- Nasionalisme: Buatan Barat untuk Memecah Dunia Islam dan Menjaga Kepentingan Penjajahan
- Nasionalisme, sebagai konsep yang dibangun oleh Barat, telah menjadi alat yang digunakan untuk memecah-belahkan negara-negara Islam. Tujuan utama dari nasionalisme ini adalah untuk mencegah bangkitnya kekuatan Islam yang bersatu, sehingga hanya mementingkan golongan atau negara tertentu. Ini dilakukan agar tidak ada kekuatan yang dapat mengalahkan kepentingan penjajahan Barat dan Zionisme. Selama tidak ada perubahan dalam pendidikan dan pola pikir, serta masih mementingkan nasionalisme, maka pembebasan Yerusalem hanya akan menjadi omong kosong.
ZONA PERANG(zonaperang.com) Nasionalisme, sebagai sebuah ideologi politik, sering kali dianggap sebagai hasil dari perjuangan rakyat untuk kebebasan dan kedaulatan nasional. Namun, bagi negeri-negeri Islam, nasionalisme justru menjadi senjata yang digunakan oleh kekuatan Barat untuk memecah belah persatuan umat.
Jika menelusuri sejarah lebih dalam, akan tampak bahwa konsep nasionalisme yang dibawa ke dunia Islam tidak tumbuh dari akar masyarakat lokal, melainkan diperkenalkan oleh penjajah Barat untuk melemahkan potensi kebangkitan Islam sebagai satu kekuatan yang bersatu.
Nasionalisme, terutama dalam konteks dunia Islam, justru telah memecah-belah negeri-negeri Muslim yang sebelumnya memiliki sejarah panjang persatuan di bawah kekhalifahan. Penjajahan Barat, khususnya setelah keruntuhan Kekhalifahan Utsmaniyah pada 1924, menciptakan negara-negara baru dengan batas-batas yang ditentukan oleh kekuatan kolonial. Batas-batas ini dibuat bukan untuk mencerminkan identitas kultural atau agama, tetapi untuk mencegah terjadinya kebangkitan Islam sebagai kekuatan global.
Baca juga : Penjajahan Yerusalem, Pembebasan Konstantinopel dan Penguasaan Nusantara oleh Barat
Sejarah Nasionalisme dan Pengaruhnya
Nasionalisme muncul di Eropa pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, sebagai respons terhadap perubahan sosial dan politik yang terjadi akibat Revolusi Perancis dan industrialisasi. Ide bahwa setiap bangsa berhak atas kedaulatan dan identitasnya sendiri menjelma menjadi gerakan yang kuat. Namun, ketika ide ini menyebar ke dunia Islam, ia sering kali digunakan oleh kekuatan kolonial untuk membagi-bagi wilayah dan menciptakan negara-negara baru yang tidak memiliki kesamaan budaya atau sejarah.
Di banyak negara Islam, nasionalisme telah menyebabkan fragmentasi. Alih-alih bersatu melawan penjajahan Barat dan Zionisme, negara-negara Muslim terpecah menjadi entitas yang lebih kecil, masing-masing dengan kepentingan politik dan ekonomi yang berbeda. Hal ini mengakibatkan lemahnya solidaritas umat Islam secara keseluruhan.
Nasionalisme sebagai Alat Pembagian dan Pengalihan Perhatian
Sejarah dunia Islam sebelum kemunculan nasionalisme modern menunjukkan bahwa umat Muslim memiliki identitas bersama yang kuat. Mereka bersatu di bawah kekhalifahan yang mengatur dengan dasar hukum Islam dan memperlakukan umat Muslim dari berbagai wilayah sebagai satu kesatuan umat.
Namun, penjajah Barat—khususnya Inggris, Prancis, dan kekuatan Barat lainnya—menyadari bahwa persatuan Islam ini adalah ancaman bagi kepentingan kolonial mereka. Oleh karena itu, nasionalisme diperkenalkan sebagai sarana untuk memecah belah umat Islam ke dalam unit-unit politik yang lebih kecil dan terpecah.
“Kekuatan kolonial Barat memahami bahwa dengan menciptakan batas-batas nasional yang artifisial, mereka dapat mengendalikan wilayah tersebut lebih mudah. Dengan mempromosikan nasionalisme di antara kelompok-kelompok etnis atau agama yang berbeda, mereka berhasil menciptakan konflik internal yang melemahkan potensi perlawanan terhadap penjajahan. Dalam konteks ini, nasionalisme bukanlah alat pembebasan, tetapi justru menjadi senjata untuk memperkuat dominasi asing.”
Setelah Perang Dunia I, Inggris dan Prancis membagi-bagi wilayah kekhalifahan Utsmaniyah di Timur Tengah melalui Perjanjian Sykes-Picot tahun 1916. Negeri-negeri seperti Irak, Saudi Arabia, Suriah, Yordania, dan Lebanon dipecah-pecah, bukan atas dasar kepentingan rakyatnya, melainkan untuk menjaga agar kekuatan Barat tetap dapat mengontrol wilayah tersebut. Setiap negara baru yang diciptakan diarahkan untuk mengembangkan identitas nasional yang terpisah, sehingga alih-alih berjuang bersama untuk kepentingan umat, mereka justru mementingkan golongan dan kepentingan nasional masing-masing.
