seluruh kemajuan di bidang aeronautika militer ini diikuti oleh petinggi LA (Luchtvaartafdeling) sebagai kesenjataan udara KNIL (Koninklijke Nederlands-Indische Leger) dalam memodernisasi armadanya. Memilih pesawat pembom adalah suatu keniscayaan mengingat wilayah koloni Hindia Belanda teramat luas, mengandalkan pesawat tempur bermesin tunggal selain terbatas dalam melaksanakan patroli udara, juga tidak menjamin keselamatan terbang.
Namun sama seperti saat pembelian pesawat tempur Curtiss P-6 Hawk, keputusan LA membeli Martin B-10 dari Amerika Serikat ditentang oleh pemerintah Belanda. Hindia Belanda harus membeli pesawat dari Belanda. Titik. Namun tentangan tinggal tentangan mengingat pesawat pembom terbaru buatan Belanda, Fokker T.V masih di atas kertas, lebih parah lagi menggunakan konstruksi dari kayu yang tentunya tidak cocok untuk iklim tropis. Akhirnya izin impor diberikan.
Baca juga : Peristiwa Pemberontakan Kapal Tujuh(Zeven Provinciën), Perlawanan Kelasi Bumiputra di kapal Belanda
Pengiriman
Sebanyak 13 unit versi awal WH-1 (Wright-Holland) dikirim lewat laut dari Pelabuhan Baltimore menuju Pelabuhan Tanjung Priok, Batavia dan pesanan pertama tiba pada bulan Desember 1936, diikuti versi berikutnya WH-2 sebanyak 26 unit yang seluruhnya selesai dikirim bulan Oktober setahun kemudian.
Seluruh armada pembom ini ditempatkan di Bandung mengingat hanya Lapangan Terbang Andir yang memiliki kemampuan untuk merawat dan memelihara pesawat pembom sekompleks dan secanggih Martin B-10/Model 139.
Andir menjadi semakin sesak oleh aktivitas penerbangan sipil dan militer, untuk itulah sebagian armada pembom ditempatkan di Kalijati yang sebelumnya sempat ditutup saat pengurangan anggaran militer pasca krisis ekonomi dunia.
Kedatangan Martin B-10/Model 139 ini praktis menyingkirkan pesawat tempur dan intai sayap ganda yang sebelumnya dimiliki LA, fokus hanya satu tipe yaitu pesawat pembom, tawaran pesawat tempur bersayap tunggal Fokker XXI di mana prototipenya sempat melakukan demo terbang di Andir pada tahun 1937 ditolak begitu saja.
SDM (Sumber Daya Manusia)
Pengadaan pesawat yang sanggup membawa satu ton bom ini sempat membuat LA pusing dalam urusan SDM (Sumber Daya Manusia), karena membutuhkan tiga awak untuk menerbangkannya: pilot, juru bom (bombardier) merangkap navigator dan penembak depan (nose gunner), dan operator radio merangkap penembak ekor (tail gunner).
Ini belum berinvestasi untuk melatih tim teknisi karena rumitnya sistem Martin B-10/Model 139. LA segera membuka lowongan besar-besaran bahkan termasuk merekrut dari kalangan pribumi yang sebelumnya begitu didiskriminasi.
Pilot Martin B-10/Model 139 menjadi pilot elit LA karena harus berkualifikasi multi-engine atau Brevet Militer Besar, GMB (Groot Militaire Brevet), sebagai lanjutan dari pilot berkualifikasi single-engine, Brevet Militer Kecil, KMB (Kliene Militaire Brevet).
Baca juga : 5 Maret 1942, Ibu kota Hindia Belanda Batavia direbut oleh tentara Kekaisaran Jepang
Baca juga : 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro ditangkap saat berunding dengan Penjajah Belanda
Puas
Walaupun sempat terjadi beberapa kecelakaan saat latihan terbang dan operasional, secara umum LA yang melaksanakan re-organisasi menjadi ML (Militaire Luchtvaart) sejak bulan Maret 1939 puas akan performanya.
Martin B-10/Model 139 disebar ke tiga pangkalan udara, Andir/Bandung (Grup Terbang 1, terdiri atas dua skadron), Singosari/Malang (Grup Terbang 2, terdiri atas dua skadron), dan Cililitan/Batavia (Grup Terbang 3, terdiri atas tiga skadron).
Mengungguli pesawat pembom
Sebelum pecah Perang Eropa dan Perang Pasifik, Belanda dan koloninya Hindia Belanda masih memilih netral namun setelah Belanda diduduki oleh Jerman dan Jepang beraliansi dengan Jerman, Hindia Belanda segera mengubah arah politiknya, berkiblat ke Sekutu.