Nasionalisme juga menjadi alat yang efektif dalam mengalihkan perhatian dunia Islam dari isu-isu global yang lebih besar, seperti penjajahan Zionis di Palestina dan pembebasan Yerusalem. Ketika setiap negara Muslim lebih fokus pada masalah internal dan kepentingan nasionalnya atau kepentingan kekuasaan serta rezimnya, isu penting seperti pembebasan Palestina dan pengusiran Zionis dari wilayah suci menjadi semakin sulit untuk diatasi. Setiap negara menjadi sibuk dengan masalah domestik, politik internal, atau pertikaian regional yang sesungguhnya disulut oleh perpecahan nasional.
Pendidikan dan Pola Pikir: Kunci dalam Mempertahankan Status Quo
Di balik nasionalisme yang dipaksakan oleh Barat, ada sistem pendidikan dan pola pikir yang juga dirancang untuk memperkuat konsep ini. Sistem pendidikan di banyak negara Muslim saat ini masih didominasi oleh kurikulum yang mendorong patriotisme terhadap negara masing-masing, alih-alih kesadaran akan persatuan Islam. Sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah seringkali mengabaikan peran penting kekhalifahan dalam menyatukan umat Islam dan lebih menekankan pada identitas nasional yang baru.
Pola pikir ini juga didukung oleh media dan propaganda yang terus menerus menanamkan gagasan bahwa kesuksesan nasional adalah prioritas utama, bukan perjuangan untuk membebaskan umat Islam dari penjajahan atau memperjuangkan hak-hak Muslim di Palestina. Akibatnya, generasi muda tumbuh dengan kesadaran yang sempit tentang identitas mereka sebagai umat Muslim, dan lebih fokus pada identitas sebagai warga negara dari sebuah negara yang terpisah-pisah.
“Pendidikan harus berfokus pada nilai-nilai persatuan dan solidaritas antarumat Muslim, serta pentingnya kerja sama lintas negara untuk mencapai tujuan bersama.”
Selama tidak ada perubahan signifikan dalam sistem pendidikan ini, dan selama pola pikir nasionalisme tetap diutamakan, maka perjuangan untuk pembebasan Yerusalem akan terus terabaikan. Generasi muda akan terus disibukkan dengan urusan internal, pertikaian politik nasional, dan persaingan antar negara Muslim, sementara Zionisme terus mengkonsolidasikan kekuatannya di Palestina.
Baca juga : Sawo kecik dan Pangeran Diponegoro
Baca juga : Mirza Ghulam Ahmad dan Kolonialisme: Sejarah Ahmadiyah yang Kontroversial
Mengapa Nasionalisme Menguntungkan Zionisme dan Penjajahan Barat?
Selama dunia Islam tetap terpecah oleh nasionalisme, Zionisme dan kekuatan Barat tidak perlu khawatir akan persatuan global umat Islam yang dapat menggoyahkan status quo mereka. Negara-negara Barat, terutama yang memiliki kepentingan di Timur Tengah, telah lama memahami bahwa persatuan dunia Islam akan menjadi ancaman besar bagi pengaruh mereka di wilayah tersebut.
Zionisme, yang berpusat pada pendirian negara illegal Israel di tanah Palestina, sangat bergantung pada perpecahan dunia Islam. Selama tidak ada kekuatan Muslim yang bersatu untuk menantang pendudukan Israel di tanah Palestina, proyek Zionis akan terus berkembang tanpa hambatan yang berarti. Setiap kali negara-negara Muslim berusaha untuk menantang dominasi Israel, mereka seringkali terjebak dalam konflik internal atau perpecahan politik yang melemahkan usaha mereka.
Sebaliknya, jika umat Muslim bersatu kembali di bawah identitas Islam yang lebih besar, Zionisme akan menghadapi tantangan eksistensial yang tidak mudah diatasi. Kekuatan persatuan, baik dalam bidang militer, ekonomi, maupun politik, akan membuat perjuangan untuk membebaskan Palestina dan Yerusalem jauh lebih kuat dan terorganisir.
Nasionalisme sebagai Penghalang Pembebasan Yerusalem
Selama umat Muslim masih terjebak dalam kerangka nasionalisme yang sempit, perjuangan untuk pembebasan Yerusalem akan tetap menjadi omong kosong. Setiap negara Muslim akan terus sibuk dengan masalah domestik, dan tidak ada koordinasi yang terorganisir untuk menantang dominasi Zionis di Palestina. Ini adalah konsekuensi langsung dari perpecahan yang disebabkan oleh nasionalisme yang dipaksakan oleh penjajah Barat.
“Dengan memecah belah umat Muslim menjadi entitas-entitas kecil yang mementingkan kepentingan masing-masing, kekuatan kolonial berhasil melemahkan potensi perlawanan terhadap penjajahan. Untuk mencapai pembebasan Yerusalem dan mengatasi dampak negatif dari nasionalisme, diperlukan perubahan dalam pendidikan dan pola pikir masyarakat Muslim agar lebih mengutamakan solidaritas dan persatuan.”
Untuk mencapai pembebasan yang sejati, umat Islam harus mulai melihat persatuan sebagai prioritas utama. Pendidikan harus diubah untuk menekankan pentingnya persatuan Islam di atas nasionalisme, dan kepemimpinan Muslim harus mulai bekerja sama lintas batas negara untuk menghadapi tantangan global, seperti penjajahan Zionis di Palestina. Hanya dengan mengatasi perpecahan ini, umat Muslim dapat berharap untuk mencapai pembebasan Yerusalem yang selama ini diimpikan.
Baca juga : Genjutsu Israel: Menguak Taktik Ilusi Dibalik Kekuatan Militer Super dan “Kepintaran” kaum pilihan
Baca juga : Karl Marx dan Zionisme: Bagaimana Komunisme Diciptakan oleh Zionis