Detasemen dan flight Martin B-10/Model 139 segera dikerahkan untuk membantu RAF (Royal Air Force) di Semenanjung Malaya serta mengadakan latihan perang dengan RAAF (Royal Australian Air Force) di Darwin dan USAAC di Jolo, Filipina. Dari pendudukan Jerman atas negara-negara Eropa dan Jepang terhadap Cina itulah terbukti bahwa teknologi pesawat tempur berhasil mengungguli pesawat pembom.
Tanpa pengawalan pesawat tempur, pesawat pembom akan menjadi mangsa empuk pesawat tempur musuh. Buru-buru ML memesan beberapa tipe pesawat tempur ke Amerika Serikat: Curtiss-Wright CW-21B, Brewster Buffalo, dan Hawk 75.
Baca juga : 30 Juni 1977, Pakta Pertahanan Asia Tenggara (SEATO) dibubarkan
Baca juga : 18 Januari 1806, Belanda menyerahkan Koloni Tanjung Harapan di Afrika Selatan kepada Inggris
Dimusnahkan
Bahkan dengan pengawalan pesawat tempur sekalipun, Martin B-10/Model 139 tetap menjadi korban dari Mitsubishi A6M2 Zero dan Nakajima Ki-43 Hayabusha saat pecah Perang Pasifik pada bulan Desember 1941.
Kedua tipe pesawat tempur bersayap tunggal andalan Jepang ini mampu terbang dengan kecepatan dan ketinggian menyamai bahkan melebihi Martin B-10/Model 139. Dengan proteksi minim hanya penembak depan dan ekor bersenjata senapan mesin Browning kaliber 7.62 mm, pesawat pembom ini mudah ditembak jatuh saat mencoba menyerang iring-iringan kapal pendarat pasukan Jepang yang hendak menguasai Malaya, Singapura, Kalimantan, Sumatra, dan pertahanan terakhir Komando ABDA (America British Dutch Australia) di Jawa.
Berjuang hingga akhir
Martin B-10/Model 139 gagal memenuhi harapan ML sebagai pelindung Hindia Belanda, canggih di tahun 1930-an namun ternyata cepat menjadi kuno pada awal tahun 1940-an. Memang tidak semata-mata kelemahan pesawat itu sendiri, tapi sebagian besar masalahnya dari kesalahan konsep pertahanan udara.
Penyerahan tanpa syarat kepada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942 di Subang menjadi akhir dari pengoperasian dan pengabdian Martin B-10/Model 139. Selain ditembak jatuh dan dihancurkan saat di darat, setidaknya 17 unit berhasil direbut oleh Jepang untuk dievaluasi. Nantinya sembilan pesawat pembom eks ML yang masih laik terbang diserahkan ke Siam (Thailand), sekutu Jepang dan dioperasikan sampai tahun 1949.
Baca juga : Kapal induk HNLMS Karel Doorman (R81) : Kapal induk Belanda yang melegenda
Karakteristik umum
Kru: 3
Panjang: 44 kaki 9 inci (13,64 m)
Lebar sayap: 70 kaki 6 inci (21,49 m)
Tinggi: 15 kaki 5 inci (4,70 m)
Luas sayap: 678 kaki persegi (63,0 m2)
Berat kosong: 9.681 lb (4.391 kg)
Berat kotor: 14.700 lb (6.668 kg)
Berat lepas landas maksimum: 16.400 lb (7.439 kg)
Propulsi: 2 × Wright R-1820-33 Cyclone (F-3) mesin piston radial berpendingin udara 9-silinder, masing-masing 775 hp (578 kW)
Baling-baling: Baling-baling pitch variabel 3 bilah
Performa
Kecepatan maksimum: 213 mph (343 km/jam, 185 kn)
Kecepatan jelajah: 193 mph (311 km/jam, 168 kn)
Jangkauan 1.240 mil (2.000 km, 1.080 nmi)
Ketinggian layanan: 24.200 kaki (7.400 m)
Pemuatan sayap: 21,7 lb / kaki persegi (106 kg / m2)
Tenaga/massa: 0,105 hp/lb (0,173 kW/kg)
Persenjataan
Senapan: Senapan mesin 3 × 0,300 inci (7,62 mm) Browning
Bom: 2.260 lb (1.025 kg)
Baca juga : Sindrom Stockholm: Kisah Nyata Para Sandera yang Setia kepada Penculiknya
Baca juga : 350 Tahun Dijajah, Kenapa Orang Indonesia Tidak Bisa Bahasa Belanda?